Mubadalah.id – Tiap ada teman yang menikah ucapan dan harapan bahagia tiba-tiba berhamburan, salah satunya “Selamat menempuh ibadah terpanjang”. Saya lantas berpikir, mengerutkan kening, berpikir keras tentang nilai-nilai ibadah dalam pernikahan.
Suami memberi nafkah pada istri dan anak, salat berjamaah setelah sebelum menikah hanya bisa salat sendirian, keluar rumah saling melindungi, melindungi kehormatan orang lain dan menjaga keamanannya, yang sebelum menikah, prioritas tertinggi adalah diri sendiri.
Okelah itu ibadah karena membahagiakan diri sendiri dan keluarga, menurut dari sayyidah Aisyah ra Nabi pernah bersabda “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik pada keluarganya, dan akulah orang yang terbaik pada keluargaku”. Hadis ini menegaskan bahwa menikah adalah salah satu jalan menjadi manusia terbaik.
Namun faktanya tidak semua keluarga mampu berbuat baik, membahagiakan satu sama lain. Alih-alih menciptakan tawa dan bahagia, justeru saling menyakiti dan caci maki. Atau bahagia tapi tidak semuanya saling menolong dalam kebaikan.
Data Penyebab Perceraian
Data Pengadilan Agama menunjukkan penyebab perceraian terbesar adalah, pertama, perselisihan berkelanjutan terus menerus sebanyak 176.683. Kedua terbesar adalah ekonomi sebanyak 71.194 kasus, dan disusul meninggalkan salah satu pihak 34.671 kasus, dan kemudian dengan alasan KDRT 3.271 kasus.
Apakah saat berselisih lalu bertengkar dan tidak ada yang mau mengalah itu juga ibadah? Apa saat ekonomi terabaikan dan anak-anak terlantar tidak sekolah sedangkan orang tua tidak ada usaha mencari nafkah juga termasuk ibadah? Atau –wal ‘iyādzu billāhi– ada pihak yang sengaja mengkhianati pernikahan dengan berselingkuh juga ibadah? Jika bukan ibadah, tidakkah semua itu terjadi dalam pernikahan yang “katanya” ibadah?
Segala hal yang menyakitkan bukanlah ibadah. Demikianlah, dalam pernikahan ada unsur ibadah dan dosa. Setiap pernikahan berpotensi mendapatkan pahala atau dosa. Saat anda ingin membahagiakan diri dan anggota keluarga anda maka saat itulah anda beribadah. Sebaliknya, jika merugikan anda dan atau orang lain dalam keluarga maka saat itulah anda berdosa.
Hadis-hadis roman yang menjanjikan pahala menggiurkan bagi suami atau istri itu konteksnya adalah dalam rangka membahagiakan diri dan orang lain. Sahabat Anas bin Malik meriwayatkan,
مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّينِ فَلْيَتَّقِ اللَّهَ فِي النِّصْفِ الثَّانِي
“Barang siapa menikah maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah kepada Allah swt pada separuh yang kedua”.
Menikah Melindungi Diri dari Zina
Imam al-Qurthubī menjelaskan bahwa menikah dapat melindungi dari zina, menjaga kehormatan dari zina termasuk amal yang mendapat jaminan surga dari Rasulullah. Artinya, waktu yang kita gunakan untuk melindungi keluarga dari zina, menjaga kehormatan, merupakan ibadah dan bertakwalah pada Allah pada “waktu” lain yang tidak kita isi dengan ibadah.
Secara tekstual, hadis ini lumayan menggiurkan, menikah adalah pintu menyempurnakan separuh iman, dengan iman seorang muslim bisa masuk surga. Kita bisa lihat betapa semangat seorang muslim menumpuk pahala untuk meraih surga.
Amalan-amalan yang pahalanya beribu kali lipat lebih banyak pasti kita kerjakan mati-matian, tak lain karena adanya kesadaran usia umat Nabi Muhammad jarang yang sampai 100 tahun. Maka tak heran jika menikah yang dikatakan oleh Nabi “.. telah menyempurnakan separuh agama” dengan jumawa kita telan mentah-mentah oleh sebagian muslim. Seakan berkata “agamaku sudah separuh sempurna, hanya dengan mengucap ‘qabiltu’”
Dianggapnya menikah hanya sebatas itu, padahal ada kehidupan anggota keluarga yang harus kita penuhi hak-haknya, mengusahakan relasi yang saling membantu, saling musyawarah, saling merelakan, sebab selalu ada masalah dalam rumah tangga bahkan yang unpredictable dan itu membutuhkan manajemen konflik yang berkesinambungan. Jika berhasil menghadapinya maka itulah ibadah.
Hadis ini dalam Faidlu al-Qadīr dijelaskan lebih rinci, lafad فَقَدِ اسْتَكْمَلَ adalah jawab pertama dari syarat مَنْ تَزَوَّجَ sedangkan lafad فَلْيَتَّقِ اللَّهَ adalah jawab kedua. Sehingga membaca hadis ini tidak bisa kita potong, karena makna yang purna adalah, dengan menikah separuh iman telah terpenuhi (karena value agama kita lihat dari penjagaan terhadap farji dan perut dan itu terbentengi dengan menikah).
Lalu dengan menikah pula seorang mukmin harus bertakwa (menjaga) separuh iman yang lain. Yaitu berupa akhlak, budi pekerti dan karakter luhur pada diri sendiri, pasangan, anak dan tetangga. Wallahu a’lam. []