Mubadalah.id – Jika merujuk perspektif mubadalah, aktivitas seksual harus dilakukan secara timbal-balik oleh dan untuk kebaikan suami istri.
Persis seperti ilustrasi al-Qur’an, aktivitas seksual pasangan suami istri itu laksana pakaian. Suami pakaian istri dan istri pakaian suami (hunn libas lakum wa antum libas lahunn). (QS. al-Baqarah (2): 187).
Aktivitas seksual yang memaksa dan menyakitkan tidak akan mendatangkan pahala, malah bisa berdosa, karena paksaan dan kekerasan yang dilakukan.
Nabi Saw. telah menggambarkan aktivitas ini sebagai “sedekah”. Dan sedekah, kata al-Qur’an, harus mereka lakukan dengan cara yang baik dan menenteramkan.
Perkataan baik (qaul ma’ruf), dalam ajaran al-Qur’an, jauh lebih baik daripada sedekah yang menyakitkan. (QS. al-Baqarah (2): 262-263).
Jadi, kalau malam Jumat bisa jadi momentum ibadah seks pasangan suami istri yang pahalanya bisa beruntun dan menggunung, mengapa tidak. Syaratnya, harus saling menyenangkan, dan sama sekali tidak boleh dengan paksaan dan kekerasan.
Demikianlah pahala antara suami dan istri akan terus beruntun dan menggunung. Dan dalam aktivitas seksual, jika ia mendahului dengan senyuman, maka pahala senyuman ini terus akan tercatat bersamaan dengan pahala aktivitas-aktivitas berikutnya.
Termasuk seperti pujian, rayuan, perkataan baik, saling mencium, saling mengelus, atau memijat, dan seterusnya untuk saling memuaskan.
Setiap momen aktivitas ini, ada pahala-pahala kebaikan yang terus beruntun dan menggunung tanpa menghapus pahala sebelumnya. Karena kebaikan yang satu mendorong kebaikan berikutnya, dan begitu seterusnya. []