Mubadalah.id – Apakah “Dar al-Islam” atau Negara Islam itu? Ini pertanyaan yang diajukan seorang teman usai membaca postingan saya di FB kemarin, 22.05.18. Saya menemukan pandangan mengenai isu ini dalam konteks sistem politik klasik, pra modern, pra Nation State, atau sistem khilafah, yang membagi rakyat/warga negara menjadi warga beragama negara (muslim) dan warga negara non beragama negara (non muslim).
Untuk katagori yang terakhir ini meliputi yang dilindungi (dzimmi) dan yang tidak dilindungi (harbi). Untuk konteks modern, pembagian kewarganegaraan atas dasar agama ini sudah tidak relevan. Yang ada adalah warga negara (citizen/penduduk/muwathin) dan orang asing (WNA).
Para ulama Islam berbeda pendapat menjawab pertanyaan tentang negara Islam di atas. Dr. Khalid Fahdawi dalam bukunya “Al-Fiqh al-Siyasi al-Islamy” , menyebut ada 5 pendapat seputar kriteria negara Islam.
Pertama, ialah bila dua kalimat Syahadat diucapkan seseorang (muslim formalis) dan shalat diselenggarakan (tidak dilarang), dan perilaku “kufur” (kejahatan/pelanggaran hukum) tidak berkembang, meski di dalamnya ada orang-orang non muslim yang dilindungi.
Kedua, sama halnya dengan yang dengan di atas, Syahadat diucapkan dan shalat diselenggarakan, meski ada perilaku-perilaku “kufr”, kejahatan dan pelanggaran hukum yang berkembang.
Ketiga, kriteria negara Islam atau bukan dilihat dari aspek kekuasaan dan kekuatan formal dan faktual. Jika keduanya dimiliki non muslim, maka ia bukan negara Islam. Dan jika keduanya ditangan orang Islam, maka ia Negara Islam.
Keempat, kriteria negara Islam dan negara non Islam, dilihat dari aspek jumlah rakyat. Jika mayoritas rakyatnya muslim, maka ia negara Islam. Jika sebaliknya, maka ia bukan negara Islam.
Kelima,
الرأى الخامس : الحكم للسلطان, فإن كان كافرا كانت الدار دار كفر ولو كانت الرعية كلهم مؤمنين, وإن كان مسلما كانت الدار دار اسلام ولو كانت الرعية كلهم كفارا.
Dilihat siapa penguasanya/pemimpinnya. Jika ia non muslim, maka ia bukan negara Islam, meskipun seluruh rakyatnya muslim. Jika orang muslim, maka ia negara Islam, walaupun semua rakyatnya non muslim”.
(Dr. Khalid al-Fahdawi, Al-Fiqh al-Siyasi al-Islamy, Dar al-Awail, Damaskus, Siria, th. 2008, Cet. III/246-247).
Berbeda dari semua pendapat di atas adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Imam al-Shan’ani, ulama besar dari Yaman mengatakan :
أن المقصود من إضافة الدار الى الاسلام والكفر ليس هو عين الاسلام والكفر وإنما المقصود هو الامن والخوف…. والاحكام مبنية على الامان والخوف. فكان اعتبار الامان والخوف اولى”. (الكسانى, بدائع الصنائع فى ترتيب الشرائع, دار الكتاب العربى, بيروت, ط 2, 1982, ص 131.).
“Negara disebut negara Islam atau bukan, tidak dilihat dari aspek formalitasnya. Tetapi pada substansinya. Apakah ia aman damai atau kacau balau dan ketakutan. Jika negara itu aman damai, maka ia negara Islam. Jika ia kacau-balau, penuh kekerasan dan menakutkan maka ia bukan negara Islam”. (Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, cet. II, 1982, Juz VII, hlm. 131).
Pertanyaan kita adalah apakah salah satu atau semua kriteria di atas masih relevan untuk dunia hari ini? Masih adakah negara di dunia modern ini yang menggunakan kriteria tersebut? []