Mubadalah.id – Batas aurat perempuan sudah lama menjadi perdebatan masyarakat Muslim. Mayoritas Muslim meyakini bahwa batas aurat perempuan meliputi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan. Sehingga perempuan yang membiarkan bagian tubuhnya terbuka melebihi batasan itu dinilai tidak mencerminkan Muslimah yang “baik”. Aurat berasal dari bahasa Arab yang secara literal berarti celah, sesuatu yang memalukan, atau sesuatu yang dipandang buruk dari anggota tubuh manusia, dan yang membuat malu bila dipandang.
Terkait batasan aurat, para ulama membedakan antara perempuan dan laki-laki. Secara umum, ulama berpendapat bahwa laki-laki semestinya menutup bagian tubuh antara pusat dan kedua lutut kaki. Ulama fiqh berbeda pendapat soal aurat perempuan, tetapi secara umum perempuan lebih tertutup dari laki-laki.
K.H. Husein Muhammad, pemimpin Pondok Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun, berpendapat bahwa teks syara’ yang dijadikan rujukan mengenai batasan aurat perempuan tidak secara jelas dan tegas menyebutkan batasannya. Sehingga para ulama madzhab menginterpretasikan teks tersebut dengan kecenderungan yang sangat mungkin terkait dengan realitas kehidupan pada saat itu. Apalagi tercatat adanya perbedaan antara batas aurat perempuan merdeka dan perempuan hamba, yang ditentukan berdasarkan “kesulitan” dan “keperluan”.
Namun, menurutnya, pertimbangan khauf al-fitnah juga telah menjadi salah satu penentu pertimbangan di kalangan ulama. Khauf al-fitnah adalah istilah fiqh mengenai kekhawatiran akan terjadi hal-hal yang tidak baik pada tubuh perempuan. Istilah ini dimunculkan agar tubuh manusia tidak dieksploitasi untuk kepentingan rendah dan murahan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab.
Atas alasan itu, Kyai Husein berpendapat bahwa aurat sebenarnya bukanlah terminologi agama. Ia lebih dekat pada persoalan sosial budaya. Artinya, batasannya bukan ditentukan oleh teks-teks agama, melainkan oleh tuntutan sosial budaya yang sangat relatif. Perempuan di Arab mungkin merasa malu bila rambutnya terlihat oleh umum, namun bagi perempuan di negara lain, itu adalah hal biasa. Perintah menutup aurat adalah dari agama (teks syara’), namun batasan aurat ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan dalam segala aspek.
Sumber: Fiqh Perempuan (LKiS Yogyakarta, 2001)