Mubadalah.id – Kisah sebelumnya, menceritakan bagaimana awal mula Sahir bertemu dengan Sahira. Namun sayang, takdir tak dapat ditolak. Sahir yang malang. Mencintai seorang gadis yang berbeda kufu dengannya. Gadis yang pastinya sulit untuk diterima dalam keluarga besarnya_seorang keluarga kaum pesantren. Sedangkan gadis itu, merupakan keluarga kalangan pejabat yang dipandang kurang dalam agamanya. Padahal nyatanya tidak.
Sahir oleh kedua orang tuanya sebenarnya dilarang kuliah di kota besar dengan mengambil jurusan di luar lingkup agama. Keluarganya ingin Sahir kuliah di Kairo. Tetapi Sahir bersikeras ingin kuliah di kota dan mengambil jurusan Hukum Tata Negara.
“Izinkan Sahir untuk memilih sendiri jalan hidup Sahir, Bah. Kali ini saja.” kata Sahir memohon.
“Kamu memang sudah besar, Nduk. Tetapi bagi Abah kamu ini masih harus ditunjukkan jalan yang sekiranya menuntunmu untuk terdidik dengan baik sehingga kamu bisa meneruskan Pesantren Risalahun Nur ini. Sebagai orang tua Abah hanya berusaha ikhtiar sebaik mungkin untuk anak-anaknya.” ucap Abah membujuk.
”Sahir mengerti, Bah. Abah pasti sudah istikharah untuk kelanjutan pendidikan Sahir ini. Tapi Sahir juga istikharah, Bah. Dan kerenteg hati Sahir berkata Sahir kuliah di kota dan di Indonesia, Bah. Berbedanya petunjuk itu Sahir yakin memiliki maksud yang sama, yakni mencerahkan masa depan umat. Tetapi apa yang dikode oleh Allah itu nantinya Sahir yang menjalani, bisa saja agar sistem, prinsip serta metode keilmuan yang akan Sahir ajarkan nanti bisa sesuai dengan apa yang dikonsumsi dan dijalani serta dihadapi Indonesia. Sehingga apa yang Sahir pelajari dan ajarkan sesuai dengan konteks Indonesia. Memang peradaban ilmu Islam di Kairo lebih bagus dan berpengaruh, tapi Indonesia juga tidak kalah bagusnya. Betul, kan, Bah?”
Abah menghela napas. Benar kata pepatah, kalau anak sudah besar dan cerdas dibanding orang tuanya, sepatah kata orang tua akan dibalas dua patah kata anaknya.Tetapi Abah tidak memaksa dan terbesit rasa bangga, kalau seandainya iya, Sahir sudah sedewasa ini dan semoga tidak salah akan jalan apa yang ia pilih.
“Lalu nanti kamu akan mengambil jurusan apa?” tanya Guntara, sepupu terdekatnya itu.
Seperti yang sudah Sahir pikirkan matang-matang, dia akan mengambil jurusan Hukum Tata Negara.
“Kenapa tidak Al-Ahwal As-Syakhsiyah saja? Atau Akhwal Syahsiyah? Atau hukum perdata Islam? Atau Hukum Tata Negara Islam? Ya, pokoknya yang ada islam-islamnya, lah.”
“Fokusku, kan Indonesia, bukan hanya Islam. Ingat, loh, kita ini orang Indonesia yang beragama Issam, bukan orang Islam yang tinggal di Indonesia. Jadi berdakwah, ya harus menyeluruh se-Indonesia, yang agamanya beragam. Ya, jadi fokusnya, kan mensejahterakan Indonesia. Bukan hanya untuk orang Islam saja. Lha, wong orang Islam wes islam, kok.”
Guntara menghela nafas, lalu menarik kesimpulan dari sepupunya itu, “ Kamu suka yang berbau politik rupanya. Atau kamu mau terjun ke politik?”
Bukannya dia ingin terjun ke politik, tetapi katanya dia ingin mencoba tantangan.
