Sabtu, 8 November 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Pahlawan Soeharto

    Ketua PBNU hingga Sejarawan Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Dosanya Besar bagi NU dan Masyarakat

    Disabilitas

    Di UNIK Cipasung, Zahra Amin: Jadikan Media Digital Ruang Advokasi bagi Penyandang Disabilitas

    Bagi Disabilitas

    Rektor Abdul Chobir: Kampus Harus Berani Melahirkan Gagasan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

    Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah bagi

    Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

    Fiqh al-Murunah yang

    Fiqh Al-Murunah: Fiqh yang Lentur, Partisipatif, dan Memberdayakan

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah, Gagasan Baru yang Terinspirasi dari Dua Tokoh NU dan Muhammadiyah

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Menempatkan Penyandang Disabilitas sebagai Subjek Penuh (Fā‘il Kāmil)

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Terobosan KUPI untuk Menempatkan Difabel sebagai Subjek Penuh dalam Hukum Islam

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Soeharto Pahlawan

    Menolak Soeharto Jadi Pahlawan: Sejarah Kelam Tak Boleh Dilupakan

    Pesta Pernikahan

    Tadarus Subuh: Merayakan Pesta Pernikahan Tanpa Membebani

    Presiden Meksiko Dilecehkan

    Ketika Presiden Meksiko Dilecehkan: Membaca Kekerasan Seksual dari Perspektif Mubadalah

    ASI yang

    Pentingnya Peran Ayah dalam Mendukung Pemberian ASI

    Budaya Bullying

    Budaya Bullying dan Hilangnya Rasa Aman Pelajar

    Menyusui

    Menyusui dan Politik Tubuh Perempuan

    Kesetaraan Disabilitas

    Gen Z Membangun Kesetaraan Disabilitas Di Era Digital

    Menyusui

    Menyusui dan Rekonstruksi Fikih Perempuan

    istihadhah yang

    Istihadhah: Saat Fiqh Perlu Lebih Empatik pada Perempuan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Pahlawan Soeharto

    Ketua PBNU hingga Sejarawan Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Dosanya Besar bagi NU dan Masyarakat

    Disabilitas

    Di UNIK Cipasung, Zahra Amin: Jadikan Media Digital Ruang Advokasi bagi Penyandang Disabilitas

    Bagi Disabilitas

    Rektor Abdul Chobir: Kampus Harus Berani Melahirkan Gagasan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

    Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah bagi

    Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

    Fiqh al-Murunah yang

    Fiqh Al-Murunah: Fiqh yang Lentur, Partisipatif, dan Memberdayakan

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah, Gagasan Baru yang Terinspirasi dari Dua Tokoh NU dan Muhammadiyah

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Menempatkan Penyandang Disabilitas sebagai Subjek Penuh (Fā‘il Kāmil)

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Terobosan KUPI untuk Menempatkan Difabel sebagai Subjek Penuh dalam Hukum Islam

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Soeharto Pahlawan

    Menolak Soeharto Jadi Pahlawan: Sejarah Kelam Tak Boleh Dilupakan

    Pesta Pernikahan

    Tadarus Subuh: Merayakan Pesta Pernikahan Tanpa Membebani

    Presiden Meksiko Dilecehkan

    Ketika Presiden Meksiko Dilecehkan: Membaca Kekerasan Seksual dari Perspektif Mubadalah

    ASI yang

    Pentingnya Peran Ayah dalam Mendukung Pemberian ASI

    Budaya Bullying

    Budaya Bullying dan Hilangnya Rasa Aman Pelajar

    Menyusui

    Menyusui dan Politik Tubuh Perempuan

    Kesetaraan Disabilitas

    Gen Z Membangun Kesetaraan Disabilitas Di Era Digital

    Menyusui

    Menyusui dan Rekonstruksi Fikih Perempuan

    istihadhah yang

    Istihadhah: Saat Fiqh Perlu Lebih Empatik pada Perempuan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Sastra

Sahir Menolak Bersaudara dengan Sahira (Part II)

Sahira tak mendengarkan. Sahira tahu Sahir tak mengerti. Ah, mengapa saudara sepersusuan dianggap mahram. Apakah bisa disangkal. Sejujurnya dia pun pedih. Tak bisa dipungkiri memang, keduanya adalah mahram radha'ah

Shella Carissa Shella Carissa
31 Oktober 2021
in Sastra
0
Perintah

Perintah

90
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Kisah sebelumnya, menceritakan bagaimana awal mula Sahir bertemu dengan Sahira. Namun sayang, takdir tak dapat ditolak. Sahir yang malang. Mencintai seorang gadis yang berbeda kufu dengannya. Gadis yang pastinya sulit untuk diterima dalam keluarga besarnya_seorang keluarga kaum pesantren. Sedangkan gadis itu, merupakan keluarga kalangan pejabat yang dipandang kurang dalam agamanya. Padahal nyatanya tidak.

