Mubadalah.id – Momen Lebaran menjadi epic untuk dapat bertemu dengan keluarga besar, sarana bersilaturahmi dan mengembalikan jiwa yang suci setelah melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Jika merujuk pada beberapa website, dapat disimpulkan bahwa lebaran berasal dari kata “lebar” yang diberikan imbuhan -an. “Lebar” berarti lapang, yang maknanya agar di hari raya kita diberikan kelapangan dada.
Namun, kelapangan dan juga silaturahmi yang kita pahami sebagai salah satu makna lebaran tak jarang malah menjadi momok diskriminasi, khususnya kepada perempuan. Tak jarang pula menjadi anekdot atau lebih tepatnya video meme yang menyindir salah satu pihak.
Seperti salah satu trend templates pada aplikasi Capcut “Harus siap mental, habis ini di-interview banyak orang”. Tak hanya itu, ada tren lain yang seolah menjadi sindirian untuk orang-orang yang akan menanyai anak-anak muda “kapan akan menikah?”.
Awalnya, sebagai seorang yang baru berusia 22 tahun saya tidak terlalu berekspektasi akan menerima pertanyaan hal tersebut. Namun di luar prediksi saya, pertanyaan-pertanyaan yang tadinya hanya sebatas saya jumpai di dunia sosial media, di dalam series atau film kini menjadi semakin nyata dan dekat dengan kehidupan saya.
Tak satu dua orang saja yang bertanya berapa usia saya. Berlanjut dengan mendoakan supaya cepat dibawa pulang oleh seorang laki-laki. Ya, saya tentunya mengetahui itu adalah doa-doa baik mereka. Namun ketika saya menjawab “Ya, kalau saya masih santai Tante, belum terlalu berpikir untuk menikah dalam waktu dekat,” mereka kebanyakan berkata “Lah, perempuan udah kerja mau ngapain lagi kalau tidak menikah?”
Mental Saat Lebaran, Aman?
Ternyata benar ucapan Najwa Shibab dalam beberapa cuplikan videonya yang menjelaskan betapa susahnya menjadi perempuan. Terutama dengan budaya patriarki yang melekat di Indonesia ini. Seolah kodrat perempuan ketika sudah bekerja haruslah cepat menikah.
Saya kemudian merenungkan kembali ucapan orang-orang tersebut lantas berkata dalam hati, “Apakah laki-laki yang seumuran dengan saya juga akan ditanyai demikian? Apakah hanya perempuan saja?”
Sebenarnya, tak hanya itu saja pertanyaan selama prosesi silaturrahmi lebaran. Hal lain misalnya “Kenapa belum bekerja?” Atau bahkan “Kenapa hanya bekerja di situ? Padahal sarjana!” juga menjadi sasaran bagi pemuda-pemuda saat ini.
Mirisnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian kita normalisasi, dan kita yakini sebagai sumber motivasi bagi anak muda. “Supaya tertampar dan lebih bersemangat” katanya.
Tentunya ada hikmah-hikmah atau poin yang kita ambil dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tapi tidak semua orang bisa mengambil sisi-sisi baiknya. Tidak semua orang juga dapat menerima pertanyaan tersebut dengan baik.
Agama secara jelas memerintahkan kita untuk amar ma’ruf nahi munkar. Terlebih dalam kondisi hari raya umat Islam. Bukankah Islam sendiri adalah sebenar-sebenarnya rahmatan lil alamin? Jika memang iya, lantas mengapa ucapan-ucapan tersebut justru membawa jalan keburukan kepada umat Islam sendiri?
Bagaimana Seyogianya Lebaran yang Suci?
Jika bercermin kepada Islam rahmatan lil alamin, hendaknya mengetahui bahwa rahmat tiada lain ialah semata cinta, welas asih, kasih sayang, etika, akhlak, dan pemuliaan asas-asas kemanusiaan. Seyogianya, apa yang umat Islam lakukan di hari yang suci ini harus membawa dampak kemaslahatan.
Selain itu, dalam buku yang Edi Ah Iyubenu tulis dengan judul “Berislam dengan Akal Sehat” menyebutkan bahwa selain memahami Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, kita juga dapat memegang prinsip wasathiyah (moderasi) sebagai khittah paling primadonal yang harusnya menjadi landasan dalam kehidupan ini. Hal tersebut karena prinsip moderasi sendiri akan menjanjikan spirit saling pengenalan, pengertian, dan juga pemahaman.
Ada banyak pertanyaan yang dapat terlontarkan selain hal-hal di atas. Tentunya dengan mempertimbangkan nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin dan berpedoman pada prinsip moderasi terhadap sesama umat Islam terlebih dahulu. Sehingga dapat memikirkan kembali pertanyaan yang dapat kita tanyakan kepada laki-laki pun perempuan yang kita jumpai.
Seandainya pertanyaan di atas memang harus kita ucapkan, maka jadikan sebagai ruang diskusi bukan ruang penyudutan. Pertanyaan usia jika kita lanjut dengan “keren sekali, di usia tersebut kamu udah bisa A B C,” tentunya akan memunculkan suasana yang lebih indah.
Menutup ulasan ini, pada akhirnya, jika tidak ada yang merasa tersudutkan dengan pertanyaan kapan? Lebaran sebagai momen bertemu dengan sanak saudara, keluarga, kerabat dekat akan menjadi momen menyenangkan yang sesuai dengan makna Idulfitri yakni kembali pada kesucian. []