Mubadalah.id – Jika merujuk kerangka maqashid syari’ah terkait perlindungan anak, maka kerangka ini dapat diimplementasikan untuk merespon apa yang disebut sebagai isu perlindungan khusus terkait hak-hak anak.
Misalnya, anak-anak terlantar, anak-anak difabel, anakanak yang mengalami stigma sosial akibat perilaku kedua orang tuanya, anak-anak dalam situasi darurat dan konflik sosial.
Kemudian anak anak dari kelompok minoritas dan terisolasi secara sosial, korban eksploitasi ekonomi dan atau sosial. Anak-anak dengan HIV/AIDS, anak perempuan korban perkosaan, dan anak-anak yang berhadapan dengan hukum.
Serta anak-anak yang menjadi korban atau pelaku pada tindakan-tindakan pidana tertentu. Seperti pornografi, kekerasan seksual, kekerasan sosial, perdagangan orang, dan terorisme.
Isu-isu ini, menurut Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Fikih Hak Anak, maka ia belum memperoleh perhatian yang cukup dari para akademisi dan praktisi hukum Islam dunia maupun Indonesia.
Dengan kerangka maqashid syari’ah, isu-isu perlindungan khusus ini bisa membahasnya dengan langkah yang sama. Yaitu mengawalinya dari kebutuhan-kebutuhan anak pada kondisi-kondisi tersebut.
Seperti mendahulukan kepentingan anak, memastikan hak-hak anak terpenuhi, dan melindunginya dari kemungkinan untuk menelantarkannya.
Dengan merujuk pada lima prinsip universal (al-kulliyyat al-khams), hak-hak anak pada kasus perlindungan khusus. Kemudian bisa merumuskannya dalam perspektif hukum Islam.
Fase-fase tumbuh kembang anak yang telah tertulis dalam konsep kapasitas (al-ahliyyah) dalam fikih klasik bisa menjadi pertimbangan untuk merumuskan tanggungjawab yang harus anak emban.
Termasuk ketika anak berhadapan dengan hukum, atau tindakan-tindakan yang memiliki dampak kerugian dan atau pidana pada orang lain. (Rul)