Mubadalah.id – Setiap malam mamah selalu menemaninya belajar kemudian membacakan dongeng, namun malam ini sebelum mamahnya membacakan dongeng, ayahnya masuk kamar dengan wajah yang tidak pernah dilihatnya.
“Ayah, Mamah mau dongengin aku putri bisu, lho. Sini ikutan dengerin!” ajak anak kecil itu.
Ayahnya tak begitu mendengarkan permintaan anaknya, dan kembali menatap mamahnya dengan tatapan yang tidak pernah dilihat anak kecil itu.
“Apa ini? Selama ini kamu menyembunyikan sesuatu?”
“Mas, kita bicarakan nanti, aku bacain Durroh dongeng dulu, kalau dia sudah tertidur kita akan bicara.” Mamahnya mencoba menenangkan ayahnya.
“Aku tidak mau tidur sebelum mamah ceritain dongeng,” kata anak itu.
“Kamu sudah besar, bisa baca buku sendiri, bacalah bukumu sendiri.” Perkataan ayahnya tak sehangat biasanya. Anak itu sedikit takut.
“Tapi aku suka kalau mamah yang ceritaan, mamah bisa menirukan suara putri,” katanya sambil menatap mamahnya. Senyuman mamahnya membuatnya kembali tenang.
“Aku tidak bisa menunggu, jelaskan sekarang.”
Anak itu menatap mamahnya, berharap tidak menunda membacakan cerita.
“Durroh mau menggambar putrinya dulu? Nanti setelah gambar selesai mamah segera kembali ke sini dan bercerita tentang putri bisu. Mamah ingin bicara dengan ayah dulu.” Anak itu mengangguk sedikit kecewa.
Walau merasa aneh dengan raut wajah ayahnya dan sikap mamahnya, tapi anak kecil itu dengan tetap tersenyum mematuhi permintaan mamahnya. Ia menggambar seorang putri yang begitu cantik, dipoles dengan gaun yang menawan. Anak kecil itu punya banyak kelebihan, selain pintar di sekolahnya, ia juga sangat teliti dan gemar menggambar.
Suara orang yang menggebrak meja terdengar di telinganya, anak itu menghentikan tangannya yang sebelumnya sibuk mewarnai gaun sang putri bisu. Dia penasaran dan berjalan menuju asal suara. Awalnya dia ragu, namun terdengar isakan tangis mamahnya membuatnya semakin ingin mendekati kamar orang tuanya.
“Mas, kumohon pahami posisiku. Aku sangat kalut saat itu.”
“Tapi tidak seharusnya kamu menyembunyikannya dariku. Kamu tahu siang tadi papah memberi kepercayaan lebih padaku, dan mengatakan aku pewaris yang akan menggantikan posisinya kelak. Kamu tahu apa yang dikatakan papah? Berikan aku cucu laki-laki!”
Anak itu kembali mendengar teriakkan ayahnya dan isakan mamahnya di balik pintu kamar. Dia bertanya-tanya, kenapa kakek masih meminta cucu laki-laki, bukankah Om Fauz dan tante Syahda sudah memiliki anak laki-laki, itu berarti kakek udah punya cucu laki-laki. Anak itu terlalu sulit memahami orang tuanya.
“Iya mas, tapi Durroh, lihat dia anak yang sangat cerdas. Di sekolah teman laki-lakinya setiap kompetisi atau ujian tidak ada yang pernah mengalahkannya.”
“Durroh, ya aku baru sadar dia membawa sial! Aku ingat, hari kelahirannya saja, papah mengalami kerugian besar. Ternyata bukan hanya itu kesialannya.”
“Mas, jangan berkata seperti itu. Dia anak kita.”
“Sekarang mulai berani membentak suamimu?”
“Maaf mas, tapi kita bersyukur Durroh memiliki potensi luar biasa.”
“Tetap saja, dia hanya anak perempuan.”
