Mubadalah.id – Akhir-akhir ini berbagai media ramai memperbincangkan childfree, bahkan ketika saya membaca beberapa tulisan di mubadalah.id. Saya menemukan sudah ada sekitar 10 kontributor yang sudah membahas childfree. Agaknya saya sudah sangat ketinggalan jauh dengan yang lain untuk membicarakan childfree ini.
Pembicaraan mengenai childfree menjadi ramai, berawal dari pernyataan Chef Juna di podcast Deddy Corbuzier yang merasa tak masalah ketika istrinya tak mau memiliki anak. Dalam podcast tersebut Chef Juna bilang: “if my wife wants kids, we have kids. If my wife doesn’t want to kids, then we don’t have to have kids. (jika istri saya menginginkan anak, kami punya anak. Jika istri saya tidak ingin punya anak, maka kami tidak harus punya anak.)”
Mendengar pernyataan Chef Juna ini, sontak membuat banyak orang kaget. Ini disebabkan karena dalam budaya masyarakat kita menganggap bahwa perempuan yang sudah menikah memiliki kewajiban untuk mempunyai anak. Pandangan ini sangat umum kita jumpai dalam kehidupan masyarakat kita. Ketika perempuan sudah menikah, ia seakan tidak mempunyai pilihan lain selain daripada mempunyai anak dan menjadi ibu rumah tangga.
Beberapa orang menganggap keputusan untuk memilih childfree merupakan keputusan yang egois, hanya mementingkan kepentingan sendiri dan tidak mau direpotkan dengan kehadiran anak. Namun, beberapa orang lagi ada yang menganggap keputusan untuk memilih childfree bukanlah keputusan yang egois, melainkan sebuah keputusan yang sudah melalui pemikiran yang panjang dan penuh kesadaran.
Sebab, memiliki anak merupakan sebuah tanggung jawab yang besar dan tidak semua perempuan telah siap untuk menanggungnya. Memaksakan diri untuk mempunyai anak padahal dirinya belum siap secara fisik, mental ataupun finansial, justru merupakan suatu bentuk dari keegoisan. Ketika sudah mempunyai anak, orang tua mempunyai kewajiban untuk mendidik anak dengan baik. Jika salah satu orang tua atau keduanya tidak mampu mendidik anak dengan baik, itu malah akan menyebabkan kerugian bagi sang anak.
Jadi, pertanyaannya adalah apakah memilih childfree merupakan kesalahan bagi pasangan yang sudah menikah? Dan apakah mempunyai anak merupakan sebuah kewajiban bagi seorang perempuan?
Untuk bisa menjawab pertanyaan ini kita harus bisa membedakan lebih dulu antara kewajiban dengan tanggung jawab. Erich Fromm dalam Revolution of Hope: Toward a Humanized Technology telah menjelaskan perbedaan antara kewajiban dengan tanggung jawab dalam sudut pandang psikologi humanistik, katanya:
“Kewajiban adalah konsep dalam wilayah ketidakbebasan, sementara tanggung jawab adalah konsep di wilayah kebebasan. Perbedaan antara kewajiban dan tanggung jawab berkaitan dengan perbedaan antara nurani otoritarian dan humanistik. Nurani otoritarian pada dasarnya adalah kesiapan untuk mengikuti perintah-perintah pihak berwenang yang pada mereka seseorang menyerahkan diri. Ia adalah kepatuhan yang dimuliakan. Nurani humanistik adalah kesiapan untuk mendengarkan suara-suara kemanusiaan seseorang dan tidak bergantung pada perintah-perintah yang diberikan orang lain.”
Dari pernyataan ini, kita bisa memahami bahwa memiliki anak bukanlah sebuah kewajiban, melainkan sebuah tanggung jawab. Karena keinginan untuk mempunyai anak, harus dilandasi dengan kesiapan yang ikhlas dari hati nurani. Jika kita memutuskan untuk memiliki anak, kita harus siap untuk menanggung semua beban yang akan kita terima untuk membesarkan anak. Keinginan mempunyai anak tidak bisa dilandasi dengan keterpaksaan dari perintah orang lain. Keinginan tersebut harus bersumber dari hati nurani sendiri.