“Memang belum matang ilmu agamaku. Tetapi aku ingin mengambil kesempatan di usia mudaku dengan mencari ilmu umum, dan sekiranya dapat ku terapkan dan sandingkan dengan sistem pesantren, atau bisa jadi takdirku di luar pesantren, sehingga bisa kuterapkan prinsip keagamaan di dalamnya.”
“Contohnya?”
“Ya, seperti penerapan hukum pengadilan saja. Hukumnya disesuaikan dengan konteks Indonesia tanpa menghilangkan syariat islam dan fikihnya. Pastinya kamu pernah membaca buku Fikih Indonesia, kan? Ya, kurang lebih seperti itulah.”
Kuliahlah Sahir di kota. Dan ketika masuk di semester 3, dia bertemu Sahira.
Sahir mati-matian memberanikan diri berbincang dengan Sahira. Sebelumnya dia mengutus wakilnya untuk mengurus segala sesuatunya dan mendiskusikan langsung dengan designer mengenai design baliho untuk seminar jurusan mereka. Tetapi, begitu melihat sosok sang designer yang mempesona dan seperti memiliki aura yang kuat, dia tertarik lalu mengajukan dirinya agar dia saja yang berbicara dengan seorang designer yang bernama Sahira itu.
Lambat laun, dia semakin dekat dengan Sahira. Tanpa segan atau canggung dan rasa takut, sahira sering mengajak ke rumahnya. Tidak terbesit sedikitpun rasa takut akan adanya fitnah di kemudian hari.
Sebenarnya dia dan Sahira tidak jadi-an, namun kabar kedekatan keduanya tercium juga oleh keluarga besarnya, sehingga begitu liburan semester tiba, Sahir segera disuruh pulang oleh Abahnya.
“Besok, keluarga Kiai Nuruzzaman akan berkunjung.”
Sahir terdiam. Sejatinya tadi dia amat tegang, takut abahnya bertanya tentang kedekatannya dengan Sahira.
“Biasanya kalau ada kunjungan Sahir tidak ada gak apa-apa, Bah. Sekarang, kok, kayak Sahir harus ikut begitu?”
“Sudah, kamu manut saja. Berhubung kamu juga libur, kan? Lha, kamu ini, sudah hampir setahun toh tidak pulang sejak liburan Idulfitri kemarin? Lagipula, kan kita masih ada hubungan kerabat dengan keluarga Kiai Nuruzzaman ini. Ya gak enak, tho kalo sekeluarga tidak kumpul, sedangkan mereka sekeluarga mau bertandang.”
Sahir menganggukkan kepalanya dari ujung telepon. Merasa bersalah telah bertanya tadi. Tetapi memang di kampus dia masih ada beberapa job dengan kawan-kawannya.
“Gimana kuliahmu? Kabarnya kamu sedang dekat dengan perempuan.” Tanya Abah ketika Sahir telah duduk di hadapannya. Putranya itu baru pulang dari kota.
Ditanya begitu Sahir kikuk dan takut-takut menatap Abah yang sedang menyeruput kopinya.
“Tidak, kok, Bah. Hanya teman saja. Biasalah.”
***
“Abah mau jodohin kamu sama putri bungsunya Kyai Nuruzzaman.” Ucap Guntara tanpa tedeng alaling-aling
“Yang bener?” Sahir kaget mendengar ucapan Guntara ketika dirinya bertanya dan merasa heran mengapa Ummi, seminggu yang lalu sangat memaksa agar dirinya cepat pulang begitu info libur kampus diumumkan.
“Ngapain aku harus bohong? Unfaedah,” jawab Guntara diplomatis. “Lagipula aku setuju saja kalau kamu dengan gadis itu. Aku pernah lihat. Orangnya cantik, hafidzah, lulusan ilmu tafsir Al-qur’an pula. Dia juga cerdas, sering mengisi seminar-seminar di kampus dan luar kampusnya. Cocok sekali untuk jadi menantu Abahmu yang kelak akan melahirkan penerus bagi pesantren ini.”
