Mubadalah.id – Selasa 12 April 2022, menjadi moment bersejarah dalam perjalanan panjang perjuangan perempuan, khususnya para korban dan penyintas kekerasan seksual. Setelah tanpa henti bertahun-tahun diperjuangkan melalui gerak bersama dan mendapat dukungan dari banyak pihak, akhirnya UU TPKS disahkan DPR RI.
Tentu hal ini menjadi kebahagian tersendiri bagi kita semua, terlebih bagi mereka yang membutuhkan perlindungan dari payung hukum ini. Namun, apakah setelah UU TPKS disahkan apakah perjuangan telah selesai? Tentu tidak, masih ada banyak tugas lainnya yang menanti di depan sana.
Sebenarnya apa saja yang harus dilakukan setelah UU TPKS disahkan ini? Jika melihat jauh kebelakang,antara memperjuangkan suatu regulasi untuk disahkan dan proses implementasinya adalah dua hal yang sama-sama memiliki tantangan tersendiri. Apalagi jika dalam alur hingga UU TPKS disahkan tersebut, memiliki banyak polemik dan pro-kontra di masyarakat.
Dalam perspektif ulama perempuan, tentu hadirnya UU TPKS sebagai regulasi menjadi angin segar perjuangan panjang selama ini. Hal ini terlihat dari bagaimana antuasisme dan upaya-upaya yang terus beliau-beliau lakukan, khususnya sebagai steakholder di daerah masing-masing.
Pada kesempatan ini penulis menuliskan pandangan dari ulama perempuan yang berada di Jawa Timur dengan latar belakang dan konsen yang berbeda-beda, mulai dari akademisi, ahli hukum, lembaga pemerintahan, aktivis akar rumput, hingga konselor sekaligus pendamping korban.
Dalam pandangan Prof. Mufidah Ch, selaku akdemisi dari Kota Malang dan sudah lama berkecimpung di isu ini, hadirnya payung hukum yang sudah disahkan menjawab kebutuhan-kebutuhan, bukan hanya kebutuhan perempuan, akan tetapi kebutuhan kesejahteraan, keadilan, keharmonisan, dan capaian pembangunan. Jadi jangan dipahami aturan yang ada sebagai hanya sebagai bentuk pembelaan terhadap perempuan saja. Bukan seperti itu, justru anggapan tersebut sangat simpel dan menyederhanakan masalah.
Menurut Prof Mufidah, yang benar adalah semuanya ini merupakan konteks untuk membangun kehidupan yang lebih baik kedepannya, untuk semuanya tidak hanya untuk perempuan saja. Karena ini persoalannya lebih kental pada isu perempuan, maka pasal-pasalnya harus benar-benar melindungi perempuan, karena ada warga masyarakat yang namanya perempuan ini yang belum sepenuhnya memperoleh perlindungan dari negara, maka payung hukum ini sangat diperlukan.
Mulai dari UU perlindungan anak, UU PKDRT, UU PTPPO, UU pornografi, dan yang terakhir UU TPKS, Prof Mufidah merasa masih perlu untuk diperjuangkan pengesahan terhadap RUU KKG yang juga menjadi perdebatan di masyarakat, karena RUU KKG ini menunjukkan capaian pembangunan secara global. Sengotot apapun yang dilakukan secara kultural oleh kita-kita semua melalui pendidikan, dakwah, kemudian pesan-pesan keagamaan yang luar biasa dilakukan.
Jika tidak ada payung hukum yang sifatnya top-down melalui pemerintah yang memberikan ruang tersendiri untuk bagaimana indikator-indikator kesetaraan gender, indikator pembangunan gender, yang sudah menjadi aturan internasional, menjadi wajah dari pemeirntah Indonesia dihadapan masyarakat dunia maka UU KKG harus ada.
Namun politik hukum yang sering kali kemudian menjadi hambatan, karena UU ditetapkan melalui proses politik. Yang menjadi permasalahan saat ini, apakah politik yang sudah ada berperspektif gender atau masih bias gender. Persoalan ini berkelindan dengan apakah partisipasi perempuan dalam menentukan kebijakan, yang hingga saat ini jumlah perempuannya lebih kecil bahkan tidak mencapai 30% dibandingkan laki-laki, sehingga perjuangan yang sama tentu harus terus dilalui untuk kemudian mencapai apa yang diharapakan oleh seluruh umat manusia yakni keadilan, kesetaraan, kesejahteraan bagi kemanusiaan.
Jika dilihat dari perspektif hukum Anisatul Hamidah, M.Si. yang akrab disapa Ibu Anis menyampaikan bahwa, ketika RUU sudah disahkan tentunya sudah menjadi regulasi dan undang-undang yang berlaku bagi seluruh warga Indonesia, maka tugas selanjutnya khususnya Pemerintah Daerah itu mempunyai kewajiban untuk mensosialisasikan kepada masyarakat. Yang kedua kita juga perlu untuk menyusun langkah-langkah sesuai dengan SOP yang ada di dalam regulasi tersebut.
Sebagai bagian dari lembaga pemerintahan yakni di Dinas Sosial P3AKB, yang mengampu terkait tupoksi pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, memang sangat diperlukan untuk terus lakukan sosialisasi, kemudian juga bagaimana langkah-langkah ketika terjadi kekerasan kita ikutin regulasinya. Dan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bahwa undang-undang itu akhirnya ditetapkan oleh pemerintah dengan melalui perjuangan yang luar biasa.
