Mubadalah.id – Beberapa tahun lalu Mahkamah Konstitusi sempat menarik perhatian publik dengan memutuskan asal-usul anak, bahwa selain memiliki hubungan perdata dengan ibunya, anak luar kawin juga memiliki hubungan perdata dengan ayahnya.
Beberapa pihak menilai putusan tersebut merupakan suatu bentuk legalisasi perzinahan. Karena dianggap menghapus perbedaan antara anak sah dengan anak luar kawin. Namun, putusan ini menjadi penting karena sebelumnya Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa anak luar kawin hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya.
Burgerlijk Wetboek atau yang lebih kita kenal sebagai KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) sejatinya telah mengatur timbulnya hubungan perdata antara seorang anak luar kawin (Natuurlijke kinderen). Yakni dengan bapak biologisnya melalui pengakuan anak (vide 280 KUHPerdata).
Menurut aturan peninggalan Belanda ini, anak luar kawin berhak untuk mewarisi harta peninggalan orang tuanya. Yakni sebesar sepertiga dari bagian yang seharusnya Ia dapat, jika seandainya Ia merupakan anak sah. Artinya jauh sebelum dinyatakan dalam putusan MK, KUHPerdata telah mengakui adanya hubungan keperdataan antara ayah biologis dengan anak luar kawin.
Dalam konteks pemberian hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan bapak biologisnya, KUHPerdata sebagai hukum yang berlaku bagi golongan Eropa dan timur asing nampak lebih akomodatif bila dibandingkan dengan Kompilasi Hukum Islam.
Dalam aturan yang saya sebut terakhir, hanya terdapat ketentuan bahwa anak luar kawin memiliki hubungan nasab dan hubungan waris dengan ibu, dan keluarga dari pihak ibunya (vide Pasal 186 KHI).
Kepastian Hukum
Meski telah ada aturan dalam KUHPerdata, namun harus kita akui putusan ini kian menegaskan terakuinya hubungan keperdataan antara anak luar kawin. Yakni dengan bapak biologisnya dalam sistem hukum perkawinan di Indonesia.
Artinya, hukum telah mengupayakan nasab terbaik atas asal-usul anak. Sehingga gugatan kepada bapak biologis untuk memiliki hubungan keperdataan dengan anaknya tidak lagi hanya dapat diajukan oleh mereka yang tunduk pada KUHPerdata. Melainkan juga bagi seluruh golongan masyarakat termasuk umat Islam di dalamnya.
Sayang, sebagaimana telah saya singgung sebelumnya, Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum perdata Islam di Indonesia belum memberikan pengaturan yang rinci mengenai hubungan anak luar kawin dan bapak biologisnya.
Perlu kita ingat bahwa pelaksanaan perkawinan di Indonesia erat kaitannya dengan aspek agama dan kepercayaan. Perkawinan bukan sekedar perjanjian pada umumnya melainkan berdasarkan pada ketuhanan yang maha esa. Selain keabsahannya bergantung pada norma-norma agama, banyak aspek lain dalam perkawinan yang juga kita gantungkan pada ketentuan agama.
Seperti ketentuan perjanjian perkawinan dan harta bersama dalam perkawinan. Sehingga, tidak salah jika norma agama tidak jarang kita gunakan untuk menutupi kekosongan hukum perdata di bidang perkawinan. Secara khusus, sejak dahulu hukum Islam memang telah menjadi sumber hukum perdata di bidang perkawinan bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam.
Berdasarkan hal tersebut tidak salah jika batas hubungan keperdataan antara anak luar kawin dan bapak biologisnya yang beragama Islam merujuk pada ketentuan hukum Islam. MUI melalui Fatwa No 11 Tahun 2012 menyatakan bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris dan nafkah dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya.
Menurut MUI Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir kepada laki-laki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak. Ta’zir tersebut berupa kewajiban untuk mencukupi kebutuhan hidup anak. Selain itu, memberikan harta kepada anak saat si laki-laki meninggal dunia. Di mana pemberiannya bisa ia lakukan melalui wasiat wajibah.
