Mubadalah.id – Pada Kamis 8 September 2022 bertempat di salah lokasi di Jakarta, panitia penyelenggara Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II menggelar kegiatan Forum Pemangku Kepentingan Strategis dan Konferensi Pers persiapan pelaksanaan KUPI II yang akan dihelat di Jepara, 23 – 26 November mendatang.
Dalam kegiatan tersebut dihadiri oleh unsur pemerintah, media partner, perwakilan lembaga internasional dan donor, pesantren, perguruan tinggi Islam, dan Ormas Islam.
Dalam sesi konferensi pres, Mbak Luviana yang hadir sebagai media partner dari Konde.co menyampaikan pertanyaan, tantangan apa yang paling berat dari KUPI Pertama sehingga isu ini penting untuk dibawa kembali pada perhelatan KUPI Kedua?
Ibu Nyai Hj Badriyah Fayumi merespon pertanyaan tersebut, dan menjawabnya. Selama lima tahun ini menurut Ibu Nyai Badriyah, KUPI menemukan tantangan yang ada di semua ranah. di mana itu tidak hanya menjadi tantangan KUPI, tetapi juga peradaban dan kita semua sebagai warga negara bangsa.
Tiga Tantangan KUPI
Pertama, menguatnya fundamentalisme dan radikalisme beragama. Konservatisme dalam beragama yang kemudian berefek ke mana-mana. Level keluarga misalnya ada kawin muda yang dianggap tidak apa-apa dari pada berzina. Sementara bagi KUPI menikah muda tidak. Berzina juga tidak. Tetapi dalam pandangan KUPI menikah pada usia dewasa, di saat yang tepat, cukup umur, dan siap lahir batin.
Kedua, pada isu konservatisme keagamaan dalam keluarga, juga muncul misalnya ada seruan untuk perempuan kembali ke rumah, tidak boleh beraktivitas di luar. Bahkan kalau punya aktivitas di luar, ada berapa kelompok tertentu, tidak memberikan kesempatan dialog dan memberi solusi. Misal ketika suami menyuruh pokoknya resign, maka saat itu juga harus mengundurkan diri dari pekerjaan.
Ketiga, Ada konservatisme, ada yang sudah masuk ekstremisme pada level negara, seperti mengingkari NKRI, 4 pilar kebangsaan. Lalu yang lebih ekstrem sampai mengarah pada terorisme.
“Jadi kami menengarai konservatisme, radikalisme, ekstremisme beragama itu menjadi sesuatu yang amat sangat serius untuk kita respon bersama. Karena it ubisa merusak tatanan kehidupan pada berbagai level secara individual, level keluarga, beragama, bermasyarakat, berbangsa, bahkan bisa menghancurkan dunia.” Terang Ketua Majelis Musyawarah KUPI ini.
Dengan demikian, lanjut Pengasuh Ponpes Mahasina Darul Qur’an wal Hadits Bekasi ini menambahkan jika konservatisme itu akan merembet ke mana-mana. Ketika terjadi kontestasi politik, maka akan terjadi politik identitas. Kemudian ada polarisasi, karena akar inilah yang memang KUPI ingin serius. Sehingga pandangan keagamaan KUPI berangkat dari pandangan yang inklusif, visi keislaman, visi kemanusiaan, visi kebangsaan dan visi kesemestaan. Itu menyatu semuanya.
Maka ketika KUPI menghasilkan pandangan keagamaan tentang apapun, maka rujukan ulama perempuan adalah Al Qur’an, Hadits, kemudian pandangan para ulama. Baik dalam tataran metodologi, maupun berupa pendapat-pendapat. Kemudian sebagai bangsa Indonesia, menyertakan pula konstitusi negara.
KUPI juga melihat dan menengarai banyak fikih yang tidak atau kurang memberi kemaslahatan pada perempuan. Atau mungkin pada satu waktu dulu membawa kemaslahatan, tetapi pada saat ini kurang membawa kemaslahatan. Padahal fikih itu hasil ijtihad dan dinamis.
“Oleh karena itu kita menyertakan pengalaman hidup perempuan sebagai rujukan kita dalam menyampaikan pandangan keagamaan. Jadi itu problem yang kami temukan, dan sekaligus solusi pada level pemikiran dan gerakan secara singkat.” Pungkasnya.
Rekognisi Makna Ulama Perempuan
Sementara untuk menjawab pertanyaan dari salah satu jurnalis Republika, yang juga berkesempatan hadir saat itu, tentang ulama perempuan. Apa tantangan dalam melakukan pengkaderan ulama perempuan, serta apakah jumlah ulama perempuan saat ini sudah mampu memenuhi kebutuhan?
Saat itu, Direktur Rahima Mbak Pera Shopariyanti, dan Direktur Fahmina Institute Rosidin yang mengawal program Pelatihan Ulama Perempuan (PUP), serta Dawrah Kader Ulama Perempuan (DKUP) menjawab secara singkat, bagaimana peneguhan otoritas ulama perempuan, serta support sistem yang ada di sekitar ulama perempuan tersebut. Agar ia tak hanya berdaya bagi diri sendiri, tetapi juga mampu memberdayakan orang-orang di sekelilingnya.
Melansir dari Kupipedia.id Pemaknaan “Ulama Perempuan” ini menyiratkan sebuah proses yang berkesinambungan dan terus menerus untuk menegaskan dan memastikan, bahwa kiprah ulama, dengan ilmu yang dimilikinya, adalah untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pemaknaan ini meniscayakan pelibatan perempuan sebagai subyek maupun penerima manfaat dalam semua kiprah keulamaan. Dalam proses panjang ini, identifikasi dan apresiasi terhadap perempuan-perempuan ulama sejak masa awal Islam sampai saat sekarang ini adalah menjadi sebuah keniscayaan untuk menegaskan eksistensi dan legitimasi keulamaan perempuan.
Ulama Perempuan Perspektif KUPI
Dalam perspektif KUPI, “ulama perempuan” merupakan orang-orang yang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki rasa takut kepada Allah (berintegritas), berkepribadian mulia (akhlaq karimah), menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan pada semesta (rahmatan lil ‘alamin). Takut atau takwa kepada Allah Swt tidak hanya untuk urusan laki-laki tetapi juga untuk urusan perempuan. Tidak juga hanya dalam urusan publik, tetapi juga dalam urusan keluarga.
Begitupun berakhlak mulia, menegakkan keadilan dan memberikan kemaslahatan, tidak hanya dalam hal-hal yang menyangkut laki-laki, tetapi juga sama persis dalam hal yang berkaitan dengan perempuan. Sehingga tercipta relasi kesalingan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, dan tanpa kekerasan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam pengamalan dan pengalaman KUPI, istilah ulama perempuan bukan sebutan untuk individu-individu, melainkan gerakan kolektif untuk mewujudkan keilmuan Islam yang bersumber dari al-Qur’an, Hadits, dan seluruh khazanah keislaman dengan meniscayakan perujukan pada realitas kehidupan yang dialami perempuan.
Gerakan KUPI ini terdiri dari individu-individu dan lembaga-lembaga yang memiliki visi dan misi keadilan relasi laki-laki dan perempuan. Dalam gerakan KUPI ini, ada individu yang memiliki latar-belakang kajian keislaman yang kuat dan atau kajian ilmu-ilmu sosial yang relevan. Lalu ada orang-orang yang bergerak pada kerja-kerja lapangan untuk pemberdayaan dan advokasi isu-isu perempuan. []