Sahir tahu, di balik pujian Guntara itu, dia membandingkan gadis itu dengan Sahira.
“Kok, kamu banyak tahu tentang putri beliau itu? Jangan-jangan kamu ini cemburu, ya? Kamu suka, ya sama putrinya Kiai Nur itu? Lhaaa, aku tahu. Pasti kamu, kan yang mau dijodohkan dengan putri bungsunya Kiai Nuruzzaman itu?” tanya Sahir curiga.
“Ngaco kamu. Aku, kan dengar dari orang,” sergah Guntara tak terima.
“Apa yang didengar dari orang bisa saja salah, Gun. Bisa jadi dikurangi bisa jadi ditambahi.”
***
Sembari menunggu dengan gelisah dan tegang, hari itu datang juga. Hari di mana dia kabarnya akan di jodohkan dengan putri bungsu Kiai Nuruzzaman.
Nama gadis itu Aynzeliha, dipanggil Ze.
“Katanya Sahir kuliah di kota, ya? Di kota itu ada kawan lama kita, Za, Gunawan.”
“Taj Gunawan?” tanya Abah Hamza, ayahnya Sahir, tak percaya.
“Betul.”
“Masya Allah, dia bukan hanya sekedar kawan, tetapi sudah seperti keluarga saya sendiri.”
“Betul. Saya dengar anaknya yang perempuan satu kampus dengan Sahir. Kenal tidak Sahir? Kalau tidak salah namanya itu Sahira?”
Seketika darah Sahir berdesir mendengar nama Sahira disebut. Mereka sepertinya kenal baik dengan keluarga Sahira. Pantas ketika nama Taj disebut tadi Sahir agak menegang.
“Kenal, Kiai,” jawab Sahir jujur. Tak berani dia berbohong.
“Subhanallah, sepertinya menyenangkan jika kita bersama-sama silaturahmi dengan Gunawan, ya, Za?”
“Betul itu. Coba, Sahir, barangkali punya kontak anaknya itu. Atau kalau tidak, tanyakan sama teman-temanmu. Kalau sudah ada, mintakan nomor bapaknya.”
Tidak perlu tanya kontak Sahira kepada kawan karena Sahir sudah punya. Langsung dia ijin pamit ke belakang guna mengontak Sahira.
Ternyata kedatangan keluarga Kiai Zaman bukan untuk menjodohkan, tetapi untuk meminta tolong kepada Sahir agar mau mencarikan Ze tempat tinggal selama Ze magang di kota.
“Kebetulan Ze diterima magang di kota. Ze bilang mau mencari suasana baru dan belajar terjun ke dunia luar.” Ibu Ze angkat bicara.
“Jaman sekarang ini perempuan memang sudah seharusnya bisa bergerak dan beraktifitas di luar. Tetapi tentunya juga dengan tidak melanggar batasan-batasan syariat. Dewasa ini perempuan mulai ikut berperan, dan Ze ingin menjadi salah satunya.” Kata Ze menjelaskan.
“Bagus itu. Tetapi menurut Abah tentunya juga harus disertai dengan kesadaran kita ini siapa. Akar kita apa sehingga tumbuh bunganya juga tahu apa.” tambah Abah Hamza.
“Betul kata Abah Hamza. Dan memang, melihat jaman yang sedang terus berevolusi ini, kalau kita tidak ikut perkembangannya kita bisa terjepit dan glagapan lantaran tidak tau kondisi jaman. Karena itu perlu juga bagi kita untuk mempelajari apa-apa yang sedang diminati dan dibutuhkan di jaman sekarang.”
Pertemuan diakhiri dengan acara makan bersama.
“Kamu lihat, kan? Ze itu umurnya lebih tua dua tahun dariku. Tak mungkin dijodohkan sama aku. Yang kudengar, Ze itu sudah diminta Kiai besar di kampung sebelah pesantrennya.” Sahir misuh-misuh kepada Guntara yang memang ada di rumahnya seusai pertemuan.