Sahir oleh kedua orang tuanya sebenarnya dilarang kuliah di kota besar dengan mengambil jurusan di luar lingkup agama. Keluarganya ingin Sahir kuliah di Kairo. Tetapi Sahir bersikeras ingin kuliah di kota dan mengambil jurusan Hukum Tata Negara.

“Izinkan Sahir untuk memilih sendiri jalan hidup Sahir, Bah. Kali ini saja.” kata Sahir memohon.

“Kamu memang sudah besar, Nduk. Tetapi bagi Abah kamu ini masih harus ditunjukkan jalan yang sekiranya menuntunmu untuk terdidik dengan baik sehingga kamu bisa meneruskan Pesantren Risalahun Nur ini. Sebagai orang tua Abah hanya berusaha ikhtiar sebaik mungkin untuk anak-anaknya.” ucap Abah membujuk.

”Sahir mengerti, Bah. Abah pasti sudah istikharah untuk kelanjutan pendidikan Sahir ini. Tapi Sahir juga istikharah, Bah. Dan kerenteg hati Sahir berkata Sahir kuliah di kota dan di Indonesia, Bah. Berbedanya petunjuk itu Sahir yakin memiliki maksud yang sama, yakni mencerahkan masa depan umat. Tetapi apa yang dikode oleh Allah itu nantinya Sahir yang menjalani, bisa saja agar sistem, prinsip serta metode keilmuan yang akan Sahir ajarkan nanti bisa sesuai dengan apa yang dikonsumsi dan dijalani serta dihadapi Indonesia. Sehingga apa yang Sahir pelajari dan ajarkan sesuai dengan konteks Indonesia. Memang peradaban ilmu Islam di Kairo lebih bagus dan berpengaruh, tapi Indonesia juga tidak kalah bagusnya. Betul, kan, Bah?”

Abah menghela napas. Benar kata pepatah, kalau anak sudah besar dan cerdas dibanding orang tuanya, sepatah kata orang tua akan dibalas dua patah kata anaknya.Tetapi Abah tidak memaksa dan terbesit rasa bangga, kalau seandainya iya, Sahir sudah sedewasa ini dan semoga tidak salah akan jalan apa yang ia pilih.

“Lalu nanti kamu akan mengambil jurusan apa?” tanya Guntara, sepupu terdekatnya itu.

Seperti yang sudah Sahir pikirkan matang-matang, dia akan mengambil jurusan Hukum Tata Negara.

“Kenapa tidak Al-Ahwal As-Syakhsiyah saja? Atau Akhwal Syahsiyah? Atau hukum perdata Islam? Atau Hukum Tata Negara Islam? Ya, pokoknya yang ada islam-islamnya, lah.”

“Fokusku, kan Indonesia, bukan hanya Islam. Ingat, loh, kita ini orang Indonesia yang beragama Issam, bukan orang Islam yang tinggal di Indonesia. Jadi berdakwah, ya harus menyeluruh se-Indonesia, yang agamanya beragam. Ya, jadi fokusnya, kan mensejahterakan Indonesia. Bukan hanya untuk orang Islam saja. Lha, wong orang Islam wes islam, kok.”

Guntara menghela nafas, lalu menarik kesimpulan dari sepupunya itu, “ Kamu suka yang berbau politik rupanya. Atau kamu mau terjun ke politik?”

Bukannya dia ingin terjun ke politik, tetapi katanya dia ingin mencoba tantangan.

“Memang belum matang ilmu agamaku. Tetapi aku ingin mengambil kesempatan di usia mudaku dengan mencari ilmu umum, dan sekiranya dapat ku terapkan dan sandingkan dengan sistem pesantren, atau bisa jadi takdirku di luar pesantren, sehingga bisa kuterapkan prinsip keagamaan di dalamnya.”

“Contohnya?”

