Mubadalah.id – Jaringan Kongres Ulama Perempuan (KUPI) bersama Jaringan Masyarakat Peduli Darurat Kekerasan Seksual yang terdiri dari lebih dari 300 organisasi masyarakat sipil mengadakan kegiatan Istighotsah Kubro: Doa Bersama untuk Keselamatan Bangsa dari Darurat Kekerasan Seksual pada Selasa, 14 Desember 2021.
Istighotsah dipimpin oleh Ulama Perempuan Ibu Nyai Hj Umdatul Choirot Pengasuh Ponpes Assa’idiyah Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, dan doa oleh KH Cecep Jaya Karma Pengasuh Ponpes Nurul Huda Garut. Sementara pernyataan sikap dibacakan oleh Ibu Nyai Hj Badriyah Fayumi, Lc, MA Koordinator Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI),dan KH Wawan Gunawan Abdul Wahid, Lc., MA tokoh agama dan Akademisi.
Sementara itu video dukungan juga datang dari Ketua MUI Prof Dr Hj Amany Lubis, MA, Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. KH Nasarudin , MA, Sekjend PBNU KH Dr. (H.C) Helmy Faishal Zaini, ST, MSi, Ketua Umum Wanita Syarikat Islam Prof. Dr. Valina Singka Subekti, MSi, Ketua Umum Muslimat Mathlaul Anwar Hj Trisnaningsih Djuwaeli, Ketua Umum Wanita Tarbiyah Perti Dra Hj Asdirwati Ali, MM, dan Pengasuh Ponpes Kebon Jambu Al Islamy Cirebon, Hj Masriyah Amva.
Melalui acara tersebut semua berharap, negara menjalankan kewajibannya untuk memberikan sistem perlindungan hukum untuk masyarakat dari tindak kekerasan seksual, dan mencegah masyarakat untuk tidak menjadi pelaku kekerasan seksual. Sehingga menjadi sebuah keniscayaan negara hadir dengan kebijakan yang melindungi korban kekerasan seksual, dan sebagai warga negara harus turut aktif melakukan pencegahan kekerasan seksual dan pemulihan bagi korban.
Sebab, kekerasan seksual adalah tindakan biadab yang dikutuk semua agama. Sedangkan menolong korban kekerasan seksual, menyelamatkan setiap anak bangsa, keluarga dan masyarakat dari kekerasan seksual adalah kewajiban konstitusional yang juga diperintahkan agama. Untuk itu Jaringan KUPI dan Masyarakat Peduli Darurat Kekerasan Seksual menyampaikan pernyataan sikap terkait kondisi Indonesia hari ini.
Pertimbangannya pertama bahwa fakta bahwa tindakan kekerasan seksual secara terus – menerus terjadi di Indonesia, di hampir seluruh wilayah Indonesia, dengan berbagai usia korban, dan dilakukan oleh pelaku tanpa memandang latar belakang pendidikan, keagamaan, usia, maupun lainnya, dan terjadi tanpa memandang tempat, baik rumah, asrama, tempat kerja, lembaga pendidikan, jalan, maupun tempat lainnya;
Kedua, fakta bahwa para korban yang terus berjatuhan tidak memperoleh perlindungan yang cukup dan pendampingan yang memadai, mereka selalu disalahkan dan disudutkan dalam berbagai jenjang; sejak berhadapan dengan pelaku, keluarga yang menganggapnya aib, lalu ketika peristiwanya dilaporkan ke aparat yang justru menyalahkan perilaku dan pakaian korban, tidak semuanya memperoleh pendampingan dan acapkali diselesaikan secara kekeluargaan, bahkan masyarakat yang masih sering menormalisasi praktik-praktik kekerasan;
Ketiga, upaya korban mencari keadilan dan memperoleh pemulihan juga terhambat karena peraturan perundangan-undangan yang ada belum mengenali persoalan kekerasan seksual secara menyeluruh dan bahkan ada yang justru potensial digunakan untuk mengkriminalkan korban, dan fasilitas dan kapasitas layanan pendampingan bagi korban belum tersedia secara memadai di banyak wilayah.
