• Login
  • Register
Rabu, 14 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Etika Media dalam Menggali dan Memberitakan Kasus Kekerasan Seksual

Dalam kasus kekerasan seksual, normalisasi ini bekerja dengan menggambarkan korban sebagai objek pasif yang lemah, namun dihasrati

Hilda Rizqi Elzahra Hilda Rizqi Elzahra
02/09/2022
in Publik
0
Kasus Kekerasan Seksual

Kasus Kekerasan Seksual

525
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Media merupakan sarana untuk menggali informasi yang memiliki tanggung jawab sangat besar dalam perlindungan korban kejahatan, tak terkecuali korban kasus kekerasan seksual. Ada tuntutan pada awak media untuk bertanggungjawab dari mulai berburu data sampai memberitakannya. Bagaimana etika media dalam memberitakan kekerasan seksual?

Tak jarang media membombardir masyarakat dengan pemberitaan yang tidak memanusiakan korban dan tidak memperdulilan kode etik jurnalistik contohnya dengan memberikan judul atau tajuk berita secara klickbait. Alih-alih menginformasikan pengungkapan identitas ini malah membuat korban kasus kekerasan seksual malah mengalami trauma karena masyarakat semakin mengetahui permasalahan yang ia hadapi.

Menjadi korban atau penyintas kasus kekerasan seksual saja sudah menyakitkan, oleh sebab itu media perlu menginplementasikan penggalian data yang tidak menyakiti korban secara langsung maupun tidak langsung dengan memastikan pendekatan, pertanyaan dan sikap ketika menggali informasi kepadanya terkesan peduli, mencerminkan rasa hormat, dan menjunjung martabat dan hak asasi korban.

Langkah-langkah Memberitakan Kasus Kekerasan Seksual

Hal yang pertama adalah memastikan penggalian data dengan korban. Untuk menggali data dari kasus tersebut dengan memikirkan penggalian secara langsung atau tidak langsung dengan mempertimbangkan rasa trauma korban. Bahkan ketika dinyatakan sudah tidak trauma, masih perlu kita pikirkan matang agar tidak terjadi retraumatisasi akibat cerita yang penuh penggambaran.

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu adanya persetujuan dari korban atau penyintas. Dengan mempertimbangkan keamanan dan kenyamanannya termasuk privasi, dan bagian mana saja yang tidak terungkapkan dalam pengambilan data.

Dengan mempertimbangksn hal tersebut, dapat menghindari ancaman keselamatan jika kemungkinan ada pihak yang merasa rugi. Akibat munculnya pengakuan korban ke ranah publik. Dengan demikian ia akan merasa terlindungi dan merasa berdaya kembali setelah berbagi kisahnya.

Baca Juga:

Media Punya Peran Strategis dalam Mencegah Konflik Akibat Tidak Dipenuhinya Hak Keberagamaan

Ketika Rumah Sakit Tak Aman bagi Perempuan dan Anak

Lebih dari Sekadar Narasi Inklusif, Saatnya Media Keislaman Hadir dengan Website Aksesibel bagi Disabilitas

Training Vocal Point : Pelatihan Advokasi Kekerasan Seksual Berbasis Adil Gender

Perlindungan Data Korban

Pentingnya perlindungan privasi korban kejahatan seksual pun sudah tertuang dalam kode etik jurnalistik. Salah satu pasal di dalamnya berbunyi “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”. (pasal 5).

Jika masih belum jelas akan pasal tersebut, ada tafsirannya mengenai maksud identitas dalam pasal tersebut, bahwa “Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.”  Artinya, identitas itu bisa berupa foto wajah, alamat rumah, nama  sekolah, nama kantor atau nama orang tuanya. Lain halnya jika mendapat perdetujuan.

Setelah mempertimbangkan itu semua, dalam mewawancarai korban hindari pertanyaan yang melukai atau menyudutkan korban seperti :

– Mengapa anda tidak melakukan perlawanan? Seharusnya bla bla bla
– Bagaimana anda berpakaian pada saat itu?
– Bagaimana perasaan anda sebagai perempuan yang terenggut kesuciannya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sungguh menimbulkan kesesatan cara berpikir. Hilangkan mindset bahwa korban tidak berusaha untuk melawan saat ia terlecehkan secara seksual. Karena bisa saja korban mengalami tonic immobility.

Jangan menggali informasi tanpa bersikap peduli, pertanyaan yang memanusiakan korban dapat berupa :
– “Apakah anda bisa menceritakan yang sebelumnya terjadi dan sesudah terjadi kekerasan tersebut?”
– “Lalu apa yang anda lakukan setelah mengalami hal tersebut?”
– “Bantuan apa yang anda butuhkan?”
– “Adakah harapan yang ingin anda sampaikan setelah mengalami hal tersebut?”