“Ya, seperti penerapan hukum pengadilan saja. Hukumnya disesuaikan dengan konteks Indonesia tanpa menghilangkan syariat islam dan fikihnya. Pastinya kamu pernah membaca buku Fikih Indonesia, kan? Ya, kurang lebih seperti itulah.”

Kuliahlah Sahir di kota. Dan ketika masuk di semester 3, dia bertemu Sahira.

Sahir mati-matian memberanikan diri berbincang dengan Sahira. Sebelumnya dia mengutus wakilnya untuk mengurus segala sesuatunya dan mendiskusikan langsung dengan designer mengenai design baliho untuk seminar jurusan mereka. Tetapi, begitu melihat sosok sang designer yang mempesona dan seperti memiliki aura yang kuat, dia tertarik lalu mengajukan dirinya agar dia saja yang berbicara dengan seorang designer yang bernama Sahira itu.

Lambat laun, dia semakin dekat dengan Sahira. Tanpa segan atau canggung dan rasa takut, sahira sering mengajak ke rumahnya. Tidak terbesit sedikitpun rasa takut akan adanya fitnah di kemudian hari.

Sebenarnya dia dan Sahira tidak jadi-an, namun kabar kedekatan keduanya tercium juga oleh keluarga besarnya, sehingga begitu liburan semester tiba, Sahir segera disuruh pulang oleh Abahnya.

“Besok, keluarga Kiai Nuruzzaman akan berkunjung.”

Sahir terdiam. Sejatinya tadi dia amat tegang, takut abahnya bertanya tentang kedekatannya dengan Sahira.

“Biasanya kalau ada kunjungan Sahir tidak ada gak apa-apa, Bah. Sekarang, kok, kayak Sahir harus ikut begitu?”

“Sudah, kamu manut saja. Berhubung kamu juga libur, kan? Lha, kamu ini, sudah hampir setahun toh tidak pulang sejak liburan Idulfitri kemarin? Lagipula, kan kita masih ada hubungan kerabat dengan keluarga Kiai Nuruzzaman ini. Ya gak enak, tho kalo sekeluarga tidak kumpul, sedangkan mereka sekeluarga mau bertandang.”

Sahir menganggukkan kepalanya dari ujung telepon. Merasa bersalah telah bertanya tadi. Tetapi memang di kampus dia masih ada beberapa job dengan kawan-kawannya.

“Gimana kuliahmu? Kabarnya kamu sedang dekat dengan perempuan.” Tanya Abah ketika Sahir telah duduk di hadapannya. Putranya itu baru pulang dari kota.

Ditanya begitu Sahir kikuk dan takut-takut menatap Abah yang sedang menyeruput kopinya.

“Tidak, kok, Bah. Hanya teman saja. Biasalah.”

***

“Abah mau jodohin kamu sama putri bungsunya Kyai Nuruzzaman.” Ucap Guntara tanpa tedeng alaling-aling

“Yang bener?” Sahir kaget mendengar ucapan Guntara ketika dirinya bertanya dan merasa heran mengapa Ummi, seminggu yang lalu sangat memaksa agar dirinya cepat pulang begitu info libur kampus diumumkan.

“Ngapain aku harus bohong? Unfaedah,” jawab Guntara diplomatis. “Lagipula aku setuju saja kalau kamu dengan gadis itu. Aku pernah lihat. Orangnya cantik, hafidzah, lulusan ilmu tafsir Al-qur’an pula. Dia juga cerdas, sering mengisi seminar-seminar di kampus dan luar kampusnya. Cocok sekali untuk jadi menantu Abahmu yang kelak akan melahirkan penerus bagi pesantren ini.”

Sahir tahu, di balik pujian Guntara itu, dia membandingkan gadis itu dengan Sahira.

“Kok, kamu banyak tahu tentang putri beliau itu? Jangan-jangan kamu ini cemburu, ya? Kamu suka, ya sama putrinya Kiai Nur itu? Lhaaa, aku tahu. Pasti kamu, kan yang mau dijodohkan dengan putri bungsunya Kiai Nuruzzaman itu?” tanya Sahir curiga.

“Ngaco kamu. Aku, kan dengar dari orang,” sergah Guntara tak terima.

“Apa yang didengar dari orang bisa saja salah, Gun. Bisa jadi dikurangi bisa jadi ditambahi.”

***

Sembari menunggu dengan gelisah dan tegang, hari itu datang juga. Hari di mana dia kabarnya akan di jodohkan dengan putri bungsu Kiai Nuruzzaman.

