Mubadalah.id – Kasus penganiayaan seorang remaja bernama David Ozora (17) tempo lalu hingga mengakibatkan ia luka parah dan belum siuman hingga kini, telah menyita perhatian khalayak luas. Bukan hanya karena akibat dari pengeroyokan tersebut saja, tapi juga karena pelakunya masih di bawah usia dua puluh tahun.
Yang semakin membuat publik geram adalah bagaimana ternyata pelaku merupakan anak seorang pejabat teras. Di mana selama ini dimanjakan oleh orangtuanya dengan berbagai fasilitas mewah. Dalam tampilan media sosialnya, tampak sang pelaku kerap memamerkan berbagai barang branded pemberian orangtuanya agar mendapatkan perhatian publik secara luas.
Kasus penganiayaan yang terrekam dengan sengaja tersebut kian menambah banyaknya kasus kenakalan remaja yang berefek domino hingga membahayakan keselamatan jiwa manusia.
Fenomena Strawberry Parents yang Melahirkan Strawberry Generations
Persoalan kenakalan remaja ini Rhenald Kasali istilahkan sebagai salah satu dampak pengasuhan orangtua “strawberry” atau fenomena strawberry parents, yang melahirkan generasi “strawberry”. Orangtua “strawberry” di sini artinya sebagai orangtua yang tampaknya manis dan menyenangkan untuk terlihat, tapi ketika kita tekan sedikit langsung lembek, persis seperti karakter buah strawberry.
Tidak hanya itu saja, kelembekan yang orangtua miliki tersebut akhirnya menular pada sang anak. Hingga berakibat pada semakin manjanya anak. Kemanjaan anak terhadap orangtua memang wajar, tapi di titik tertentu jika berlebihan justru akan membuat anak lembek dan tidak dapat mengembangkan kapasitas dirinya.
Tingkat intervensi tinggi orangtua ini membuat anak kemudian tidak dapat mengasah kemampuannya dalam memecahkan masalah. Sebab, dari kecil ketika ia akan mencoba menyelesaikan problem di depan matanya, orangtua buru-buru campur tangan. Belum lagi insekuritas dan ambisi berlebihan orangtua melihat anak sebagai objek, bukan subjek penuh. Sehingga, ketika anak sedang berproses, orangtuanya justru tak sabar. Contohnya saja, ketika anak ingin mengikuti lomba. Orangtua justru terbebani agar sang anak harus juara satu atau menang bagaimanapun caranya.
Ciri-ciri Pengasuhan Strawberry
Padahal dalam proses perkembangan anak, perlu kita ajarkan bahwa kalah dan menang adalah hal yang biasa. Paling penting dari itu semua adalah proses untuk terus mengembangkan diri apapun hasilnya. Maka dari itu, penting untuk orangtua agar tidak terlalu ambisius dan melakukan intervensi apapun agar anak selalu menjadi nomor satu.
Sebab, jika nilai-nilai itu yang tertanamkan pada anak sedari kecil, yang terjadi ke depannya adalah anak menjadi tidak menghargai proses. Hanya berorientasi hasil semata. Efek buruknya ke depan, anak menjadi berperilaku koruptif. Menghalalkan apa saja agar mendapatkan hasil yang ia inginkan.
Dan, ketika ia bekerja, ia selalu menetapkan standar terlalu tinggi tanpa menyadari apakah kemampuan keahliannya sesuai atau tidak dengan kebutuhan pasar. Belum lagi ketika ia menerima tugas atau tanggung jawab, khawatirnya mereka yang terlalu dimanja sejak kecil sulit mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Terutama jika terjadi kesalahan karena selama ini tidak pernah dilatih oleh orangtuanya. Ujung-ujungnya, ketika terjadi kesalahan, mereka memilih lempar batu, sembunyi tangan.
Ciri lainnya dari generasi strawberry adalah mereka sangat rapuh dan mudah menyerah pada berbagai tekanan sosial yang muncul di sekitar mereka. Sedikit-sedikit mereka akan mudah tersinggung dan kemana-mana mengeluh bahwa mereka adalah orang yang paling menderita sedunia.
Terlebih ketika harapan dan keinginan mereka tidak selalu terwujud sesuai rencana. Generasi ini terkenal memiliki ekspektasi yang tidak realistis dan sering memaksakan kehendak. Di dunia kerja, mereka sering dicap sebagai pekerja lamban, tidak patuh, sombong, dan egois.
Melihat Anak sebagai Subjek
Menilik itu semua, penting kiranya bagi orangtua untuk tidak hanya melihat anak sebagai objek pelampiasan keinginan kita di masa lalu yang tidak terwujud. Tapi melihat mereka sebagai subjek yang perlu bertumbuh dari satu tahap ke tahap lain.
Tugas orangtua dalam hal ini adalah melakukan pendampingan dan melatih mereka untuk mengenalkan dunia di sekitarnya. Tidak hanya dengan dua warna hitam putih, tapi ajarkan mereka melihat ragam corak yang berbeda. Tujuannya agar mereka berlatih menghargai semenjak dini. Bukan melihat dirinya sebagai pusat perhatian dunia.
Sebab mengajarkan hal-hal prinsipil sejak dini seperti kata Frederik Douglas jauh lebih mudah daripada harus mengajarinya ketika sudah terlanjur parah karena,
“it is easier to build strong children than to fix broken men.” []