Mubadalah.id – Pada Selasa 7 Maret 2023 kemarin baru saja digelar Diseminasi dan Launching Hasil Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II. Di mana pelaksanaan KUPI II sendiri sudah terlaksana pada medio November 2022 di Semarang dan Jepara Jawa Tengah.
Hadir dalam kesempatan tersebut perwakilan jaringan media nasional, jaringan ulama perempuan se-Indonesia, Ketua Dewan Penasehat KH. Husein Muhammad, Ketua Majelis Musyawarah (MM KUPI) Ibu Nyai Hj. Badriyah Fayumi, panitia pelaksana KUPI II Ibu Nyai Masruchah, dan Ibu Nyai Hj. Hindun Anisah. Selain itu, hadir pula jajaran MM KUPI, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, Marzuki Wahid, MA dan Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm. Lalu para juru bicara yang mewakili masing-masing isu hasil musyawarah keagamaan KUPI II.
Para juru bicara yang mewakili itu antara lain: Dr. Hj Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah dalam isu Peminggiran Perempuan dalam Menjaga NKRI dari Bahaya Kekerasan Atas Nama Agama, Prof. Dr. Hj. Tutik Hamidah dalam isu Pengelolaan Sampah untuk Keberlanjutan Lingkungan Hidup dan Keselamatan Perempuan.
Selain itu, Yulianti Muthmainah, M. Sos dalam isu Perlindungan Jiwa Perempuan dari Bahaya Kehamilan akibat Perkosaan, Umdah El Baroroh, MA dalam isu Perlindungan Perempuan dari Bahaya Pemaksaan Perkawinan, dan Dr. Hj. Fatmawati Hilal dalam isu Perlindungan Perempuan dari Pemotongan dan atau Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) yang Membahayakan Tanpa Alasan Medis.
Tanya Jawab Media
Salah satu yang menarik perhatian saya adalah ketika ada tanya jawab bersama dengan jaringan media nasional. Di mana pertanyaan jurnalis atas nama Fredi dari JPPN yang mempertanyakan hasil kajian “peminggiran peran perempuan dalam menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama.”
Ia menambahkan agar pihak KUPI bisa mengelaborasi lebih jauh. Karena secara kebetulan juga tahun ini merupakan momentum politik dan pemilu di Indonesia. “Apakah ada pesan khusus terhadap peran dan keterlibatan perempuan dalam politik, bagaimana komposisi kehadiran perempuan dalam lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif hari ini, apakah sudah memenuhi harapan KUPI.” Demikian pertanyaan yang ia sampaikan.
Sementara itu, Panji dari CNN juga bertanya tentang calon presiden perempuan, apakah KUPI memberikan dukungannya?
Kepemimpinan Perempuan Perspektif KUPI
Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm yang mewakili Majelis Musyawarah KUPI menyampaikan bahwa kepemimpinan dalam level apapun, baik dalam perkawinan, keluarga, masyarakat, negara dan global, penting untuk mempunyai perspektif perempuan. Dengan memiliki komitmen perempuan, ia akan memahami kebutuhan khusus perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Maka untuk mewujudkannya ada beberapa hal yang harus terpenuhi. Antara lain:
Pertama, dalam kepemimpinan keluarga sakinah, artinya harus sakinah juga untuk perempuan. Kedua, kesejahteraan masyarakat, maka harus sejahtera juga bagi perempuan. Dan, ketiga negara melalui kebijakan negara, maka juga harus bijak bagi perempuan.
Dan kondisi perempuan ini yang perlu dipahami oleh pemimpin, apapun jenis kelaminnya. Pada para calon pemimpin nanti KUPI menitipkan pesan, supaya kemanusiaan khas perempuan ini diberi perhatian khusus. Terutama pada pengalaman biologis perempuan. Karena laki-laki dan perempuan itu memiliki sistem reproduksi yang berbeda.
Pesan KUPI pada Calon Pemimpin di 2024
Selanjutnya, ketika merumuskan kebijakan negara agar memastikan pengalaman biologis khas perempuan, seperti menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Di mana laki-laki itu hanya memproduksi sperma, durasinya menitan bahkan detik. Dan dampaknya nikmat, sementara perempuan menstruasi mingguan, hamil bulanan, nifas bulanan, menyusui bayi sampai dua tahun.
“Dampaknya sudah ada sakit, kurhan melelahkan. Wahnan ‘ala wahnin sakit dan lelah berlipat-lipat. Maka dari itu, tolong pastikan apa yang disebut dengan kebijakan negara itu, tidak menyebabkan pengalaman biologis perempuan sebagai warga negara Indonesia yang penuh, untuk tidak semakin sakit.” Tegas Dr. Nur Rofiah
Bahkan bagi para calon pemimpin nanti di tahun 2024, Dr. Nur Rofiah secara khusus menitipkan pesan agar memberi kebijakan yang bisa melindungi perempuan dari pemaksaan perkawinan. Karena pemaksaan perkawinan akan menyebabkan hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui makin sakit. Lalu beri juga perhatian pada P2GP, jangan sampai perempuan itu mengalami hamil, melahirkan, nifas dan menyusui yang sudah wahnan ‘ala wahnin itu makin sakit.
Ketika perempuan menstruasi akan terasa makin sakit, karena organ kelaminnya itu tidak utuh. Dalam kondisi utuh, dan sehat wal afiat saja sudah sakit. Apalagi kalau terjadi pelukaan dan pemotongan.
Selain itu, lindungi perempuan dari kekerasan atas nama agama. Libatkan supaya dalam proses penanganan itu juga memberi perhatian pada perempuan karena kondisi khas ini. Kemudian, melindungi jiwa perempuan dari kehamilan akibat perkosaan. Mestinya perkosaan juga bisa dicegah, supaya tidak sampai mengalami kehamilan.
Sebab, kehamilan dalam kondisi normal saja sudah wahnan ala wahnin, apalagi kehamilan akibat perkosaan. “Bersyukur kita kepada pemerintah yang sudah mengesahkan UU TPKS, semoga UU semacam ini yang memperhatikan kondisi khas perempuan sebagai manusia dan warga negara, mendapat perhatian khusus oleh calon pemimpin di tahun 2024.”Pungkasnya.
KUPI tidak Berafiliasi dengan Partai Politik
Berikutnya, Dr. Iklilah Muzayyanah sebagai juru bicara pada isu pertama merespon pertanyaan para jurnalis, dengan merujuk pada sikap dan pandangan keagamaan KUPI terkait dengan marginalisasi atau peminggiran perempuan pada kerja-kerja yang bersifat sosial politik. Dalam hasil analisis di dalam musyawarah KUPI, perempuan akan mengalami kerugian. Tidak hanya bagi negara, tapi juga bagi prestasi dan kapasitas perempuan itu sendiri.
“Jadi kalau minta tanggapan atas kepemimpinan perempuan, saya kira nanti bisa dikembangkan tafsirnya. Tapi titik tekannya adalah ketika perempuan dipinggirkan, tidak dilibatkan dalam kerja-kerja sosial politik, maka siap-siaplah negara ini akan mengalami kerugian besar.” Ujarnya.
Kedua, Dr. Iklilah juga menegaskan bahwa KUPI merupakan gerakan atas upaya mengapresiasi dan mengakui otoritas ulama perempuan. Karena itu KUPI tidak berorientasi pada konteks mendukung atau tidak mendukung, atau pada satu atau dua nama calon presiden dalam konteks politik. Karena KUPI betul-betul hanya berorientasi pada upaya problem solving persoalan-persoalan perempuan, sehingga KUPI tidak berafiliasi dengan partai politik atau calon presiden tertentu. []