Mubadalah.id – Sepanjang sejarah peradaban Islam, tokoh-tokoh ulama klasik yang berjasa dalam perumusan konsep maqashid asy-syari’ah adalah Abu Abdullah at-Tirmidzi al-Hakim (w. 320 H/932 M), dan Abu Zayd al-Balakhi (w. 322 H/933 M).
Sebagai warisan klasik, maqashid asy-syari’ah telah mengerucut pada konsep al-kulliyat al-khams (prinsip yang lima) sebagai kerangka dalam memahami dan memutuskan hukum Islam.
Lima prinsip yang mereka maksud adalah perlindungan jiwa (hifzh an-nafs), dan akal (hifzh al-‘aql). Kemudian harta (hifzh al-mal), keluarga (hifzh an-nasl) atau kehormatan (hifzh al-‘irdh), dan agama (hifzh ad-din).
Maqashid asy-syari’ah dengan lima prinsip ini, bagi asy-Syathibi, telah menjadi dasar hukum yang jelas dan pasti (qath’iy), sebagai bagian dari pokok agama (ushul ad-din), kaidah hukum (qawa’id syar’iyyah), dan prinsip beragama (kulliyat al-millah).
Bagi ulama kontemporer, kelima prinsip ini tidak hanya berguna sebagai kerangka untuk menjaga dan melindungi hak-hak dasar manusia. Melainkan juga untuk mengembangkannya agar terwujud secara baik dan sempurna.
Prinsip hifzh an-nasl atau melindungi keluarga, misalnya, awalnya hanya dipahami sebagai kerangka syari’ah pernikahan dan larangan zina.
Kedua hal ini selalu dibahas sebagai prototipe syari’ah atau hukum Islam, dalam mengimplementasikan prinsip perlindungan keluarga.
Dengan menikah secara sah, kehormatan keluarga terjaga dan terlindungi. Begitu pun dengan memidanakan zina, orang-orang agar jera dari praktik-praktik yang bisa merusak keutuhan ikatan pernikahan dan kebahagiaan keluarga.
Prinsip Hifzh An-Nasl
Bagi Syekh Muhammad ath-Thahir Ibn ‘Asyur (w. 1973), prinsip hifzh an-nasl harus kita perluas untuk mencakup semua nilai moral hukum Islam yang bisa menjaga keutuhan, keharmonisan, dan kehormatan keluarga.
Kebolehan suami memukul istri, yang biasa dirujukkan pada QS. an-Nisa’ (4): 34, misalnya, harus orang-orang pahami dalam kerangka menyatukan pasutri yang sedang konflik.
Namun, praktiknya sekarang justru melukai perempuan dan membuat konflik pasutri semakin membesar, maka ia harus pemerintah larang. Pelarangan ini, salah satunya, mengguhakan kerangka maqashid asy-syari’ah yaitu hifzh an-nasl, atau perlindungan keluarga dari segala jenis yang bisa merusaknya.
Jasser Auda secara tegas mentransformasikan konsep hifzh an-nasl (penjagaan dan perlindungan keturunan) menjadi bina’ al-usrah (pembangunan keluarga).
Hal ini untuk mencakup semua nilai moral fundamental tentang perlindungan hak-hak individu dan sosial. Terutama perempuan dan anak-anak, terjaga dan terlindungi dalam semua pranata hukum keluarga.
Sebagaimana bisa kita lihat dalam fatwa KUPI, prinsip hifzh an-nasl ini juga menjadi kerangka dalam perumusan keputusan pengharaman kekerasan seksual dan kewajiban perlindungan anak dari pernikahan yang buruk pada konteks Indonesia saat ini. []