Mubadalah.id – Kisah tentang Sayyidah Hajar tidak lepas dari sosok Sayyidah Sarah, istri pertama Nabi Ibrahim. Dalam kisah Nabi Ibrahim, saat itu ia berusia 86 tahun dan tak kunjung mendapatkan putra. Maka Sayyidah Sarah berinisiatif memerdekakan amat bernama Hajar serta meminta Nabi Ibrahim untuk menikahinya.
Setahun kemudian Hajar melahirkan Ismail, kelahiran Ismail tak luput menimbulkan kecemburuan pada Sayyidah Sarah hingga ia bersumpah ingin melukai bagian tubuh Hajar. Namun Sayyidah Sarah diberikan keistimewaan oleh Allah mampu meredam kemarahannya dengan cara yang bermartabat, ia menyesal terlanjur melontarkan sumpahnya.
Namun, Nabi Ibrahim mengatakan bahwa sumpah tersebut harus ia laksanakan. “Lubangilah 2 daun telinga Hajar bagian bawah”, yang kini lazim perempuan melakukannya untuk memakai anting.
Setelah itu, Allah mewahyukan kepada Nabi Ibrahim untuk menghijrahkan Sayyidah Hajar ke tanah Haram. Di mana pada awalnya Sayyidah Sarah dan Sayyidah Hajar hidup dalam satu atap. Dan, kekuasaan Allah, 10 tahun kemudian, Sayyidah Sarah pun akhirnya hamil dan melahirkan putra bernama Ishaq.
Sosok agung di balik peristiwa kurban
Ketika Nabi Ibrahim mulai menghijrahkan Sayyidah Hajar ke tanah Haram, tak hentinya ia berkeluh kesah kepada Nabi Ibrahim. Berkali-kali Sayyidah Hajar mengeluh hal yang sama namun Nabi Ibrahim bergeming, tiada kata yang sanggup ia ungkapkan kepada istrinya, ia bahkan tidak menoleh sedikit pun kepada Sayyidah Hajar.
Lalu Sayyidah Hajar mengejar Nabi Ibrahim dan berkata. “Apakah ini adalah perintah Allah?”, Nabi Ibrahim menjawab “Ya, Allah yang telah mewahyukan kepadaku”. Seketika Sayyidah Hajar memantapkan hatinya, “Baiklah, jika ini adalah perintah Allah, maka aku ridla”.
Setelah itu Nabi Ibrahim pergi meninggalkan Sayyidah Hajar dan Ismail untuk berdakwah ke Negeri Syam seraya berdoa “Ya Allah, istikamahkan keluargaku dalam kepatuhan terhadap-Mu, serta jadikanlah siapa pun yang memandang akan menyayangi mereka”. Lalu setelah 3 hari kemudian bekal bahan makanan yang Nabi Ibrahim berikan untuk keperluan hidup Sayyidah Hajar habis hingga lahirlah peristiwa dramatis dan bersejarah yakni Sa’i dan Zamzam.
Nyatanya, Nabi Ibrahim merupakan sosok yang tidak menghendaki poligami jika tujuannya hanya demi mendapatkan keturunan, meskipun usianya mencapai 86 tahun. Sayyidah Sarah yang mendukung sepenuhnya dakwah Nabi Ibrahim hingga mencarikan sosok istri yang dapat memberikan Nabi Ibrahim keturunan demi kelangsungan dakwah pada masa itu. Sayyidah Sarah sendiri yang telah memerdekakan Hajar dari perbudakan. Dan Sayyidah Hajar, istri yang rida terhadap ketetapan-ketetapan Allah.
Perintah Melalui Mimpi
Tiga belas tahun kemudian Nabi Ibrahim kembali ke Haram menemui Sayyidah Hajar dan Ismail, mereka berbahagia berkumpul bersama. Namun kebahagiaan Nabi Ibrahim kembali Allah uji saat Nabi Ibrahim mendapatkan perintah untuk menyembelih putranya.