Nama gadis itu Aynzeliha, dipanggil Ze.

“Katanya Sahir kuliah di kota, ya? Di kota itu ada kawan lama kita, Za, Gunawan.”

“Taj Gunawan?” tanya Abah Hamza, ayahnya Sahir, tak percaya.

“Betul.”

“Masya Allah, dia bukan hanya sekedar kawan, tetapi sudah seperti keluarga saya sendiri.”

“Betul. Saya dengar anaknya yang perempuan satu kampus dengan Sahir. Kenal tidak Sahir? Kalau tidak salah namanya itu Sahira?”

Seketika darah Sahir berdesir mendengar nama Sahira disebut. Mereka sepertinya kenal baik dengan keluarga Sahira. Pantas ketika nama Taj disebut tadi Sahir agak menegang.

“Kenal, Kiai,” jawab Sahir jujur. Tak berani dia berbohong.

“Subhanallah, sepertinya menyenangkan jika kita bersama-sama silaturahmi dengan Gunawan, ya, Za?”

“Betul itu. Coba, Sahir, barangkali punya kontak anaknya itu. Atau kalau tidak, tanyakan sama teman-temanmu. Kalau sudah ada, mintakan nomor bapaknya.”

Tidak perlu tanya kontak Sahira kepada kawan karena Sahir sudah punya. Langsung dia ijin pamit ke belakang guna mengontak Sahira.

Ternyata kedatangan keluarga Kiai Zaman bukan untuk menjodohkan, tetapi untuk meminta tolong kepada Sahir agar mau mencarikan Ze tempat tinggal selama Ze magang di kota.

“Kebetulan Ze diterima magang di kota. Ze bilang mau mencari suasana baru dan belajar terjun ke dunia luar.” Ibu Ze angkat bicara.

“Jaman sekarang ini perempuan memang sudah seharusnya bisa bergerak dan beraktifitas di luar. Tetapi tentunya juga dengan tidak melanggar batasan-batasan syariat. Dewasa ini perempuan mulai ikut berperan, dan Ze ingin menjadi salah satunya.” Kata Ze menjelaskan.

“Bagus itu. Tetapi menurut Abah tentunya juga harus disertai dengan kesadaran kita ini siapa. Akar kita apa sehingga tumbuh bunganya juga tahu apa.” tambah Abah Hamza.

“Betul kata Abah Hamza. Dan memang, melihat jaman yang sedang terus berevolusi ini, kalau kita tidak ikut perkembangannya kita bisa terjepit dan glagapan lantaran tidak tau kondisi jaman. Karena itu perlu juga bagi kita untuk mempelajari apa-apa yang sedang diminati dan dibutuhkan di jaman sekarang.”

Pertemuan diakhiri dengan acara makan bersama.

“Kamu lihat, kan? Ze itu umurnya lebih tua dua tahun dariku. Tak mungkin dijodohkan sama aku. Yang kudengar, Ze itu sudah diminta Kiai besar di kampung sebelah pesantrennya.” Sahir misuh-misuh kepada Guntara yang memang ada di rumahnya seusai pertemuan.

Guntara diam saja dan tak mau menanggapi. Mungkin merasa malu sudah salah kaprah

Tak lama setelahnya, seminggu kemudian keluarga Sahira dan keluarga Kiai Nuruzzaman datang. Sahir terpukau melihat Sahira berbalut jilbab pashmina. Sangat menawan dikenakan wajahnya yang cantik.

“Senang kamu datang ke rumahku,” sambut Sahir. Sahira tersenyum saja.

***

Sahira yang tabah. Sahir yang tegar.

Takdir rupanya tak mengindahkan Sahir untuk memiliki Sahira. Dan takdir yang lumayan menampar Sahira bahwa dia termasuk bagian dari keluarga pesantren.

Pertemuan tiga keluarga itu membuka semuanya. Sejak kedatangan Sahira tadi, Sahir ingin berkata bahwa ia ingin berbincang berdua. Namun, Umminya keburu memanggilnya untuk makan bersama. Dan dari situlah, tema perbincangan yang diangkat sungguh menegangkan.