Membuktikan Asal Usul Anak
Pada prinsipnya Undang-undang Perkawinan mengenal dua kategori anak. Yaitu anak sah dan anak luar kawin. Seorang anak kita kategorikan sebagai anak sah bila terlahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sehingga untuk membuktikan asal usul anak, dan kedudukan anak sah, selain harus membuktikan sahnya perkawinan. Di mana harus kita buktikan pula bahwa anak tersebut lahir di dalam, atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Sementara itu untuk membuktikan hubungan antara anak luar kawin dengan bapak biologisnya, putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan agar “dibuktikan berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum“. Sehingga idealnya bukti yang kita ajukan ke depan sidang merupakan hasil pemeriksaan medis atas keterhubungan biologis antara anak dan bapak biologisnya, atau yang jamak kita kenal sebagai tes paternitas DNA.
Sayangnya secara praktikal tes ini sulit untuk kita lakukan karena biaya yang cukup besar dan keengganan dari tergugat (bapak biologis) untuk terambil sampelnya. Oleh karenanya jika tes paternitas DNA tidak mungkin untuk kita lakukan-utamanya karena keengganan tergugat-maka hakim akan mempertimbangkan bukti-bukti lainnya.
Seperti bukti bahwa kehamilan dan kelahiran terjadi pada saat Penggugat dan Tergugat hidup seumah/tinggal bersama. Sebagaimana yang menjadi pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1055 K/Pdt/2023.
Kepentingan Terbaik Bagi Anak
Meski anak luar kawin kini telah ada penegasan memiliki hubungan keperdataan dengan bapak biologisnya. Namun bukan berarti setiap anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatatkan lantas harus kita tetapkan sebagai anak luar kawin. Dengan mengingat eratnya kaitan antara norma agama dan perkawinan di Indonesia, serta dengan berdasarkan pada asas kepentingan terbaik bagi anak.
Maka perkawinan-perkawinan yang tidak memenuhi ketentuan administratif negara sebaiknya dapat kita anggap sah sepanjang perkawinan tersebut mereka laksanakan sejalan dengan ketentuan agama. Sehingga anak yang lahir dalam atau akibat dari perkawinan tersebut dapat kita anggap sebagai anak sah.
Lebih dari itu, negara dapat mengakomodir konsepsi anak sah yang terakui dalam fikih Islam. Seperti anak yang lahir dalam atau akibat pernikahan fasid atau yang lahir karena wath’i syubhat (Iman, Djabir, and Joni 2022). Karena bagaimanapun juga anak sah memiliki hak yang lebih besar dan luas bila kita bandingkan dengan anak luar kawin.
Negara perlu menghargai institusi perkawinan meski mereka lakukan tanpa memenuhi ketentuan administratif dari negara. Karena meski tidak tercatatkan, namun perkawinan tetap berbeda dengan perzinahan. Hukuman terhadap pelaku perkawinan yang tidak tercatat pada dasarnya merupakan hukuman atas ketidakpatuhan kepada negara dan bukan hukuman kepada pelaku zina. Meski tidak sedikit perzinahan yang berlindung di balik nikah tidak tercatat.
Pada prinsipnya anak tidak turut serta menentukan siapa orang tua yang akan melahirkannya. Maka tidak adil kiranya jika anak tersebut kita anggap sebagai anak yang tidak sah. Sementara terdapat dalil-dalil agama yang kuat menyatakan bahwa anak tersebut adalah anak sah.
Bagi orang tua yang melanggar ketentuan-ketentuan negara mengenai perkawinan, maka keduanya dapat kita hukum secara pidana atau dengan tidak mengesahkan perkawinan keduanya. Sehingga keduanya tidak bisa meminta perlindungan negara untuk menuntut nafkah, harta bersama hingga waris dari pasangannya.
Negara cukup menghukum kedua orang tua tanpa perlu menghukum anak dengan menetapkannya sebagai anak luar kawin. Padahal di depan ketentuan agama, anak tersebut dapat kita nilai sebagai anak yang sah. Dengan berdasar pada asas kepentingan terbaik bagi anak, Negara seyogyanya mengedepankan dalil-dalil agama yang memberikan manfaat terbesar bagi anak. []