Mubadalah.id – Meski telah dua minggu berlalu, Iduladha masih lengket dalam ingatan. Bagaimana tidak! Selain kita bisa bermaaf-maafan, malam harinya kita pasti akan menyantap renyah “sate” daging. Nyate bareng inilah yang menjadi “seru” karena menjadi momen untuk berkumpul bersama.
Pun, masakan rendang dan gulai daging di rumah-rumah juga berlimpah. Iya sangat seru nan asyik. Bahkan, ada yang malah bosan memakan daging karena saking banyaknya jatah yang diterima.
Syahdan, berbagai sebutan yang umat Islam berikan untuk menyebut Iduladha. Di Iran Iduladha disebut dengan Idul Qurban. Sedangkan di Bahrain Iduladha disebut dengan Idul Hujjaj. Sementara di Maroko, Tunisia, Al-Jazair, Libya, dan Iran Iduladha di sebut dengan Idul Kabir. Lalu di Indonesia Iduladha juga disebut dengan lebaran haji.
Mengapa kita sebut demikian? Karena pelaksanaan Iduladha terkait erat dengan momen pelaksanaan ibadah haji. Dan Puncak ibadah haji adalah wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Sementara itu, setiap menyebut kata Arafah, kita tidak bisa melupakan khutbah nabi pada Haji Wada’ (haji yang pertama Nabi sekaligus yang terakhir).
Dua Pusaka Nabi
Di Arafah khutbah Nabi menyampaikan sesuatu yang cukup monumental. Di awal khutbah nabi menyampaikan, “Wahai manusia! Dengarkanlah kata-kataku, karena aku tidak tahu jangan-jangan di hari ini dan di tempat ini adalah hari terakhirku berjumpa dengan kalian.”
Lalu nabi menyampaikan pidatonya, “Wahai umat manusia! Sesungguhnya darah-darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian, adalah suci sampai kalian berjumpa dengan Tuhan kalian, seperti sucinya hari ini, seperti sucinya bulan ini, seperti sucinya tempat ini. Maka siapa saja yang mendapatkan amanat, maka ia harus menjalankan amanat itu.”
Lalu nabi melanjutkan pidatonya, “Wahai umat manusia! Sesungguhnya Tuhan kalian satu, nenek moyang kalian satu, dan seluruh kalian berasal dari Adam. Nabi Adam tercipta dari tanah. Dan, yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling taqwa. Orang Arab dengan yang bukan Arab tidak lebih mulia satu dari yang lain, yang berkulit gelap tidak lebih mulia dari yang berkulit terang. Karena yang menentukan kemuliaan kita di sisi Allah adalah ketakwaan kita.”
Lalu nabi melanjutkan pidatonya, “Wahai umat manusia! Takutlah kepada Allah menyangkut istri-istri kalian, dan berilah mereka nasehat yang baik. Sebab, mereka adalah mitra kalian yang tidak bisa berbuat apa-apa atas diri mereka, karena kalian telah mengambil mereka dengan amanat Allah, dan kalian menganggap halal kehormatan mereka dengan kalimat Allah Swt.”
Dan di akhir khutbah Nabi menyatakan, “Aku tinggalkan buat kalian dua pusaka yang kalau kalian berpegangan kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu al-Qur’anul Karim dan sunnah Rasulullah Saw.” Lalu nabi menyatakan, “Seluruh kita adalah bersaudara. Karena itu yang satu dari yang lain tidak boleh mengambil hak, kecuali dibenarkan oleh Allah Swt.”
Pentingnya Penegakan Hak Asasi Manusia
Melalui khutbah singkatnya ini nabi menegaskan beberapa hal. Pertama, adalah pentingnya penegakan hak asasi manusia, pertumpahan darah manusia, menodai kehormatan, dan merampas harta orang lain sangatlah tidak bisa kita benarkan dengan cara apapun.
Kedua, adalah kesetaraan umat manusia. Bahwa yang satu tidak lebih mulia dari yang lain, karena darah, asal-usul, suku, dan warna kulit seluruh manusia adalah setara dihadapan Allah. Karena hanya taqwalah yang membedakan di antara kalian. (Qs. Al-Hujarat [49]: 13).
Ketiga, adalah kezaliman harus kita tolak. Dalam hal ini, termasuk kezaliman pada diri sendiri dan kezaliman pada orang lain. Dan, saat itu kelompok yang paling rentan mengalami ketidakadilan adalah budak-budak.