Dulu, ketika Sahira masih bayi sekitar berumur 1 tahun 8 bulan, mamahnya menitipkan Sahira kepada umminya Sahir selama dua bulan. Mamah Sahira dengan ummi Sahir kala itu sedang mengikuti pelatihan guru Bahasa Arab untuk kemudian menjadi relawan yang di kirim ke pelosok desa. Saat itu kebetulan masing-masing dari mereka sudah punya anak; Sahir dengan Sahira. Ketika itu Papah Sahira sedang bertugas di Maroko yang sangat tidak mungkin untuk ditinggal sehingga terpaksa meninggalkan mamah Sahira bersama Sahira di indonesia. Sembari menunggu itulah, mamah Sahira mengikuti pelatihan. Adapun umminya Sahir, kebetulan Abah juga mengajar Bahasa Arab tingkat pemula di pelatihan itu sehingga punya rumah khusus yang ditempati bersama Sahir dan umminya.

Mengenai dititipkannya Sahira, kabar memilukan menghantam mamah Sahira, bahwa suaminya mengalami kecelakaan saat penerbangan pulang dari Maroko ke Indonesia. Kecelakaan memang tidak parah, tetapi membuat kaki papah cidera dan tidak bisa berjalan selama dua minggu. Saat dititipkan itulah, Sahira disusui oleh umminya Sahir.

Sahir terhenyak mendengar cerita itu. Cerita bahwa Sahira adalah saudari sepersusuannya, sehingga mereka dianggap mahram dan dilarang menikah.

“Malu aku ingin berkabar. Aku sering bolak-balik ke luar negeri sehingga tidak sempat sekedar mencari tahu keberadaan kalian.” Kata papah Sahira, merasa menyesal tak pernah berkunjung atau berkomunikasi.

“Tak apa. Kita memang sedang sibuk-sibuknya. Aku juga baru berkunjung lagi setelah setahun yang lalu.” Kiai Nuruzzaman menimpali.

Obrolan ringan mengalir di antara ketiga keluarga itu. Obrolan yang sangat menohok Sahir.

***

“Jadi, kita ini saudara sepersusuan?”

“Ya, seperti yang kakak dengar tadi. Aku juga baru tahu.” Ucapan Sahira seakan tanpa beban. Atau mungkin terbebani hanya saja Sahira menutup-nutupi.

Sahir terdiam. Bingung harus mengatakan apa. Bingung harus menyampaikannya bagaimana. Bingung harus memulai dari mana.

“Tapi, yang sejujurnya, aku…” air mata menetes di pipi Sahir. Sayangnya Sahira tak melihat. Dia membelakangi Sahir, menatap lurus ke depan. Mungkin juga menghindari kontak mata dengan Sahir karena sejatinya, Sahira pun menguatkan dirinya sendiri. “Mencintaimu, Ra.” Tuntas. Sahir memungkaskan kalimat yang telah lama dipendamnya.

“Tetapi kenyataan lebih berkuasa dan kita mau gak mau harus menerimanya.”

Sahira begitu pasrah. Bahkan yang tidak Sahir mengerti, Sahira tetiba saja berubah. Berubah menjauhinya.

Sahir mencoba menerima akan keadaannya yang tengah dia alami, dan yang paling membuatnya tidak mengerti lagi, Sahira berhijab. Sangat tertutup. Entah kenapa, hal itu malah membuatnya merasa asing. Sebab Sahira seperti bukan Sahira.

“Seperti bukan kamu.” Komentar Sahir saat di suatu kesempatan dia bertemu Sahira dalam satu seminar.

“Kakak tahu, tuntutan itu membuatku tertuntut menutup aurat.” Jawab Sahira.

“Tuh, kamu tidak tulus. Kamu mengedepankan tuntutan. Mana ideologi kamu yang dulu selalu berapi-api. Mengapa seketika padam?”

Sahira menatap Sahir lekat. “Apa kakak lupa, secara tak langsung Sahira adalah bagian dari keluarga kakak yang amat nyantren?”

“Tapi apakah kamu secara suka rela atau terpaksa, secara tidak langsung itu juga melukai kamu. Merenggut jati diri kamu?”

“Lalu apa Sahira akan bersikap seolah tak tahu apa-apa? Bahkan seolah-olah tak tahu kalau kita adalah saudara?”

Sahir menggeleng. “Bukan, Ra. Kita tetap saudara tapi dengan kamu adalah kamu dan aku adalah aku.”

Bohong. Sahir sendiri tak bersungguh-sungguh mengucapkannya.

