Mubadalah.id – Tahun 1998. Pak Habibie tidak menduga bahwa kepemimpinan bangsa ini akan jatuh ke tangannya dalam situasi krisis. “Tidak mudah memimpin dalam situasi krisis, kita harus cepat membaca situasi dan mengambil keputusan, di sisi lain, ketika mengambil keputusan kita tidak boleh sembarangan, tidak boleh main-main”, demikian curhatnya saat Peringatan Mei 1998 di TPU Pondok Ranggon tempat pemakaman massal korban kerusuhan Mei 1998.
Peringatan ini diselenggarakan oleh Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan), Pemda DKI Jakarta, dan Komunitas Korban serta berbagai LSM lainnya pada tahun 2017. Pada waktu itu Pak Habibie baru saja datang dan duduk di sofa bersama Bu Saparinah Sadli, Syamsiah Ahmad dan Eyang Sri serta beberapa dari Komnas Perempuan. Saya kemudian menanyakan padanya, bagaimana rasanya menjadi presiden ditengah krisis dan masa transisi?
“Tidak mudah karena dalam situasi krisis dan masa transisi, dimana banyak terjadi konflik, keinginan berpisah dari Indonesia, saya sebagai presiden harus berperan untuk mendengarkan suara rakyat, harus merendah hati dihadapan rakyat, karena suasana masih panas dan sensitif. Pemimpin perlu memiliki kemampuan untuk mendengarkan rakyatnya, sehingga kita tahu apa yang perlu kita putuskan,” demikian tambahnya.
Ketika ditanya soal kerusuhan Mei 1998 dan adanya kekerasan seksual dalam peristiwa tersebut, Pak Habibie menunduk dan berusaha mengingat tentang apa yang terjadi.
“Saya memutuskan untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta, yang terdiri dari unsur pemerintah, dengan melibatkan masyarakat sipil, supaya pencarian fakta ini dapat dilaksanakan secara obyektif.”
Terkait dengan kekerasaan seksual pada masa itu, Pak Habibie bercerita bahwa dia didesak oleh kelompok masyarakat perempuan anti kekerasan. Sambil menunjuk ibu Saparinah Sadli yang sedang duduk disampingnya, ia berkata,
”Perempuan-perempuan pemberani inilah yang membuat saya bisa mengambil keputusan, untuk menerbitkan peraturan presiden tentang pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, terkait kekerasan seksual yang terjadi pada saat situasi kerusuhan Mei 98.”
Ibu Saparinah Sadli saat itu tersenyum dan digandeng oleh Pak Habibie. Menurut beliau, Bu Sap sudah seperti kakaknya, “Usia bu Sap bahkan lebih senior dari usia saya,” katanya sambil tertawa-tawa.
Paska peringatan Mei 98 tersebut tak diduga beredar opini-opini hoax baik di surat kabar cetak maupun online bahwa perkosaan Mei 98 tidak pernah ada. Penyangkalan itu terjadi bertubi-tubi sejak Pak Habibie hadir di TPU makam massal mei 98 Pondok Ranggon. Sementara media-media mainstream lainnya justru menyatakan hal sebaliknya, bahwa pelanggaran HAM masa lalu berkaitan dengan Mei 98 selalu ditutupi, dan terutama penyangkalan tentang kasus perkosaan, yang semua ini menimbulkan tanda tanya besar dalam sejarah bangsa.
Pak Habibie bahkan tidak takut untuk bersaksi bahwa peristiwa itu pernah ada, dan menyatakan minta maaf sebesar-besarnya pada korban, serta memiliki rasa iba pada rakyat miskin yang menjadi korban pembakaran-pembakaran di mall, dan orang Indonesia-Tionghoa yang mengalami penjarahan-penjarahan dan perkosaan. Pernyataan maaf tersebut disampaikan dengan setulus-tulusnya dan dalam suasana duka.
Presiden Ketiga Republik Indonesia ini adalah salah satu presiden yang moderat dan menyatakan bahwa tidak bisa bangsa ini dijalankan tanpa proses yang demokratis. Tidak bisa bangsa ini dipimpin oleh atas nama ras atau agama tertentu. Bangsa ini perlu dipimpin oleh tokoh yang mewakili semua orang, baik ras, agama, suku dan jenis kelamin, karena hanya dengan itulah bangsa ini bersatu dan damai.[]