Anak itu menunduk, dadanya sesak. Dia merasa orang tuanya sedang membicarakannya, biasanya dia selalu ceria ketika orang tuanya membicarakannya, namun saat itu dia merasa sesak, air mata sudah tak sabar meluncur dari pelupuk matanya, dia tidak ingin lagi mendengarkan apa yang akan dikatakan orang tuanya, dia hanya ingin berlari jauh dan menumpahkan sesaknya. Sesak yang sebenarnya masih belum dia pahami.
Dia berlari keluar rumah dan menangis sendiri di belakang rumah guru ngajinya, tangisan yang tak dia mengerti penyebabnya, dia hanya merasa ayahnya tidak menyukainya, ayahnya mengganggap dirinya pembawa sial. Dia sendiri masih ragu apa itu makna pembawa sial, dia hanya yakin itu kalimat mengandung kebencian. Dia menangis, merasa ayahanya membencinya, padahal dia merasa tidak melakukan kesalahan.
***
“Mba Durroh…….”
“Astagfirullah,” Durroh tergemap segera menatap orang yang mengguncang pundaknya secara tiba-tiba.
“Nurul!”
Nurul memeluk erat Durroh sampai Durroh terbatuk.
“Kamu mencekikku,” Nurul melepas pelukannya.
“Aku seneng banget, tadi ditelepon kak Zain katanya ada Mba Durroh di sini. Kok bisa Mas Adnan gak bilang kalau mba Durroh editor baru di sini.”
“Adnan mengenalku tapi dia tidak tahu kalau kita saling kenal.”
“Aku tadi udah bilang sama mas Adnan, dan beliau kasih izin,” kata Nurul.
“Maksudnya apa nih?”
“Ayo ke rumah Ibu, aku antar. Beliau sangat merindukanmu.”
Durroh terdiam menunduk, dia pun merasakan kerinduan yang sama, tapi dia tidak bisa menuruti ajakan Nurul.
“Lain waktu, Insyaallah aku akan ke rumah Bu Umi, saat ini aku mau mengerjakan pekerjaanku.”
“Kan, Mas Adnan udah kasih izin.”
Durroh mencari alasan lain supaya bisa menolak ajakan Nurul.
“Jangan sekarang ya, maaf banget.”
Nurul menghela nafas kecewa, “ya sudah kalau gitu kita jalan-jalan saja, nonton film atau makan-makan.”
“Maaf Nurul, sebenarnyna aku tidak ingin mengatakan ini, tapi sunggu aku sedang sibuk.”
“Baiklah, besok aku ke sini lagi dan akan mengajakmu ke rumah ibu.”
Gawai Durroh berdering, tertulis nama Mbok Yam, Durroh segera mengangkatnya.
“Iya mbok, ada apa?”
“Nduk, pulang sekarang ya.”
“Ada apa? Mbok Yam baik baik saja kan? Durroh masih ada pekerjaan.”
“Pulang sekarang juga,” suara Mbok yam terdengar parau dan terisak. Durroh tidak mau Mbok Yam khawatir segera dia mengiyakan permintaan Mbok Yam.
“Baik Mbok, aku akan pulang sekarang juga.”
“Jangan pulang ke rumah Mbok Yam,” kata Mbok Yam, Durroh terdiam.
“Pulang ke rumahmu, ke rumah ayahmu, sekarang!” Durroh menelan ludah, melempar pandangannya.
“Mbok tahu, aku tidak mau pulang ke sana.”
“Iya Nduk, tapi kumohon pulanglah sekarang juga.”
Durroh kesal, “tidak mau, aku tutup dulu telponnya, aku masih sibuk.” Tanpa mendengar kalimat Mbok Yam, Durroh sudah menutup teleponnya.
“Ada apa mba?” Tanya Nurul yang masih berdiri di sampingnya.
“Gapapa, Nurul maaf, aku harus konsentrasi dalam membaca naskah, bisakah kamu pergi dari sini.” Nurul mengangguk memahami, sepertinya Durroh sedang banyak pikiran.
“Durroh!” Suara Zain kembali terdengar, Durroh melihat Zain setengah berlari menghampiri meja kerjanya.
Apa lagi ini? Kenapa sejak pagi orang-orang ini tidak bisa membiarkanku tenang. Pikirnya.
“Ikut aku, kamu harus pulang sekarang juga.”
