Mubadalah.id – Sebagaimana dicatat Imam Bukhari dalam Shahih-nya (Hadits nomor 5330), juga kitab-kitab Hadits lain, ada keputusan Nabi SAW yang begitu empatik dan suportif terhadap pengalaman perempuan.
Di antaranya adalah mengenai seorang perempuan bernama Habibah bint Sahl Ra. Dia adalah istri seorang sahabat terpandang, tokoh panutan, dan orator ulung penduduk Madinah, Tsabit bin Qays bin Syammas al-Anshari al-Khazraji Ra.
Dalam sebuah riwayat Hadits disebutkan, bahwa Habibah tiba-tiba datang ke rumah Rasulullah SAW. Saat Nabi SAW membuka pintu rumah, dijumpai ada seorang perempuan. “Siapa ini?” kata Nabi SAW. “Habibah bint Sahl,” jawab sang perempuan.
“Ada keperluan apakah gerangan?,” tanya Nabi SAW.
“Aku istri Tsabit bin Qays ra, ya Rasul, aku tidak sanggup lagi menjadi istri dia. Sekalipun akhlak dia baik dan ibadah dia juga bagus, tetapi aku tidak sanggup serumah dengannya.”
“Maumu apa?” tanya Nabi SAW. “Aku tidak menyalahkannya, tetapi aku sendiri yang ingin bercerai darinya, karena tidak sanggup hidup bersama. Khawatir malah aku berperangai buruk kepadanya,” jawab Habibah tegas.
Lalu, Nabi SAW memanggil suaminya, Tsabit bin Qays ra, dan menyarankannya untuk menceraikan istrinya tersebut. Perceraian pun terjadi dengan tebusan sebidang tanah yang awalnya diterima Habibah sebagai mahar, kemudian dikembalikan kepada Tsabit.
Kisah Fatwa Perempuan
Inilah kisah cerai tebus pertama dalam Islam, yang dalam fiqh disebut sebagai khulu’ Kisah lengkap ini adalah rangkuman dari berbagai versi Hadits yang dicatat Imam Ibn Hajar dalam kitab Fath al-Bari.
Dua teks riwayat dari kitab-kitab Hadits utama kiranya perlu kita turunkan di sini. Sisanya, pembaca bisa merujuk sendiri pada berbagai kitab Hadits.
Kaya Dari Ibn Abbas ra, berkata: Ada seorang perempuan, istri dari Tsabit bin Qays, datang menemui Rasulullah SAW, dan berkata, “Wahai Rasul, saya tidak mencela agama maupun akhlak Tsabit (suamiku). Tetapi saya tidak kuat (hidup bersama)-nya.”
Nabi SAW (menerimanya) dan bertanya, “Maukah kamu kembalikan kebun (yang dulu Tsabit berikan kepadamu)?” Sang perempuan menjawab, “Ya, mau.” (Shahih Bukhari, Hadits nomor 5330).
Hadist lain menyebutkan:
Dari ‘Amrah bint Abdurrahman, dia memperoleh cerita langsung dari Habibah bint Sahl al-Anshari ra : Saat itu, Habibah adalah istri dari Tsabit bin Qays bin Syammas ra.
Suatu hari, di saat masih pagi gelap, Rasulullah SAW keluar rumah untuk shalat Subuh dan mendapati Habibah berada di pintu rumah Nabi SAW.
“Ada apa?” tanya Rasul. “Saya tidak ingin lagi bersama Tsabit bin Qays,” jawab Habibah tentang suaminya itu.
Lalu suaminya, Tsabit bin Qays, juga datang. Nabi SAW berkata kepadanya, “Ini Habibah, istrimu, menginginkan sesuatu (berpisah darimu).”
Habibah menambahkan, “Wahai Rasul, semua yang dia berikan padaku masih aku simpan (dan bisa aku berikan lagi kepadanya, asal aku bisa pisah).” Lalu Rasulullah SAW berkata kepada Tsabit, “Ya sudah, kamu terima saja harta(mu) yang ada pada istrimu itu.”
Maka Tsabit menerima harta itu, Habibah pun (menjadi cerai) dan pindah ke rumah keluarganya. (Muwaththa’ li Malik, Hadits nomor 1187).
Dalam kisah ini jelas sekali Nabi SAW mendengar dan merujuk pada apa yang perempuan alami dan rasakan dalam kehidupan pernikahannya.
Karena prinsip pernikahan itu untuk mewujudkan kehidupan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Ketika seorang perempuan menemukan sebaliknya, Nabi SAW memutuskan hukum yang merujuk pada pengalaman perempuan yang nyata itu. Inilah contoh fatwa yang merujuk dan percaya pada pengalaman seorang perempuan. []