Melalui mimpi dikatakan “innallaha ya’muruka bidzabhi ibnika hadza”, sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk menyembelih anakmu ini. Ada perbedaan pendapat siapa yang disembelih, ada yang mengatakan Ismail putra Sayyidah Hajar dan ada yang mengatakan Ishaq putra Sayyidah Sarah. Namun yang lebih kuat pendapatnya adalah Ismail.
“Tarawwa Ibrahimu fi dzalika min as-shabah ila rawah”. Dari pagi hingga sore Nabi Ibrahim memikirkan tentang mimpi tersebut, apakah ini mimpi dari Allah ataukah dari setan? Sehingga hari berpikirnya Nabi Ibrahim ini disebut dengan Yaum at-Tarwiyah, berasal dari akar kata rawaa-yurawwi-tarwiyatan artinya berpikir. Hingga sampailah pada keyakinan “arafa annahu minallah”, Nabi Ibrahim tahu dan yakin bahwa mimpi tersebut benar-benar datang dari Allah. Maka tersebutlah hari Arafah.
Tibalah saat Nabi Ibrahim menyembelih putranya, Ismail, Namun Nabi Ibrahim tak ber-Tuhan dengan egois, Ia meminta pendapat terlebih dahulu kepada putranya.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Nabi Ibrahim, Nabi Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS. Ash-Shaffat/37: 102)
Pertanyaan Nabi Ibrahim kepada putranya dengan diksi “Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” merupakan gambaran sosok peran ayah dalam melibatkan eksistensi seorang anak sebagai subyek penuh pelaku kehidupan.
Nabi Ibrahim Ahli Fillsafat dalam Berdakwah
Kita semua tentu tahu bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang ahli filsafat dalam berdakwah, bagaimana strategi dakwahnya terhadap berhala-berhala yang ia hancurkan sehingga debatnya tak terkalahkan.
Nabi Ibrahim tidak semerta memaksakan kehendak. Bahkan kehendak Tuhan sekalipun, memberikan kesempatan kepada anak untuk berpendapat, mendengarkan keluhan, ber-tabayyun dan berbicara dari hati ke hati. Maka terjalinlah cinta kasih antara anak, orang tua dan rabb-nya.
Padahal jika kita amati sejarahnya, Nabi Ibrahim adalah sosok ayah yang mungkin tidak bisa mengamalkan quantity time sebab kesibukannya berdakwah. Tetapi quality time menjadikan Ismail bukan korban fatherless. Ada diskusi dan bonding yang terjalin antara ayah dan anak.
Lalu bagaimana jawaban Nabi Ismail? “Yaa abatif’al maa tu’mar, satajiduni insya Allahu min as-shabirin”. “Wahai ayahku yang sangat kucintai. (Abati adalah panggilan yg lembut penuh kasih sayang, lebih halus dari panggilan abi, abuya dan panggilan umumnya masyarakat Timur) laksanakanlah sebagaimana yang Allah perintahkan, Insya Allah aku akan bersabar”
Dan justru, yang mengasah pisau untuk penyembelihan Nabiyullah Ismail adalah ibunya sendiri, Sayyidah Hajar. Tidak ada keraguan atau perasaan takut sedikit pun dalam hatinya. Padahal ia tahu bahwa dengan pisau itu kelak yang akan menyembelih putranya.
Nabi Ismail Mengajukan Syarat
Begitu pula ayahnya, Nabiyullah Ibrahim, bahkan saat proses persiapan penyembelihan sempat digoda iblis. Nabi Ibrahim marah dan melempar iblis 3 kali dengan kerikil. Peristiwa ini pula yang melatarbelakangi perintah melempar jumrah 3 kali dalam ibadah haji.
Sebelum proses penyembelihan, Nabiyullah Ismail mengajukan 6 hal kepada ayahnya:
- Kalau mengikat yang kuat supaya ketika aku disembelih, aku tidak banyak gerak saat menanggung rasa sakit.
- Ketika menyembelihku, angkatkah lengan baju ayah, agar darahku tidak mengotori baju ayah, aku tidak membayangkan bagaimana kesedihan ibu jika melihat bekas darahku.
