Mubadalah.id – Akhir-akhir ini saya sering sekali mendengarkan cerita teman-teman saya bahwa ia selalu disalahkan, entah dengan pasangannya, orang tua nya bahkan temannya sekalipun. Kondisi ini biasa disebut dengan Playing Victim. Playing Victim adalah ketika seseorang melemparkan kesalahan ke orang lain padahal kesalahan tersebut adalah perbuatannya sendiri. Saya sendiri pun pernah mengalami kondisi tersebut.
Playing victim bisa dilakukan oleh siapapun terhadap siapapun, tapi dari cerita yang sering saya dengar dari lingkungan pertemanan saya, korban Playing Victim adalah perempuan yang telah putus dengan pacarnya atau bahkan suaminya. Perempuan-perempuan ini dijadikan objek kesalahan oleh pasangannya masing-masing sebagai alasan terjadinya perpisahan.
Ini bisa diartikan sebagai Playing Victim, bagaimana tidak, ketika teman saya yang tidak melakukan perselingkuhan, hanya berteman dengan teman pria di kelasnya malah dituduh “selingkuh” oleh pasangannya. Pasangannya dirasa sudah bosan dan ingin cerai, lalu menuduh perempuannya melakukan hal yang sama sekali tidak dilakukannya. Apakah pantas alasan ini dijadikan dasar perpisahan
Perempuan bukanlah objek untuk disalahkan, jika memang ada hal yang dirasa tidak benar dilakukan perempuan, tidak ada salahnya mendengarkan penjelasan, dan klarifikasinya. Bukan langsung menjudge salah terhadapnya. Perempuan bukanlah makhluk yang lemah, yang bisa disalahkan dan dipojokkan. Perempuan diwajibkan melawan ketika keadaanya telah terancam atau tersudutkan.
Pelaku playing victim adalah mereka yang biasanya menghindari tanggung jawab karena sudah melakukan kesalahan. Bahkan pelakunya bisa memosisikan dirinya sebagai korban karena tak mendapatkan keadilan. Beberapa pria yang tidak ingin merasa salah malah melempar kesalahannya terhadap perempuan. Sungguh miris!
Tiap manusia yang baik, perempuan ataupun pria harus menjadi manusia yang bertanggungjawab. Mampu mengontrol emosinya, mengaku salah bila memang dirasa salah dan meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan. Saya rasa itu adalah prinsip dasar manusia untuk hidup, tapi nyatanya rasa tanggung jawab mulai terkikis dari manusia.
Ada lagi kisah kerabat saya, yang mengaku diputuskan oleh pasangannya, yang memutuskannya dengan alasan sikap kerabat saya yang buruk. Jika memang sikap adalah alasan untuk berpisah kenapa tidak ditegur terlebih dahulu? Atau bahkan dituntun untuk menjadi pribadi yang lebih baik? Bukankah sikap adalah hal yang melekat terhadap tiap individu? Jika memang mencintai dengan tulus, bukankah harusnya menerima apa adanya?
Masih ada seribu tanya di benak saya, ketika saya menemukan kasus pria yang melakukan playing victim terhadap perempuan. Tempat kesalahan memanglah manusia, baik perempuan maupun pria tak menutup kemungkinan sebagai ladang dosa dan salah. Yang paling menyebalkan adalah orang yang terlalu banyak menyalahkan orang lain, seakan-akan dia selalu jadi korban alias tukang playing victim.
Ada lagi kisah dari klikdokter.com ketika ada seorang karyawati yang pulang larut malam usai bekerja. Saat si karyawati diperkosa malam itu, masyarakat bukannya menyalahkan pelaku pemerkosaan. Malah korban justru ditempatkan sebagai pihak yang bersalah. Beberapa argumen yang terlontar biasanya adalah perempuan sebaiknya tidak pulang terlalu malam, berpakaian terlalu seksi, dan seharusnya perempuan tidak pulang sendirian tapi dijemput. Mereka menilai, karyawati itu sendiri yang “mengundang” tindak kriminal padanya.
Bukannya mendukung korban malah menyalahkan, playing victim ini dirasa sudah sangat kelewatan. Kalau pelaku tidak berniat berbuat jahat, semalam apa pun si karyawati pulang dan seterbuka apa pun bajunya, tidak akan terjadi pemerkosaan.
Orang-orang yang gemar melakukan playing victim umumnya mempunyai pola perilaku sama. Inti dari tindakan yang dilakukan adalah memosisikan diri sebagai korban demi mendapatkan tujuan tertentu. Selalu membahas masalah tanpa adanya pembahasan kearah solusi, bersikap pesimis terhadap penyelesaian masalah, Menyalahkan orang lain ketika segala sesuatunya tidak berjalan dengan baik, dan meyakini diri sebagai target kesalahan ketika hal buruk terjadi, padahal kenyataannya tidak.
Ketika perempuan mengalami playing victim dari pasangan atau orang lain, perempuan sangat jelas boleh melawan bahkan berhak untuk mengajukan klarifikasinya jika memang tidak merasa bersalah. Pelaku Playing Victim suka bertindak tidak berdaya untuk mendapatkan simpati . Ini akan memungkinkan korban untuk bermain dengan perasaan, dan memanipulasi.
Pada saat seperti itu ketegasan sebagai perempuan sangat dibutuhkan, berani berbicara, berani berargumen untuk membela diri sendiri yang tidak melakukan kesalahan tersebut. Jika pelaku masih tidak percaya, bisa minta bantuan pada orang lain yang netral untuk menjadi mediator dari perlakuan Playing Victim yang terjadi. Masalah ini harus diusut tuntas jangan sampai ada pelabelan salah pada orang yang tidak salah.
Pada beberapa kasus, Pelaku Playing Victim dapat saja muncul ketika seseorang mengalami kondisi-kondisi seperti keputusasaan, kurang percaya diri, rendah diri, hingga berjuang mengatasi depresi. Setelah mengetahui alasannya, Kita bisa menawarkan dukungan atau bantuan ke pelaku untuk menghilangkan perilaku buruk tersebut.
Playing victim adalah tindakan melemparkan tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan diri sendiri ke orang lain untuk tujuan tertentu, misalnya menghindari amarah atau mendapat apa yang diinginkan. Saat Anda menghadapi orang dengan Pelaku Playing Victim, hindari labeling, terapkan batasan, dan cari tahu alasan mereka melakukannya. []