Keempat, dampak buruk, trauma berat, dan bahaya besar, baik secara fisik, psikis, maupun sosial pada korban bisa berlangsung seumur hidup mereka, sedangkan pelaku dapat melenggang lolos dari hukuman setimpal, dan jikapun telah menjalani hukuman tidak ada tindakan korektif apapun pada pelaku, sehingga potensial mengulang perbuatannya itu dan korban terus bertambah dan berjatuhan;
Kelima, bahaya pembiaran tindak pidana kekerasan seksual pada kualitas bangsa sebagai individu, baik pelaku maupun korban, yang mengancam jiwa manusia terutama perempuan dan anak yang paling rentan, merusak kesakralan lembaga perkawinan, keutuhan dan ketahanan keluarga, keberdayaan masyarakat, maupun keutuhan bangsa, serta kehidupan manusia pada umumnya;
Selain itu memperhatikan, pertama, Cita-cita Islam untuk mewujudkan sistem kehidupan yang menjadi anugerah bagi semesta atau Rahmatan lil Alamin dan menyempurnakan akhlak mulia manusia atau Li utammima Makarimal Akhlaq;
Kedua, Amanah Pancasila sebagai fondasi dalam berbangsa dan bernegara untuk menjunjung tinggi nilai ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan sosial;
Ketiga, Amanah UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara RI untuk menjamin keselamatan dan keamanan seluruh warga negara dari semua tindakan yang membayakan dirinya;
Keempat, Norma-norma luhur adat istiadat Nusantara yang menghormati perempuan, menyayangi anak-anak, memberdayakan orang-orang lemah, melindungi dan mendukung mereka yang menjadi korban kezaliman dan kejahatan.
Kelima, Hasil Musyawarah Keagamaan Kongres ULama Perempuan Indonesia (KUPI) di Pondok Jambu Cirebon pada tahun 2017 yang menyatakan bahwa tindakan kekerasan seksual, baik di dalam maupun di luar perkawinan, adalah haram.
Maka, dengan demikian Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dan Jaringan Masyarakat Peduli Darurat Kekerasan Seksual menyatakan sikap;
Pertama, Setiap tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh siapa pun, kapan pun, di mana pun, dan dalam bentuk apa pun adalah sebuah kezaliman yang bertentangan dengan cita-cita Islam untuk menjadi rahmat bagi semesta dan menyempurnakan akhlak mulia manusia, norma-norma adat dan tradisi luhur ketimuran, nilai-nilai Pancasila, serta hak-hak dasar warga negara yang dijamin Konstitusi Negara Republik Indonesia;
Kedua, Kekerasan seksual di Indonesia sudah mencapai tahap darurat yang memerlukan kerjasama seluruh komponen bangsa yang beradab sebagai panggilan iman bagi seluruh umat beragama;
Ketiga, Kondisi Darurat Kekerasan Seksual ini mewajibkan negara sebagai Ulil Amri untuk menciptakan Sistem Perlindungan Hukum untuk mencegah setiap anak bangsa menjadi korban maupun pelaku Kekerasan Seksual, melindungi dan memulihkan korban, juga merehabilitasi pelakunya.
Melalui pernyataan sikap tersebut merekomendasikan bahwa, pertama kepada para tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat untuk menjaga adat, tradisi, dan tafsir keagamaan yang adil dan beradab dan secara aktif mewujudkan sistem pendukung bagi pencegahan kekerasan seksual oleh siapapun kepada siapapun, dan perlindungan serta pemulihan korban serta menghukum dan memberi tindakan korektif kepada pelaku;
Kedua, Kepada pemerintah untuk secara sungguh-sungguh mengupayakan sistem pendidikan publik untuk membangun kesadaran tentang bahaya kekerasan seksual dan membangun sistem pelindungan hukum untuk mencegah siapapun menjadi korban dan pelaku kekerasan, serta melindungi dan memenuhi hak-hak korban;
Ketiga, kepada masyarakat dan korporasi untuk berpartisipasi mewujudkan sistem pencegahan dini kekerasan kekerasan seksual dan aktif memberikan dukungan pada korban;
Keempat, Wa bil khusus, kepada DPR Republik Indonesia dan Pemerintah agar segera memenuhi amanat Konstitusi untuk memenuhi tanggungjawabnya dengan mewujudkan sistem perlindungan hukum yang memberikan akses keadilan bagi korban, mencegah keberulangan tindak pidana kekerasan seksual, menjamin tidak adanya impunitas pelaku, serta menjaga setiap warga bangsa dari menjadi pelaku dan korban kekerasan seksual;
Kelima, Kepada media massa dan para influencer untuk mengoptimalkan peran pembentukan wacana dan sikap mendukung korban dan memutus impunitas pelaku kekerasan seksual, serta ikut serta mendidik masyarakat untuk berperilaku mulia, beradab, menghormati hak-hak dasar setiap orang, terutama dengan menghindari segala bentuk kekerasan seksual.
Pernyataan sikap ini ditandatangani di Indonesia, pada 14 Desember 2021 (9 Jumadil Awal 1443 H), oleh Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dan Jaringan Masyarakat Peduli Darurat Kekerasan Seksual yang didukung oleh lebih dari 300 organisasi, pesantren, lembaga, dan komunitas di Indonesia. []