Mubadalah.id – Belakangan kasus perkawinan anak di Indonesia kian ramai terjadi dan beritanya berseliweran di media. Namun, kondisi ini berbanding terbalik dengan berita-berita dari Korea Selatan beberapa bulan, yakni terjadinya penurunan angka pernikahan dan keinginan untuk menikah di kalangan anak-anak muda.
Jika melihat ketertarikan generasi muda di Indonesia pada budaya Korea Selatan seperti musik, drama, fashion, dan makanan, yang menjadi pertanyaan adalah, apa makna pernikahan bagi anak muda saat ini? Kondisi menurunnya angka keinginan menikah tadi juga, apakah akan memiliki dampak pada budaya pernikahan di Indonesia?
Pertanyaan di judul tulisan ini sebenarnya muncul bukan hanya disebabkan viralnya berita dari Korea Selatan tadi, namun juga berangkat dari keresahan penulis yang sering kali mendapatkan pertanyaan tentang urgensi dari makna pernikahan, dari beberapa teman. Dari sini kemudian, pada setiap kesempatan di forum diskusi yang membahas terkait pernikahan dengan narasumber berbeda penulis berusaha untuk menyelipkan pertanyaan tersebut.
Meluruskan Makna Pernikahan
Dari jawaban-jawaban yang penulis dapatkan selama ini, mengarahkan pada satu kesimpulan yang sama, bahwa pernikahan merupakan lembaga yang sakral. Pada era saat ini sudah waktunya untuk kita meluruskan makna pernikahan. Sebagai bagian dari jalan dakwah tentang kehidupan rumah tangga Islam yang harmonis, seperti Rasulullah teladankan.
Berdasarkan unggahan katadata.co.id ada kecenderungan anak muda menunda untuk melangsungkan pernikahan. Sebagaimana ditunjukkan oleh data BPS, adanya peningkatan presentase anak muda yang melajang dan belum kawin. Hal ini berbanding terbalik dengan presentase anak muda yang ingin menikah. Presentase pemuda yang belum kawin sebesar 61,09% pada 2021. Dan mengalami kenaikan 1,27 poin dari tahun sebelumnya yang memiliki persentase 59,82%.
Banyak faktor yang mempengaruhi beberapa orang enggan untuk menikah. Salah satunya adalah status perekonomian yang setiap tahun mengalami kenaikan standar gaya hidup. Beberapa juga beralasan enggan menjalin hubungan dan berkomitmen. Dikarenakan trauma dari pengalaman masa lalu maupun melihat banyaknya pasangan-pasangan muda yang gagal menjalani kehidupan rumah tangga.
Meluruskan makna pernikahan, bukan sebatas romantisasi saja. Lebih dari itu, harapannya adalah munculnya kesadaran dari masyarakat tentang makna pernikahan sebagaimana yang selama ini menjadi ajaran Islam. Bahwa pernikahan adalah wadah untuk beribadah yang menyatukan komitmen bersama setiap pasangan.
Memaknai Pernikahan dalam Perspektif Mubadalah
Kiai Faqihuddin Abdul Qodir penulis Buku Perempuan Bukan Sumber Fitnah, pada sesi diskusi Tadarus Subuh (03/07/2022) menyebutkan setidaknya ada tiga hal yang bisa kita lakukan untuk memaknai pernikahan secara positif sebagai jalan dakwah kita semua, yakni:
Pertama, jangan memperburuk citra pernikahan. Hal yang paling penting dan utama adalah cara kita dalam merespons, saat muncul pertanyaan yang mempertanyakan urgensi dari pernikahan. Bagaimana kita dapat menghadirkan makna pernikahan sebagai bagian ibadah bersama, bukan sebatas penyempurna agama bagi sebelah pihak saja, namun dengan adanya pernikahan menjadi ruang untuk membangun komitmen dan tanggung-jawab bersama antara suami dan istri.
Kedua, agama mengajak dan mengajarkan manusia untuk menikah secara baik-baik. Jangan beranggapan menikah akan menimbulkan masalah, menikah pasti ada masalahnya sama halnya dengan ibadah lainnya. Tapi bukan berarti kemudian memilih untuk tidak menikah, menjadikan pernikahan sebagai media dakwah nilai-nilai mubadalah dapat menjadi pilihan. Bagaimana kemudian merespon setiap masalah yang muncul di dalam pernikahan dengan berpegang teguh pada prinsip kesalingan antara suami dan istri.
Ketiga, pernikahan bukan sebatas hubungan relasi antar manusia saja, namun juga berdampak pada alam. Pernikahan juga memiliki dampak tersendiri pada kelestarian lingkungan dan perubahan iklim. Karena dari pernikahanlah keragaman (diversity) yang ada, khususnya di Indonesia akan tetap terjaga.
Keragaman ini juga berdampak pada ketahanan dari manusia itu sendiri, sehingga melalui lembaga pernikahanlah keragaman dapat terus kita upayakan keberlangsungannya. Sebab, jika ketahanan hidup manusia baik, maka akan berdampak baik pula bagi lingkungannya.
Sejalan dengan ini, Ibu Nyai Luluk Farida di salah satu forum kajiannya menyampaikan bahwa, penting atau tidaknya menikah konteksnya berbeda pada masing-masing orang. Hal ini karena ada banyak faktor yang beragam dapat memengaruhi pilihan seseorang, termasuk pilihan untuk menikah. Sehingga, yang paling utama saat memutuskan untuk menikah adalah terbaik bagi diri sendiri dan memberikan kemashlahatan bagi lingkungan sekitar. []