Memilih Judul Berita

Selanjutnya yang sama pentingnya adalah pemilihan judul berita, Judul berita yang seharusnya mencerminkan bagaimana media mendeskripsikan pelaku, korban, serta pemerkosaan tak jarang ditampilkan secara vulgar dan sensasional.

Seperti yang ditemukan dalam berita Palapanews.com dengan judul, “Gadis 14 Tahun Digagahi Empat Pria Secara Bergilir”. Di sini, kata “digagahi” menunjukkan bahwa perkosaan adalah suatu tindakan yang menunjukkan kejantanan maskulin. Tambahan lagi kata “gadis” usia 14 tahun dan “secara bergilir”, membangkitkan imaji pembaca pada suatu bayangan cabul tentang hubungan seksual beramai-ramai.

Fenomena tersebut sejalan dengan pendapat Michael Foucault, bahwa memahami bahasa atau teks sebagai alat kekuasaan. Kekuasaan dalam hal ini bukan milik raja, presiden, negara adikuasa, atau oleh pemimpin media sekalipun. Dia menjelaskan bahwa kekuasaan adalah strategi, ia tidak bekerja melalui penindasan atau represi, melainkan melalui bahasa dan budaya. Strategi ini berupa “normalisasi” nilai-nilai dominan atau dengan melekatkan citra tertentu pada realitas sosial.

Stop Normalisasi Kekerasan

Dalam kasus kekerasan seksual, normalisasi ini bekerja dengan menggambarkan korban sebagai objek pasif yang lemah, namun dihasrati. Seperti contohnya pada judul berita di atas. Penggambaran tersebut dengan melekatkan predikat seperti “cantik”, “gadis”, atau atribut yang korban kenakan, seperti “pakaian seksi”, “baju terbuka” bahkan “berhijab” sekalipun.

Predikat-predikat ini menempel untuk menggambarkan bahwa korban “mengundang secara seksual” dan biasanya pelaku tergambarkan sebagai subjek aktif yang dominan, dan hasrat yang mengendalikannya.

Hal-hal tersebut jangan sampai mendarah daging dan beranak pinak dalam media, yang khawatir nanti menghasilkan budaya yang mewajarkan kasus kekerasan seksual. Bahwa nafsu birahi laki-laki adalah sesuatu yang normal, sehingga apabila laki-laki memperkosa perempuan, maka itu adalah kenormalan seksualnya.

Tags: EtikaJurnalistikKasus Kekerasan SeksualKode Etikmediapenyintas
Hilda Rizqi Elzahra

Hilda Rizqi Elzahra

Mahasiswi jelata dari Universitas Islam Negeri Abdurrahman Wahid, pegiat literasi

Terkait Posts

Orang Miskin

Haji dan Ekonomi: Perjuangan Orang Miskin Menaklukkan Kesenjangan

14 Mei 2025
Vasektomi

Vasektomi Jadi Syarat Terima Bansos: Kekuasaan Negara dan Otonomi Tubuh

14 Mei 2025
Kebebasan Berekspresi

Kebebasan Berekspresi dan Kontroversi Meme Prabowo-Jokowi

13 Mei 2025
Merapi

Dampak Tambang Ilegal di Merapi: Sumber Air Mengering, Lingkungan Rusak

12 Mei 2025

Hari Raya Waisak: Mengenal 7 Tradisi dan Nilai-Nilai Kebaikan Umat Buddha

12 Mei 2025
Paus Leo XIV

Mengenal Paus Leo XIV: Harapan Baru Penerus Paus Fransiskus

12 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Orang Miskin

    Haji dan Ekonomi: Perjuangan Orang Miskin Menaklukkan Kesenjangan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pendidikan Seks bagi Remaja adalah Niscaya, Bagaimana Mubadalah Bicara?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Vasektomi Jadi Syarat Terima Bansos: Kekuasaan Negara dan Otonomi Tubuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Muhammad Bercerita: Meninjau Ungkapan Laki-laki Tidak Bercerita dan Mitos Superioritas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tafsir Ayat Soal Kepemimpinan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Membantah Ijma’ yang Melarang Perempuan Jadi Pemimpin
  • Memahami Disabilitas: Lebih Dari Sekadar Tubuh
  • Haji dan Ekonomi: Perjuangan Orang Miskin Menaklukkan Kesenjangan
  • KUPI Gelar Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Seruan Bangkit dari Krisis Kemanusiaan
  • Tafsir Hadits Perempuan Tidak Boleh Jadi Pemimpin Negara

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version