“My wife is my best friend.”
Mubadalah.id – Sayup terdengar percakapan suami dengan koleganya di telepon beberapa hari lalu. “Dia juga partner terbaik saya, tempat berbagi ide dan gagasan”, tambahnya lagi. Dari kamar saya hanya senyum-senyum tipis mendengar pengakuan yang kadang malah sulit diucapkan langsung.
Ditemani gerimis yang seharian mengguyur langit Tehran, saya jadi terkenang kembali perjalanan 20 tahun persahabatan kami. Saya memang lebih nyaman menyebut relasi ini dengan sahabat dibandingkan imam dan makmum. Ada pesan kesetaraan dan kesalingan di dalamnya. Seperti pertama kali bertemu, komitmen itu yang selalu kami bawa sampai hari ini.
Dulu, salah satu pertimbangan saya untuk menerimanya, karena dia teman ngobrol yang asik. Kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya dengan ngobrol di ruang tamu kos. Saya mikirinya sederhana saja, rasa suka itu kan bisa naik-turun, sementara saya akan bersamanya setiap saat. Sehingga dalam kondisi apapun kami tetap bisa saling bicara.
Sahabat yang kami pahami juga berarti saling memberikan kesempatan untuk bertumbuh. Jika semasa kuliah, kami dulu bisa sama-sama belajar, ngedate di perpus bareng, ikut acara diskusi. Setelah menikah seharusnya kami juga tetap saling memberikan support satu sama lain.
Saya masih ingat, bagaimana di tengah segala kesibukan suami, dia memperjuangkan beasiswa saya. Bagaimana ia menemani bayi mungil di rumah, agar saya tetap bisa pergi ke kampus. Dan baru-baru ini, ia jauh-jauh datang dari tempat kerja untuk menemani saya wawancara tes mengajar dan tanda tangan kontrak, padahal hari itu dia ada kelas sampai jam 10 malam.
Sahabat bukan melulu tentang hal-hal manis dan membahagiakan, tapi ia yang siap memberi sayap untuk terbang bersama. Bagi saya, 20 tahun kebersamaan ini adalah sebuah hadiah yang harus selalu kami syukuri. Di tengah segala cerita bahagia dan muram, kami tetap berdiri bersisian. Mohon doa teman-teman di 20 tahun pernikahan ini. Tehran, 27 November 2021. []