Mubadalah.id – Kekerasan seksual menjadi ancaman bagi suatu negara, terutama bagi setiap individu. Korban kekerasan seksual akan mengalami gangguan mental, depresi sangat hebat bahkan berujung bunuh diri.
Kekerasan seksual berarti segala tindakan pelecehan seksual terhadap seseorang tanpa ada persetujuan dari pihak terkait. Mengutip data dari KemenPPPA, terdapat 11.686 kasus kekerasan seksual yang menimpa lelaki dan perempuan di tahun 2022.
Stigma Kaum Patriarki terhadap Lelaki
Anehnya, lelaki selalu identik dengan pelaku kekerasan seksual dan menjadi stigma yang telah melekat. Keberadaan budaya patriarki menempatkan laki-laki sebagai pelaku dan agresor kekerasan seksual. Lelaki korban kekerasan seksual sering terabaikan dan kurang perhatian.
Hal tersebut tentu merupakan bentuk ketidakadilan gender yang sangat merugikan lelaki. Bestha Inastan seorang peneliti IJRS mengatakan bahwa kekerasan seksual yang menimpa laki-laki sangatlah banyak dan jauh dari perkiraan.
Misalnya kasus pada April 2021, seorang laki-laki berusia 16 tahun yang menjadi korban perkosaan oleh perempuan berusia 28 tahun di Probolinggo, Jawa Timur. Menyusul dengan pengakuan pegawai KPI yang menjadi korban perundungan dan kekerasan seksual. Terbaru kasus yang menimpa DPRian, artis K-pop yang menjadi korban sexualizing oleh fansnya.
Kekerasan seksual terhadap laki-laki tidak hanya kurang terlaporkan, melainkan juga cenderung teracuhkan dan tidak tertangani dengan baik. Ditambah anggapan bahwa kaum lelaki berpeluang lebih kecil mengalami kekerasan seksual. Menurut KemenPPA pada 2017, anak laki-laki berusia 13-17 tahun dua kali lebih banyak mengalami kekerasan seksual daripada anak perempuan di umur yang sama.
Kisah Nabi Yusuf dan Rayuan Zulaikha
Kisah Yusuf dan zulaikha menjadi bentuk konkrit kasus kekerasan seksual yang termaktub dalam firman al-Qur’an. Sebagaimana dalam QS. Yusuf ayat 23;
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِيْ هُوَ فِيْ بَيْتِهَا عَنْ نَّفْسِهٖ وَغَلَّقَتِ الْاَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ ۗقَالَ مَعَاذَ اللّٰهِ اِنَّهٗ رَبِّيْٓ اَحْسَنَ مَثْوَايَۗ اِنَّهٗ لَا يُفْلِحُ الظّٰلِمُوْنَ
“Perempuan, yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya, menggodanya. Dia menutup rapat semua pintu, lalu berkata, “Marilah mendekat kepadaku.” Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah. Sesungguhnya dia (suamimu) adalah tuanku. Dia telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung.”
Dengan tipu dayanya, Permaisuri raja berusaha menggoda Nabi Yusuf dengan segala kecantikan dan daya tariknya. Permaisuri menutup pintu-pintu kamarnya dan merayu Nabi Yusuf yang berada dalam puncak keremajaannya.
Maka, dengan kesabarannya, Yusuf mampu menghadapi godaan majikannya. Dalam kondisi demikian, secara rasional keinginan seksual anak remaja tentu lebih dominan. Apalagi Yusuf seorang pemuda yang belum menikah dan digoda wanita cantik lagi berkuasa. Akan tetapi dengan kesabaran dan keimanan yang kokoh mampu menghalau hasrat yang dimiliki.
Qiraah Mubadalah dan Keadilan Gender
Kasus kekerasan seksual yang menimpa Nabi Yusuf menjadi bukti, bahwa korban kekerasan seksual tidak terbatas dengan gender. Laki-laki maupun perempuan dapat menjadi korban maupun pelaku dari kekerasan seksual. Baik lelaki maupun perempuan masing-masing memiliki potensi ketertarikan satu sama lain. Hal ini sebagaimana termaktub dalam QS. Ali Imran ayat 14;
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ
“Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.”
Dengan pembacaan Mubadalah, manusia tercipta untuk mencintai lawan jenis, baik perempuan ataupun lelaki. Keduanya merupakan sumber pesona bagi satu sama lain yang mampu menggoda dan menggiurkan. Baik lelaki maupun wanita masing-masing harus selalu waspada akan godaan lawan jenis.
Budaya patriarki menjadikan lelaki identik sebagai pelaku seksual. Selain itu, budaya patriarki terkadang juga malah merugikan dan menyudutkan lelaki. Hal ini sebagaimana ungkapan Masrohatun, pegiat KUPI Corner UIN Walisongo Semarang.
Stigma bahwa lelaki identik dengan pelaku kekerasan seksual adalah anggapan yang tidak ramah gender. Stigma tersebut mampu menimbulkan ketidakadilan yang berimbas pada maraknya kekerasan seksual terutama terhadap lelaki. Faktor utama penyebab kekerasan seksual tak lain adalah kurangnya keimanan dan rendahnya kualitas beragama seseorang. Bukan dari faktor gender. []