Itu sebabnya, beberapa hari sebelum Rasulullah wafat, nabi menyampaikan, “Wahai umat manusia! Ingatlah Allah menyangkut agama dan amanat buat kalian. Ingatlah Allah menyangkut budak-budak yang dimiliki oleh kalian, berilah makan mereka seperti yang kamu makan, berilah pakaian mereka seperti pakaian yang kalian makan, dan jangan memberikan beban di luar kemampuan mereka. Karena budak-budak itu adalah sama dengan kalian (baik darah, daging, dan makhluk seperti kalian. Barang siapa yang berbuat zalim kepada mereka, aku kata nabi yang akan menjadi musuhnya, dan Allah menjadi hakimnya.”
Makna Jihad
Masih tentang kesetaraan dan hak asasi manusia. Kita tahu Nabi Ismail, telah Allah batalkan untuk disembelih. Dan, secara tidak langsung, pembatalan Nabi Ismail memberikan pemahaman bahwa, betapapun tingginya semangat kita di dalam beragama, maka sedikitpun tidak boleh mengorbankan nyawa-nyawa manusia (mereka punyak hak untuk hidup). Karena itu, sekiranya ada orang yang melakukan bom bunuh diri, maka itu bukanlah kategori jihad fisabilillah.
Jamal al-Banna, salah seorang pemikir Islam dari Mesir menyatakan, bahwa jihad hari ini bukan untuk mati di jalan Allah, melainkan untuk hidup di jalan Allah.
Begitupun juga dengan pendapat Zainudin al-Malibari, bahwa salah satu jihad itu adalah kita diperintahkan untuk mencegah terjadinya kemudharatan bagi orang-orang yang darahnya tidak boleh kita tumpahkan. Yaitu orang Islam, kafir dzimmi, kafir musta’man. Mereka semuanya tak boleh kita biarkan kelaparan dan telanjang tak berpakaian akibat kemiskinan yang mereka alami.
Lalu bagaimana cara mencegah kelaparan?
Rasulullah Saw. pada hari raya Iduladha selalu menyembelih dua ekor domba, satu untuk dirinya, dan kedua adalah untuk umat yang tidak mampu untuk berkorban. Sebagian dari kurban tersebut dikonsumsi oleh Nabi dan keluarganya. Selebihnya ia berikan semua untuk fakir dan miskin. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Al-Hajj: “Maka makanlah sebagian darinya dan sebagian lagi berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (Qs. Al-Hajj [22]: 28).
Meskipun sekarang budak-perbudakan sudah tidak ada, namun jumlah orang fakir dan miskin masih cukup banyak. Bahkan, ditambah lagi jutaan kaum difabel, baik difabel fisik maupun difabel mental yang membutuhkan perhatian kita.
Dari pada mempersempit pengertian jihad hanya berupa perang, mengapa kita tidak lebarkan pengertian jihad dengan memberantas kemiskinan dan memenuhi hak-hak kelompok kaum difabel atau disabilitas. Bahwa, kaum disabilitas adalah daging, darah, dan makhluk seperti kita yang mempunyai hak sama. Karena itu, kita tidak boleh bertindak diskriminatif kepada mereka.
Tanggung Jawab Pelayanan Negara
Suatu waktu, Rasulullah pernah Allah Swt tegur, karena bermuka masam ketika Abdullah Ibnu Umi Maktum yang disabilitas netra datang berkunjung. Namun, setelah peristiwa itu, setiap Abdullah Umi maktum datang kepada nabi, ia langsung berkata “Wahai orang yang karenanya aku telah diberi peringatan oleh Allah Swt.”
Begitupun juga, ketika menjabat sebagai kepala negara Umar Bin Khattab pernah mengkhawatirkan diri. Kata Sayyidina Umar, “Seandainya ada seekor unta mati sia-sia karena satu kebijakan, Saya takut nanti Allah akan meminta pertanggungjawabanku atas kematiannya.” “Dan jika kambing itu mati di pinggir sungai Ifrad, Saya takut Allah akan menghisap Umar sebab kematian anak kambing.”
Teguran Allah kepada Nabi dan kekhawatiran Umar bin Khattab, menunjukkan bahwa tanggung jawab negara cukup besar dalam hal memberikan pelayanan kepada warga negara, termasuk warga negara difabel. Maka, dengan adanya teguran itu pula, Nabi pernah menegaskan, bahwa pertolongan Allah Swt. dan karunianya akan datang karena adanya orang-orang lemah. Wallahu a’lam bisshawab. []