Mubadalah.id – Kajian-kajian tentang gender memang tidak bisa dilepaskan dari kajian teologis.
Hampir semua agama mempunyai perlakuan-perlakuan khusus terhadap kaum perempuan. Posisi perempuan di dalam beberapa agama dan kepercayaan ditempatkan sebagai the second sex.
Dan kalau agama mempresepsikan sesuatu, biasanya menganggapnya sebagai as it should be (keadaan sebenarnya), bukannya as it is (apa adanya).
Ketimpangan peran sosial berdasarkan gender masih tetap pertahankan dengan dalih doktrin agama. Agama harus terlibat untuk melestarikan kondisi di mana kaum perempuan tidak menganggapnya sejajar dengan laki-laki.
Tidak mustahil di balik kesadaran teologis ini terjadi manipulasi antropologis bertujuan untuk memapankan struktur patriarki, yang secara umum merugikan kaum perempuan, dan hanya menguntungkan kelas-kelas tertentu dalam masyarakat.
Dalam buku Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, Nasaruddin menjelaskan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat istilah-istilah yang harus kita bedakan antara yang menunjuk kategori seksual biologis, dan istilah lain menunjuk pada konsep gender.
Dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, sering mencampuradukkan dua kategori yang jelas berbeda ini, bahkan cenderung mengidentikkan yang satu dengan yang lain.
Perspektif gender dalam Al-Qur’an tidak sekadar mengatur keserasian pola relasi gender atau hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Tapi lebih dari itu Al-Qur’an juga mengatur keserasian pola relasi antara mikrokosmos (manusia), makrokosmos (alam), dan Tuhan.
Konsep berpasang-pasangan (azwa) dalam Al-Qur’an tidak saja menyangkut manusia melainkan juga binatang (QS. asy-Syura (42:11) dan tumbuh-tumbuhan (QS. Thaha (20:53).*
*Sumber: tulisan karya M. Nuruzzaman dalam buku Kiai Husein Membela Perempuan.