Sahira tak mendengarkan. Sahira tahu Sahir tak mengerti. Ah, mengapa saudara sepersusuan dianggap mahram. Apakah bisa disangkal. Sejujurnya dia pun pedih. Tak bisa dipungkiri memang, keduanya adalah mahram radha’ah. Asi yang diberikan ibu Sahir dianggap sebagai air susu seorang Ibu. Tak ayal, ibu Sahir adalah ibunya. Dan secara tak langsung, Sahir adalah kakaknya.

“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S Annisa: 23)

Hari-hari berlalu dijalani keduanya dengan hampa. Keduanya seperti dua orang yang tak saling mengenal. Hingga dua tahun kemudian, datang kabar Sahira akan terbang ke Kairo melanjutkan studi S1 nya di sana. Sahira pergi tanpa memberi kabar apapun kepada Sahir. Sahir yang telah berkesimpulan bahwa Sahira memang tak mencintainya, bahkan berusaha menerima Sahir sebagai saudara sepersusuannya, yang kenyataannya tak dapat diterima gadis itu, sehingga memutuskan pergi. Tetapi dugaan itu salah. Sahira ternyata menitipkan sebuah bingkisan untuk Sahir. Berisi kitab Ihya Ulumuddin 10 jilid dengan sarung beserta sorban berwarna coklat yang terlihat gagah. Disertai sepucuk surat.

“Kepada Kak Sahir. Bahwa apa yang di luar kehendak kita adalah yang terbaik menurut Tuhan untuk kita. Seandainya pun suatu hari juga berlaku hal demikian, hanya sifat menerima dan permohonan agar selalu diberikan kekuatan.

Aku pergi untuk memperbaiki pengetahuan agamaku. Ingin membanggakan ibu susuanku. Ingin menguatkan statusku sebagai anak susuannya. Sorban itu adalah sama dengan milikku. Jagalah sebagai kenang-kenangan dari adikmu.

Kak Sahir, bahwa cinta, tak ada yang bertepuk sebelah tangan. Karena cinta, semua orang memiliki, hanya saja terkadang logika atau hati belum terbuka. Tapi cinta Sahira untuk Sahir, adalah utuh. Entah sebagai dua orang asing atau dua orang yang saling bersaudara.” Tamat.

Tags: Cerita Cintacerita pendekCintalelakimahramMahram Radha'ahperempuanSastra
Shella Carissa

Shella Carissa

Masih menempuh pendidikan Agama di Pondok Kebon Jambu Al-Islamy dan Sarjana Ma'had Aly Kebon Jambu. Penikmat musik inggris. Menyukai kajian feminis, politik, filsafat dan yang paling utama ngaji nahwu-shorof, terkhusus ngaji al-Qur'an. Heu.

Terkait Posts

Menyusui
Keluarga

Menyusui dan Politik Tubuh Perempuan

8 November 2025
Menyusui
Keluarga

Menyusui dan Rekonstruksi Fikih Perempuan

8 November 2025
istihadhah yang
Keluarga

Istihadhah: Saat Fiqh Perlu Lebih Empatik pada Perempuan

7 November 2025
Haid yang
Keluarga

Fiqh Haid yang Kehilangan Empati terhadap Perempuan

7 November 2025
Haid yang
Keluarga

Fiqh Haid: Rumitnya Hukum yang Tak Terjangkau Perempuan

7 November 2025
Fiqh Haid
Keluarga

Fiqh Haid: Membebaskan Tubuh Perempuan dari Stigma Najis

6 November 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Presiden Meksiko Dilecehkan

    Ketika Presiden Meksiko Dilecehkan: Membaca Kekerasan Seksual dari Perspektif Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Peran Ayah dalam Mendukung Pemberian ASI

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gen Z Membangun Kesetaraan Disabilitas Di Era Digital

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Budaya Bullying dan Hilangnya Rasa Aman Pelajar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menyusui dan Rekonstruksi Fikih Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menolak Soeharto Jadi Pahlawan: Sejarah Kelam Tak Boleh Dilupakan
  • Tadarus Subuh: Merayakan Pesta Pernikahan Tanpa Membebani
  • Ketua PBNU hingga Sejarawan Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Dosanya Besar bagi NU dan Masyarakat
  • Ketika Presiden Meksiko Dilecehkan: Membaca Kekerasan Seksual dari Perspektif Mubadalah
  • Pentingnya Peran Ayah dalam Mendukung Pemberian ASI

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID