Mubadalah.id – Dalam perspektif mubadalah, ayat dan Hadis tentang fitnah perempuan sama sekali tidak bisa dijadikan dasar untuk merendahkan dan mendiskreditkan mereka. Tidak bisa juga untuk memuliakan laki-laki dan melecehkan perempuan.
Potensi fitnah pada perempuan, yang ada pada ayat dan Hadis, tidak membuat mereka lebih rendah dari laki-laki. Tidak juga membuat mereka terhambat dari akses publik untuk kebaikan dan kemaslahatan. Hal ini setidaknya didasarkan pada tiga alasan fundamental.
Pertama, prinsip meritokrasi Islam. Kemulian harus kita dasarkan pada keimanan dan amal perbuatan. Sebuah potensi yang ada pada seseorang. Jika tidak kita barengi tindakan nyata, maka tidak memiliki nilai apa pun.
Perempuan dan laki-laki, keduanya memiliki potensi ini, seperti akal budi, untuk menempa diri menjadi manusia yang beriman, berakhlak luhur, dan memberi manfaat sebanyak mungkin dalam kehidupan.
Di sisi lain, juga ada potensi fitnah, yang bisa saja ia gunakan untuk menjerumuskan orang lain.
Kedua, bahwa potensi fitnah itu juga ada pada laki-laki yang tentu saja tidak membuat mereka lebih jahat dari perempuan.
Kalau kita beriman dengan dua pondasi ini, segala cara pandang diskriminatif terhadap perempuan, dengan basis asumsi fitnah, seyogianya segera dihentikan.
Gantinya, kita perlu menumbuhkan cara pandang positif terhadap kemanusiaan perempuan, sebagaimana juga kepada laki-laki.
Cara pandang positif ini menjadi modal untuk memperbesar basis kesalingan dan kerja sama dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik, di ranah keluarga maupun sosial.
Ketiga, ranah publik maupun domestik adalah arena bagi laki-laki dan perempuan, untuk mempraktikkan amal kebaikan sebagai hamba dan khalifah Allah Swt.
Karena itu, kita tidak perlu menghambat partisipasi aktif perempuan di ranah publik secara sewenang-wenang, dengan alasan mereka adalah fitnah.
Sebagaimana kita tidak melakukannya pada laki-laki, sekalipun kita tahu, fitnah mereka juga besar. []