Mubadalah.id – Dr. (HC) KH. Husein Muhammad adalah seorang pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon. Buya Husein, panggilan akrabnya juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Fahmina, pejuang keadilan dan kemanusiaan.
Buya Husein telah menerima sejumlah penghargaan baik daerah, nasional bahkan internasional. Penghargaan yang diraih Beliau, yaitu sebagai Tokoh Penggerak, Pembina dan Pelaku Pembangunan Pemberdayaan Perempuan (2003) oleh Bupati Kabupaten Cirebon.
Tak hanya itu, Beliau juga meraih penghargaan dari Pemerintah Amerika Serikat untuk “Heroes Acting To End Modern-Day Slavery” di tahun 2006. Bahkan namanya tercatat dalam “The 500 Most Influential Muslims” yang diterbitkan oleh The Royal Islamic Strategic Studies Center sejak tahun 2010-2017.
Selain itu, Buya Husein juga aktif dalam berbagai kegiatan diskusi, halaqoh, pengajian dan seminar, khususnya terkait dengan isu-isu perempuan, pluralisme dan lain-lainnya, baik di dalam maupun di luar negeri.
***
Sejak kapan Buya memiliki pandangan untuk kesetaraan anti diskriminasi ?
Semua melalui proses pengetahuan, pengetahuan itu penting sekali sebagai cara memahami orang. Kita memusuhi orang karena kita tidak tahu. Buya dulu sama dengan kalian diindoktrinasi konservatif. Perempuan itu kelas dua lah, perempuan itu tugasnya sumur, kasur, dapur dan lain sebagainya.
Karena ajarannya begitu. Buya pernah menulis, Buya fundamentalis karena Buya mendapatkan pelajaran konservatif seperti itu. Sama halnya dengan kiai-kiai sekarang juga terus-menerus seperti itu. Menurut Buya karena dia tidak mengetahui dan tidak paham.
Buya mendapatkan pengetahuan dari Lies Marcoes, Masdar dan bergaul dengan mereka, diajarkan oleh mereka. Mungkin karena basis Buya keterbukaan hati dan pikiran. Jadi Buya dengarkan saja dulu, jangan curiga dulu, jangan suudzon dulu, ya dengarkan saja.
Kenapa sampai membangun ISIF dan lembaga-lembaga yang lain. Apakah ceramah di pesantren dan seminar-seminar itu tidak cukup untuk memperjuangkan kesetaraan ?
Ya tidak cukup. Jadi begini, diskriminasi gender adalah konstruksi sosial peradaban yang didukung oleh kekuatan struktural dan kultural. Buya selalu mengatakan ideologi patriakhisme itu mendapatkan kekuatan dari dua raksasa yaitu lembaga negara dan lembaga agama.
Lembaga negaranya melaui undang-undang (UU). Karena ada beberapa peraturan yang dianggap sebagai kesepakatan publik, tapi memasukkan pasal yang mendiskriminasi dalam sebuah struktur kehidupan. Dan melalui pandangan-pandangan keagamaan, teks-teksnya begitu. Jadi sangat luar biasa. Sehingga tidak cukup untuk bisa setara ini, mungkin tahun 2400 menurut Buya baru bisa.
Sebab baru saja gagasan pemahaman tentang gender ini ditemukan di tahun 2000-an. Sementara konstruksi itu beratus-ratus abad bahkan sebelum masehi juga begitu. Strukturnya menganggap perempuan itu makhluk yang belum jadi.
Jadi ini kurang dan harus seluruhnya dibongkar. UU-nya dibongkar, dan pandangan keagamaan pun dibongkar. Di kulturalnya ya membongkar kitab kuning yang misoginis, yang diajarkan di pesantren-pesantren, kemudian disakralkan sehingga mengokohkan sistem relasi timpang. Jadi tidak cukup, harus membangun lembaga-lembaga lain dan terus-menerus.
ISIF itu ide Buya agar cara pandang perspektif keadilan dan kemanusiaan itu menjadi pengetahuan ilmiah. Dikonstruksikan dalam sebuah lembaga ilmiah. Bukan seperti lembaga yang mati terus, kemudian selesai, tidak ada lagi lanjutannya.