Guntara diam saja dan tak mau menanggapi. Mungkin merasa malu sudah salah kaprah
Tak lama setelahnya, seminggu kemudian keluarga Sahira dan keluarga Kiai Nuruzzaman datang. Sahir terpukau melihat Sahira berbalut jilbab pashmina. Sangat menawan dikenakan wajahnya yang cantik.
“Senang kamu datang ke rumahku,” sambut Sahir. Sahira tersenyum saja.
***
Sahira yang tabah. Sahir yang tegar.
Takdir rupanya tak mengindahkan Sahir untuk memiliki Sahira. Dan takdir yang lumayan menampar Sahira bahwa dia termasuk bagian dari keluarga pesantren.
Pertemuan tiga keluarga itu membuka semuanya. Sejak kedatangan Sahira tadi, Sahir ingin berkata bahwa ia ingin berbincang berdua. Namun, Umminya keburu memanggilnya untuk makan bersama. Dan dari situlah, tema perbincangan yang diangkat sungguh menegangkan.
Dulu, ketika Sahira masih bayi sekitar berumur 1 tahun 8 bulan, mamahnya menitipkan Sahira kepada umminya Sahir selama dua bulan. Mamah Sahira dengan ummi Sahir kala itu sedang mengikuti pelatihan guru Bahasa Arab untuk kemudian menjadi relawan yang di kirim ke pelosok desa. Saat itu kebetulan masing-masing dari mereka sudah punya anak; Sahir dengan Sahira. Ketika itu Papah Sahira sedang bertugas di Maroko yang sangat tidak mungkin untuk ditinggal sehingga terpaksa meninggalkan mamah Sahira bersama Sahira di indonesia. Sembari menunggu itulah, mamah Sahira mengikuti pelatihan. Adapun umminya Sahir, kebetulan Abah juga mengajar Bahasa Arab tingkat pemula di pelatihan itu sehingga punya rumah khusus yang ditempati bersama Sahir dan umminya.
Mengenai dititipkannya Sahira, kabar memilukan menghantam mamah Sahira, bahwa suaminya mengalami kecelakaan saat penerbangan pulang dari Maroko ke Indonesia. Kecelakaan memang tidak parah, tetapi membuat kaki papah cidera dan tidak bisa berjalan selama dua minggu. Saat dititipkan itulah, Sahira disusui oleh umminya Sahir.
Sahir terhenyak mendengar cerita itu. Cerita bahwa Sahira adalah saudari sepersusuannya, sehingga mereka dianggap mahram dan dilarang menikah.
“Malu aku ingin berkabar. Aku sering bolak-balik ke luar negeri sehingga tidak sempat sekedar mencari tahu keberadaan kalian.” Kata papah Sahira, merasa menyesal tak pernah berkunjung atau berkomunikasi.
“Tak apa. Kita memang sedang sibuk-sibuknya. Aku juga baru berkunjung lagi setelah setahun yang lalu.” Kiai Nuruzzaman menimpali.
Obrolan ringan mengalir di antara ketiga keluarga itu. Obrolan yang sangat menohok Sahir.
***
“Jadi, kita ini saudara sepersusuan?”
“Ya, seperti yang kakak dengar tadi. Aku juga baru tahu.” Ucapan Sahira seakan tanpa beban. Atau mungkin terbebani hanya saja Sahira menutup-nutupi.
Sahir terdiam. Bingung harus mengatakan apa. Bingung harus menyampaikannya bagaimana. Bingung harus memulai dari mana.
“Tapi, yang sejujurnya, aku…” air mata menetes di pipi Sahir. Sayangnya Sahira tak melihat. Dia membelakangi Sahir, menatap lurus ke depan. Mungkin juga menghindari kontak mata dengan Sahir karena sejatinya, Sahira pun menguatkan dirinya sendiri. “Mencintaimu, Ra.” Tuntas. Sahir memungkaskan kalimat yang telah lama dipendamnya.