- Tajamkan pisaunya agar tidak menyusahkan ayah ketika menyembelihku.
- Ketika menyembelihku lakukan dengan tebasan yang kuat, hingga tidak perlu lagi ditebas berkali-kali, karena aku tahu bahwa nyawa dicabut pasti akan menyakitkan sekali bagiku.
- Ketika aku sudah meninggal, sampaikan salam ta’dzimku kepada ibu.
- Tolong gamis yang kupakai ini berikan kepada ibu sebagai kenang-kenangan.
Nabi Ibrahim berkata “ni’mal aunu anta ya bunayya ‘ala amrillah.” Sebaik-baik pertolongan adalah engkau wahai anakku.
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail pun bersiap, Nabi Ibrahim telah mengikat Ismail dengan kuat. Malaikat Jibril pun ta’dzim kepada Allah dan merasa takjub. Lalu Jibril Allah perintahkan untuk turun dan membawa domba dari surga, domba tersebut merupakan kurban dari Habil putra Adam dan Hawa. Malaikat Jibril berkata “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar”. Lalu Nabi Ibrahim berkata “Laa ilaaha illa Allah”, Ismail pun menyambung “Allahu Akbar wa Lillah al-Hamd”.
Sebelum disembelih, Ismail memohon kepada ayahnya agar ditengkurapkan. Sebab ia khawatir ayahnya mengalami kesulitan dalam melaksanakan perintah Allah ketika memandang wajahnya. Namun yang terjadi adalah pisau yang ia gunakan untuk menyembelih ternyata terbalik. Sehingga Ismail tidak terluka sedikit pun, dan seketika tubuh Ismail tergantikan oleh kambing yang dibawa Malaikat Jibril.
Nabi Ibrahim telah melaksanakan perintah Tuhannya, menyembelih anak adalah ujian yang sangat berat, maka Allah tebus dengan sembelihan yang besar.
Kurban dan Tradisi Kuno
Persembahan dengan melibatkan nyawa manusia sesungguhnya adalah budaya terdahulu sebelum datang Millah Ibrahim. Hampir seantero dunia masyarakat rela mempersembahkan manusia sebagai sesaji kepada Tuhan yang kita sembah.
Di Mesir, gadis cantik dipersembahkan pada Dewa Sungai Nil. Lalu di Kan’an, Irak, yang dipersembahkan kepada Dewi Baal adalah bayi. Di Mexico, Suku Astec mempersembahkan jantung dan darah manusia kepada Dewa Matahari. Sementara di Eropa Timur, orang-orang viking mempersembahkan pemuka agama mereka kepada Dewa Odion (Dewa Perang).
Maka risalah berkurban turun untuk memberikan pelajaran kepada ummat Nabi Ibrahim dan juga dzurriyahnya bahwa Allah mengasihi manusia. Kasih sayang-Nya berupa pelarangan seluruh jenis persembahan manusia sebagai tumbal ataupun kurban. Sehingga persembahan manusia terganti dengan persembahan hewan kurban. Mahabesar Allah sebaik-baik pemberi ibrah.
Ada beberapa versi mengapa Nabi Ibrahim menerima perintah untuk menyembelih anaknya. Dalam Kitab Nuzhah al-Majalis wa Muntakhab al-Nafais karangan As-Syaikh As-Shafuri ada penjelasan bahwa sesungguhnya Nabi Ibrahim mengaku hanya mencintai Allah. Maka ketika seseorang sudah menyatakan mahabbah-nya kepada Allah, maka seharusnya tidak akan ada cinta yang lain.
Bahkan tingkatan seorang wali bernama Syaikh Abu Sulaiman ad-Darani berkata bahwa ia lebih mencintai salat dua rakaat daripada dunia seisinya. Lalu bagaimana tingkat mahabbah Nabi Ibrahim Sang Khalilullah? Dan ujian pun datang dari pandangan cinta sang ayah kepada anak.
Sesungguhnya hal ini adalah suatu kewajaran ketika seorang ayah cinta kepada anak apalagi di sepanjang 86 tahun usia Nabi Ibrahim baru memiliki putra. Namun konsep ketauhidan terhadap Allah adalah mencintai seluruh makhluk karena Allah.