“Kak Zain, ada apa?” Tanya Nurul, namun tatapan Zain tak berpaling dari Durroh.
“Kamu tidak lihat aku sedang kerja,” kata Durroh.
“Tinggalkan dulu pekerjaanmu dan ikutlah aku pulang ke rumahmu,”
“Aku tidak punya rumah,” katanya.
“Pulang ke rumah ayahmu.” Durroh yang kini menatap Zain. “Haruskah ribuan kali aku mengatakan kalau aku tidak mau pulang ke rumah orang itu.”
“Bukannya kamu sudah ditelepon Mbok Yam, kamu tetap tidak mau pulang.”
“Tunggu-tunggu, kalian tidak perlu berdebat di sini, gak enak dengan yang lainnya,” kata Nurul sembari melihat pegawai lain memperhatikan mereka. Zain tak menghiraukan Nurul.
“Durroh kumohon, di saat seperti ini kamu masih tidak mau pulang ke rumahmu?” Durroh diam tak mengatakan apa-apa, pikirannya semerawut ke mana-mana.
“Kak, sebaiknya katakan dulu, kenapa Mba Durroh harus pulang ke rumah ayahnya. Tadi Mbok Yam memang sudah menghubunginya, tapi sepertinya Mba Durroh belum tahu alasan kenapa dia harus pulang.” Zain terkejut mendengar penjelasan Nurul.
“Jadi Mbok Yam belum mengatakannya?” Tanya Zain.
“Mengatakan apa ka?” Tanya Nurul. Zain menarik nafas dan melepasnnya dengan berat.
“Durroh, pulanglah, ikut aku.” Zain melihat Durroh menitikkan air mata.
“Apa yang membuat kalian memaksaku untuk pulang, sedangkan di sana ada orang yang sangat kubenci, mungkin dia pun tidak menginginkan aku menginjakkan kaki di rumahnya yang mewah itu.”
“Tidak akan terputus ikatan orang tua dan anak, sampai kapanpun. Aku pernah melihat betapa dia pun sangat merindukanmu. Durroh, kumohon, untuk kali ini dengarkan aku,” kata Zain merendahkan suaranya.
“Aku tidak mau, tolong jangan paksa aku kak!”
“Durroh, aku tidak mau mengatakannya di sini, ada sesuatu yang membuatmu harus pulang.”
Durroh tetap tidak beranjak dari tempat duduknya, bahkan dia duduk berpaling membelakangi Zain.
Zain merasa harus tetap memaksanya untuk pulang, dia pun meraih tangan Durroh dan menariknya. Durroh terkejut dan berdiri berjalan mengikuti langkah Zain. Durroh menatap Zain yang masih menggenggam telapak tangannya dan berjalan menuju mobil yang terparkir di depan kantor.
“Lepaskan Kak, tak seharusnya kau menggeretku seperti ini.” Durroh melepaskan tangannya, Zain menghela nafas.
“Masuklah,” Zain membukakan pintu mobilnya.
“Sudah kubilang aku tidak mau ikut denganmu,” kata Durroh dan beranjak kembali masuk kantor.
Baru beberapa langkah Durroh berjalan, Zain berteriak cukup lantang.
“Durroh! Jam satu tadi Pak Zaki Tanjung meninggal dunia.”
Durroh menghentikan langkahnya. Hatinya bergemuruh mendengar kalimat Zain. Entah dia harus merasakan apa?
“Bukankah, kita tidak boleh berharap sesuatu yang buruk menimpa orang yang kita benci. Apalagi orang itu adalah ayah kita.” Zain kembali melanjutkan kalimatnya.
“Ikutlah denganku, Durroh. Sebesar apapun kebencianmu, dia tetap ayahmu. Aku tahu, beliau tentu tidak berharap meninggalkanmu tanpa mendapat maafmu dan menghapus kebencianmu kepadanya.”
Durroh menangis, entah apa yang dia tangisi, dia selalu menangis tanpa alasan. Orang yang dibencinya baru saja meninggal dunia dan dia bersedih atas kepergiannya. Kebencian apa itu? (bersambung)
Wonocatur, 10 April 2021