“Tetapi kenyataan lebih berkuasa dan kita mau gak mau harus menerimanya.”
Sahira begitu pasrah. Bahkan yang tidak Sahir mengerti, Sahira tetiba saja berubah. Berubah menjauhinya.
Sahir mencoba menerima akan keadaannya yang tengah dia alami, dan yang paling membuatnya tidak mengerti lagi, Sahira berhijab. Sangat tertutup. Entah kenapa, hal itu malah membuatnya merasa asing. Sebab Sahira seperti bukan Sahira.
“Seperti bukan kamu.” Komentar Sahir saat di suatu kesempatan dia bertemu Sahira dalam satu seminar.
“Kakak tahu, tuntutan itu membuatku tertuntut menutup aurat.” Jawab Sahira.
“Tuh, kamu tidak tulus. Kamu mengedepankan tuntutan. Mana ideologi kamu yang dulu selalu berapi-api. Mengapa seketika padam?”
Sahira menatap Sahir lekat. “Apa kakak lupa, secara tak langsung Sahira adalah bagian dari keluarga kakak yang amat nyantren?”
“Tapi apakah kamu secara suka rela atau terpaksa, secara tidak langsung itu juga melukai kamu. Merenggut jati diri kamu?”
“Lalu apa Sahira akan bersikap seolah tak tahu apa-apa? Bahkan seolah-olah tak tahu kalau kita adalah saudara?”
Sahir menggeleng. “Bukan, Ra. Kita tetap saudara tapi dengan kamu adalah kamu dan aku adalah aku.”
Bohong. Sahir sendiri tak bersungguh-sungguh mengucapkannya.
Sahira tak mendengarkan. Sahira tahu Sahir tak mengerti. Ah, mengapa saudara sepersusuan dianggap mahram. Apakah bisa disangkal. Sejujurnya dia pun pedih. Tak bisa dipungkiri memang, keduanya adalah mahram radha’ah. Asi yang diberikan ibu Sahir dianggap sebagai air susu seorang Ibu. Tak ayal, ibu Sahir adalah ibunya. Dan secara tak langsung, Sahir adalah kakaknya.
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S Annisa: 23)
Hari-hari berlalu dijalani keduanya dengan hampa. Keduanya seperti dua orang yang tak saling mengenal. Hingga dua tahun kemudian, datang kabar Sahira akan terbang ke Kairo melanjutkan studi S1 nya di sana. Sahira pergi tanpa memberi kabar apapun kepada Sahir. Sahir yang telah berkesimpulan bahwa Sahira memang tak mencintainya, bahkan berusaha menerima Sahir sebagai saudara sepersusuannya, yang kenyataannya tak dapat diterima gadis itu, sehingga memutuskan pergi. Tetapi dugaan itu salah. Sahira ternyata menitipkan sebuah bingkisan untuk Sahir. Berisi kitab Ihya Ulumuddin 10 jilid dengan sarung beserta sorban berwarna coklat yang terlihat gagah. Disertai sepucuk surat.
“Kepada Kak Sahir. Bahwa apa yang di luar kehendak kita adalah yang terbaik menurut Tuhan untuk kita. Seandainya pun suatu hari juga berlaku hal demikian, hanya sifat menerima dan permohonan agar selalu diberikan kekuatan.
Aku pergi untuk memperbaiki pengetahuan agamaku. Ingin membanggakan ibu susuanku. Ingin menguatkan statusku sebagai anak susuannya. Sorban itu adalah sama dengan milikku. Jagalah sebagai kenang-kenangan dari adikmu.
Kak Sahir, bahwa cinta, tak ada yang bertepuk sebelah tangan. Karena cinta, semua orang memiliki, hanya saja terkadang logika atau hati belum terbuka. Tapi cinta Sahira untuk Sahir, adalah utuh. Entah sebagai dua orang asing atau dua orang yang saling bersaudara.” Tamat.