Memilih untuk childfree bukanlah sebuah kesalahan, selagi kedua pasangan memiliki alasan yang jelas dan rasional. Selagi pilihan untuk childfree tersebut ditujukan untuk kebaikan maka tak menjadi masalah. Banyak ulama Islam juga yang seumur hidupnya tidak memiliki anak bahkan mereka memilih untuk tidak menikah alias menjomblo sampai akhir hayatnya. Namun, pilihan mereka untuk tidak menikah dan tidak memiliki anak memiliki dasar yang kuat. Mereka melakukan itu untuk menebarkan kebaikan dan kebermanfaatan yang lebih besar di kehidupan.
Seperti Ibnu Sina, seorang tokoh besar dalam peradaban Islam ini sepanjang siangnya selalu dihabiskan untuk meneliti di lab, mengajar dan mengurusi pasien. Sepanjang malamnya ia habiskan untuk belajar dan menulis buku. Hampir semua cabang ilmu yang ada pada zamannya ia kuasai: filsafat, teologi, kedokteran, matematika, astronomi, fisika dan sastra.
Berkat kegigihannya dalam menuntut ilmu, Ibnu Sina dianugerahi kecerdasan yang luar biasa. Ia dikenal sebagai Bapak Kedokteran dan mendapat gelar asy-Syaikh ar-Rais (Guru Para Raja). Karena kesibukannya dalam menuntut ilmu dan mindsetnya yang mendahulukan ilmu pengetahuan di atas segala-galanya, membuat Ibnu Sina seumur hidupnya tidak pernah menikah dan tidak memiliki anak.
Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan dari Basrah memilih untuk tidak menikah karena rasa cintanya kepada Allah begitu besar, sehingga dalam hatinya seluruhnya hanya tercurahkan untuk Allah semata. Rabi’ah al-Adawiyah adalah perempuan yang sangat taat dalam beribadah, sepanjang malamnya ia habiskan untuk bermunajat kepada Allah. Ia dikenal dengan syair-syairnya yang indah kepada Allah.
Meskipun banyak ulama yang mengajukan lamaran kepadanya, namun Rabi’ah al-Adawiyah selalu menolaknya dengan alasan, ia takut tidak bisa adil dengan suami dan anak-anaknya nanti. Sebab, seluruh hatinya dan kecintaannya hanya telah tercurah hanya kepada Allah semata.
K.H Husein Muhammad menulis buku khusus berjudul “Para Intelektual dan Ulama yang Memilih Menjomblo”. Dalam buku tersebut tercatat ada sekitar 21 ulama yang memilih menjomblo alias tidak menikah dan tidak memiliki anak selama hidupnya, di antaranya yang paling dikenal ada Syaikh Bisy al-Hafi, Khadijah binti Sunhun, Ibnu Jarir Ath-Thabari, Imam Zamakhsyari, Imam Nawawi, Imam Ibnu Taimiyah, Jamaluddin al-Afghani, Sayyid Quthb, Layla-Majnun.
Mereka memilih untuk menjomblo dan tidak memiliki anak seumur hidupnya bukan tanpa alasan. Mereka mencurahkan waktu dan seluruh hidupnya untuk menebarkan kebaikan dan kebermanfaatan. Sebab hidup adalah pilihan, masing-masing dari kita telah dianugerahi kebebasan untuk memilih. Maka dari itu, keputusan untuk memilih childfree adalah hak bagi semua orang. Pilihan itu tidak menjadi masalah, selagi pilihan itu tidak merugikan orang lain dan ditujukan untuk kebaikan dan kebermanfaatan yang lebih besar. []