Memahami Perintah Berkurban
Versi kedua dalam Kitab Tafsir Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farah al-Ansori as-Syairazi (Syamsuddin Al-Qurtubi), dengan versi yang hampir sama dengan versi pertama. Allah berfirman kepada Nabi Ibrahim, “Tujuanku memerintahkan menyembelih bukanlah anak yang disembelih, tapi kembalikan cintamu pada-Ku, maka anakmu Ku-kembalikan”
Penjelasan versi ketiga dalam Kitab Tafsir Khozin Lubab al-Ta’dzim fi Ma’ani al-Tanzil karya Syaikh Alauddin Ali bin Muhammad bin Nabi Ibrahim al-Baghdadi. Nabi Ibrahim pernah berdoa “rabbi habli minassalihin.” Lalu menikahlah dengan Sayyidah Hajar dan diberi anak. Sebelumnya Nabi Ibrahim nazar, jika aku diberi anak maka akan kusembelih karena Allah. Maka ketika Ismail berusia 7 tahun, pendapat yang lain umur 13 tahun (penafsiran kata “balagha as-sa’ya”), lalu Allah menagih nazar Nabi Ibrahim melalui perintah penyembelihan.
Versi keempat penyebab Nabi Ibrahim menerima perintah menyembelih putranya adalah jauh sebelum memiliki anak, dan sebelum menikah dengan Sayyidah Hajar. Setiap tahun Nabi Ibrahim berkurban 1000 kambing, 300 sapi, dan 100 onta.
Semua memuji pengorbanan Nabi Ibrahim, lalu Nabi Ibrahim berkata, “Semua itu adalah kurban yang kecil, (lalu Nabi Ibrahim bersumpah) demi Allah, seumpama aku punya anak laki-laki lalu diperintahkan untuk kurban fi sabilillah, maka akan kusembelih.”
Nabi Ibrahim pun lupa ucapan itu, lalu Nabi Ibrahim pergi ke Syam (Ard al-Muqaddasah) untuk mengalahkan Raja Namrud lalu kembali ke Syam dan dianugerahi anak, nabi Ismail. Allah menagih sumpah Nabiyullah Ibrahim.
Peristiwa ini mengajarkan kita banyak hal
Lihatlah, sepasang suami istri yang rida dengan perintah Tuhannya, sepasang suami istri yang bahagia menjalankan perintah Tuhannya. Seorang ayah yang ketika itu berumur 86 tahun baru dikaruniai putra dan kurang lebih 13 tahun lamanya ditinggal berdakwah, setelah pulang berdakwah dan merindukan putranya yang beranjak remaja malah diwahyukan kepadanya perintah menyembelih putranya. Sang Khalilullah dengan suka cita melaksanakan perintah-Nya..
Seorang ibu, yang membesarkan putranya di tengah paceklik dengan berbagai peristiwa dramatis dan bersejarah, termasuk sejarah sumur zamzam. Ia dengan bangga mempersembahkan putranya, cintanya kepada Allah telah sempurna. Allah meluluskan tirakat Nabi Ibrahim dan Sayyidah Hajar. Tergantilah penyembelihan putra yang ia cintai itu dengan seekor domba. Puji syukur kepada Allah dengan segala takdir-Nya.
Ujian dengan anak memang berat, sedangkan ghirah manusia untuk memiliki banyak anak terkadang tidak kita imbangi dengan kesiapan finansial, mental, dan spiritual (tirakat), sehingga melahirkan keturunan yang lemah. Padahal hal ini sangat dikecam oleh Allah:
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا
Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. (QS. An-Nisa’/4: 9)
Maka tak heran, di Indonesia sendiri fenomena fatherless menduduki peringkat ketiga di dunia. Ibrahim adalah parenting spiritual yang mengaplikasikan ketauhidan penuh dalam kehidupan sehari-hari.
Ridakan diri kita dengan segala perintah Allah, akan bahagia pula putra-putri kita dalam melaksanakan perintah Tuhannya. []