Apa perbedaan pendangan di tahun 2000 dengan sekarang. Karena sekarang Buya mulai membahas ujaran kebencian. Kalau boleh tahu apa perbedaan pemikiran Buya dari dulu sampai sekarang ?
Orang sering melihat partikularnya tapi tidak melihat basisnya. Basisnya itu keadilan dan kemanusiaan. Jadi Buya sudah kokoh basis fundamental, teorinya, dan perspektifnya. Jadi masalah apa saja Buya sudah biasa.
Sekarang Buya lebih ke sufi. Itulah perjalan proses terus-menerus seperti piramida. Bangunan pengetahuan orang juga piramida. Kalau di bawah itu formalis, tekstualis, bagian ketengah itu rasional, puncak itu mengalami atau sudah pada rasa. Itu yang otentik ada di dalam diri orang.
Atau Buya mengatakan begini. Apa yang kamu miliki, aku memilikinya. Kau adalah aku yang lain. Karena kita itu sama, punya potensi yang sama. Maka tasawuf itu yang paling toleran, dan yang paling hebat, karena di dalam tasawuf tidak ada sekat lain. Semua makhluk Allah harus dihormati. Dan Buya itu sudah sampai di sana. Karena kita berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan.
Jadi sampai kapan Buya akan memperjuangkan basis ini ?
Ya sampai terus-menerus, tak akan pernah berhenti, dan tidak boleh berhenti berjuang. Tidak ada jadwal untuk berhenti, karena manusia mengalami perubahan terus-menerus. Kita akan tergilas oleh roda zaman, karena perubahan itu akan terus terjadi. Kita tidak boleh berhenti. Karena berhenti adalah kematian.
Kemudian ditambah kekuatan Buya, karena Buya punya jaringan kultural. Keluarga Buya adalah pemilik pesantren, dari Banten sampai ujung Jawa Timur dan mereka punya pesantren-pesantren besar, tokoh-tokoh besar. Jadi perlawan terhadap Buya oleh kiai tidak terlalu besar. Paling sudah-sudah, jangan ikuti saja. Nanti juga akan kembali lagi.
Maka kemudian Buya membangun Fahmina sebagai proses transformasi dari kultural. Fahmina itu jargonnya melakukan transformasi melalui tradisi untuk keadilan dan kemanusiaan.
Kenapa Buya jarang banget menyinggung politik ?
Rakyat itu dikonstruksi oleh dua kekuatan, kekuatan struktural yang artinya negara. Dan kekuatan kultural yaitu kiai-kiai itu. Mereka punya kekuatan kultural. Dia lah yang melakukan pembelaan terhadap rakyat ketika rakyat ditindas oleh kekuasaan. Jadi jangan terlalu dekat dengan kekuasaan, nanti rakyat tidak punya pembela.
Ada suatu kisah, rombongannya ayah Maulana Rumi di Negara Asia Tengah. Karena diserbu oleh Mongol, tokoh besar itu. Ayah Rumi hijrah atau pindah ke Turki. Kemudian ada tokoh-tokoh besar mengetahui kedatangan tokoh ulama itu, terus dipersilahkan untuk menginap di istana.
Ayah Rumi mengatakan antarkan saya ke madrasah, karena tempat saya di sana, bukan di istana. Dimana ada madrasah saya akan disitu. Bukan di istana. Bahkan kalau Abduh itu sangat membenci politik. Ia mengatakan saya berlindung dari politik dan hal-hal yang berhubungan dengan politik.
Namun Buya tidak mengecam, karena politik juga penting, politik juga pengaturan negara. Tapi bagaimana cara mengatur politik yang baik.
Terakhir apa pesan Buya ?
Teori Buya yang mendasar adalah tidak boleh mendiskriminasi apapun. Jadi pesan Buya jangan sekali-kali menyakiti hati orang, karena itu sulit untuk disembuhkan dan menimbulkan pembalasan yang tidak pernah selesai. Dia menempel dalam relung hatinya dan akan terus-menerus. []