Mubadalah.id – Fenomena kawin anak merupakan bukan isu yang baru bagi sebagian masyarakat di Indonesia.
Dalam beberapa catatan, fenomena kawin anak di Indonesia dimulai sejak akhir tahun 1970 an dan awal 1980 an.
Hingga saat ini fenomena kawin anak semakin marak terjadi di sebagian masyarakat.
Di Kabupaten Cirebon, menurut data Pengadilan Agama, pada tahun 2020 terdapat 478 layangan surat permohonan izin, dan diterima dan 446 yang diputuskan oleh pihak pengadilan untuk menikah di usia dini.
Data tersebut naik dua kali lipat dibanding pada tahun sebelumnya. Data tahun 2019 tercatat hanya 236 anak yang izinnya diterima.
Dengan semakin maraknya kawin anak, sebetulnya apa sih penyebabnya?
Menurut Direktur Eksekutif Rumah KitaB, Lies Marcoes menyebutkan ada lima hal yang mengindikasikan praktik kawin anak, yang sungguh sudah darurat.
Pertama, fakta angka kawin anak naik baik di desa maupun di kota dengan sebab yang tidak hanya karena kemiskinan tapi menguatnya alasan moral.
Hubungan seksual yang permisif tidak diiringi dengan pendidikan kesehatan reproduksi juga demi alasan moral.
Kedua, terjadi pelemahan di sektor hukum akibat kontestasi antara hukum positif (Undang Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam) dan hukum fikih.
Hukum fikih seperti di atas angin karena negara bersikap netral atas kontestasi itu sementara terjadi sakralisasi UUP dan KHI sehingga sulit untuk digugat.
Ketiga, kegagalan politik ekonomi makro dalam melindungi sumber-sumber ekonomi kaum miskin di pedesaan utamanya tanah.
Sementara pembangunan industrialisasi yang berlokasi di pedesaan dan bersifat raksasa dan masif seperti industri ekstraktif dan sawit tak menyediakan pekerjaan pengganti utamanya bagi perempuan, sebaliknya malah menyingkirkan baik lelaki (tua tak berpendidikan) maupun perempuan.
Keempat, adanya peluang bagi perempuan masuk ke sektor kerja sebagai tenaga rumahan domestik atau mancanegara atau di sektor nonformal tak diimbangi dengan perubahan relasi gender di tingkat rumah tangga/keluarga. Ini mengakibatkan anak perempuan rentan karena harus menjadi pengganti ibu.
Sementara itu hilangnya peran lelaki di sektor ekonomi atau terampasnya sumber kekuatan lelaki dalam sektor ekonomi tak melucuti peran patriarkinya dalam mengatur dan mengendalikan kuasanya di rumah dan di komunitas: sebaliknya kendali itu berubah dari isu modal ke isu moral.
Survei Rumah KitaB menunjukkan indeks penerimaan perkawinan anak lebih kuat diterima kaum lelaki dewasa ketimbang perempuan dewasa.
Kelima, seluruh fenomena itu terjadi dalam lanskap perubahan cara berpikir umat/warga/rakyat yang sedang berayun ke arah pendewaan teks (masyarakat teks) dan menyingkirkan secara sistemik (melalui pendidikan, kurikulum, media) cara beragama/berhukum yang mengandalkan akal sehat, antara lain akibat melemahnya kepercayaan kepada sistem hukum. (Rul)