Sebagai bagian dari Jaringan KUPI yang juga menjadi Ketua LKKNU Kabupaten Bondowoso, Ibu Anis juga menyampaikan bahwa disahkannya UU TPKS ini merupakan suatu kemajuan yang luar biasa. Jadi isu-isu tentang kekerasan seksual sering kali yang menjadi korbannya adalah perempuan selama ini para ulama perempuan sudah membahas itu, tetapi sering kali terkendala ketika undang-undangnya tidak jelas. Dengan ditetapkannya undang-undang ini para ulama perempuan memiliki amunisi, memiliki suatu kekuatan dan modal bahwa apa yang beliau-beliau sampaikan tidak sekedar hanya wacana agama saja.
Tidak sebatas tafsir agama yang harus disebarkan oleh ulama kepada masyarakat, tetapi sudah menjadi ketetapan undang-undang. Jika selama ini dari ulama perempuan sebatas hanya seruan moral, sebatas dakwah, sebatas mengedukasi tetapi amunisi dari undang-undang belum ada. Sekarang karena Undang-Undang TPKS sudah disahkan, selanjutnya ulama perempuan menguatkan apa yang dulu sudah diedukasikan kepada masyarakat, bahwa tindakan atau perilaku kekerasan seksual yang dilakukan sudah diatur dan memiliki sanksi yang jelas.
Selain penguatan substansi dari lembaga Pemerintah, Bu Nyai Farha Ciciek yang merupakan penggerak kemanusiaan di Tanoker Jember, memberikan pandangan dengan melihat situasi kontroversi dan banyak hoax yang membuat suasana belum kondusif di kalangan masyarakat terkait undang-undang ini, sehingga perlu dilakukan pendekatan khusus untuk sosialisasi.
Terutama dengan kalangan agama, sampai di Grassroots dengan memberikan pencerahan agar wawasan mereka terkait substansi dari undang-undang TPKS lebih terbuka. Selain kepada tokoh agama, anak muda juga penting menjadi subjek target sosialisasi. Karena mereka juga memilik kemungkinan bersinggungan dengan kekerasan seksual baik sebagai korban maupun pelaku.
Kegiatan yang dapat dilakukan pun beragam, khususnya untuk mensosialisasikan maksud baik dari hadirnya undang-undang ini, mulai dari Sosialisasi massif di jejaring majelis ta’lim, khutbah Jum’at juga bisa, lebih formal lagi dapat dilakukan melalui Pendidikan politik, hukum dengan perspektif kritis. Karena melek hukum bagi masyarakat, khususnya kaum perempuan lintas generasi itu penting bgt. Karena tidak dapat kita pungkiri korban adalah perempuan lintas usia, mulai dari anak-anak bahkan lansia sekalipun tidak menutup kemungkinan dapat menjadi korban kekerasan seksual.
Sejalan dengan ini, Umi Khorirotin Nasichah yang akrab disapa Mbak Oyik Konselor sekaligus pendamping dari KOPPATARA Malang, juga menyampaikan bagaimana perlakuan berbeda yang diterima oleh korban perempuan dewasa saat proses penyidikan. Sehingga hal utama yang harus dilakukan adalah memastikan UPPA POLRES Kab/Kota melaksanakan dan menggunakan UU TPKS menjadi salah satu dasar dalam proses penanganan korban dan pelaku. Sehingga sosialisasi ke aparat penegak hukum sangat penting agar kasus hukum yang berdasar UU TPKS dapat berjalan sesuai dengan apa yang kita semua harapkan. Sosialisasi di sini dapat berupa pelatihan, workshop ataupun stakeholder meeting.
Sebagai pendamping menurut Mbak Oyik, harus terus semangat khusunya jika selama ini dalam penanganan kasus perempuan dewasa yang mengalami kekerasan seksual, namun tidak bisa diproses hukum. Jadi pengawalan kasus kekerasan seksual untuk perempuan harus maksimal. Setiap ada UU baru memang tidak mudah langsung diterapkan butuh waktu dan proses untuk penyesuaian seperti halnya UU lainnya.
Jadi di awal sangat diperlukan ada edukasi terkait substansi dari UU TPKS ini agar paham bagaimana melakukan apa. Karena tidak dapat dipungkiri dalam penanganan kasus anak penyidik memberikan respon yang bagus dan prosesnya mudah, karena sudah ada SPPA jadi sidang dan keputusan yang diberikan berbasis kepentingan terbaik anak.
Berbeda dengan ketika yang mengalami kasus adalah perempuan dewasa, selama ini laporannya kebanyakan ditolak karena tidak ada dasar hukumnya, dianggap perempuan dewasa sudah bisa menolak dan melawan, dan sekarang dasar hukum yang dibutuhkan ini sudah diakomodir di UU TPKS.
***
Jadi, tugas kita hari ini masih sangat panjang. Ketok Palu UU TPKS disahkan bukanlah akhir dari perjuangan untuk terus #gerakbersama akan tetapi ini merupakan gerbang awal dari proses panjang selanjutnya yakni implementasi hukum atau regulasi hingga ke tingkatan daerah dan juga dipahami oleh seluruh elemen masyarakat. Mulai dari lingkup akademisi, pemerintahan, hingga seluruh masyarakat sipil. Tentu, peran-peran lintas sektor sangat diperlukan dalam mencapai pemerataan pemahaman dan implementasi ini kedepannya. []