Mubadalah.id – Sebelum menulis ini, saya harus berkali-kali menarik napas dalam-dalam. sembari berpikir bagaimana mungkin seorang ayah kandung tega memperkosa anaknya sendiri hingga puluhan bahkan ratusan kali selama bertahun-tahun.
Apa mungkin harapan untuk mengentaskan atau minimal meminimalisir angka kekerasan seksual bisa terjadi? Atau ini hanya harapan semu, sama seperti berharap apakah korupsi bisa berhentikan atau akankah kejahatan musnah dari muka bumi?.
Kasus terbaru yang terjadi di Tangerang mengenai pemerkosaan oleh ayah kandung terhadap anaknya yang dilakukan sejak tahun 2014 hingga 2023 dan baru terungkap. Kasus seperti ini memang hanya segelintir dari sekian banyak kasus yang kekerasan seksual yang terjadi dan terungkap. Bahkan mungkin juga banyak kasus serupa yang tidak terungkap hingga sekarang.
Kekerasan seksual menjadi topik yang tidak pernah basi dalam pembahasan. Pasalnya kejahatan ini menjadi kejahatan yang terus terjadi dengan pola berulang. Masalah yang timbul akibat kekerasan seksual tidak hanya berdampak pada fisik dan psikis korban.
Tetapi juga mempengaruhi cara pandang sosial terhadap korban. Meski kenyataannya pemerintah melalui undang-undang TPKS berusaha menegakkan keadilan yang berpihak terhadap korban. Tetapi kebijakan ini jelas belum mampu menjangkau hingga level kesadaran sosial dalam memandang korban kekerasan seksual
Anggapan seks sebagai hal yang tabu
Selama ini persoalan seks menjadi hal yang cukup tabu dalam pandangan masyarakat sosial. Sehingga kejahatan yang mengarah pada seks seperti pemerkosaan akan melahirkan stigma-stigma negatif terhadap para korban. Belum lagi cara pandang patriarki yang masih lekat pada sebagian masyarakat yang menganggap perempuan kelas kedua dan objek seksual.
Tidak sedikit perempuan yang menjadi korban kekerasan justru malah di salahkan sehingga menjadi korban kekerasan sosial (diskriminasi). Inilah pemicu mengapa hingga sekarang sedikit korban yang mau bersuara menyampaikan kasus yang menimpanya, walaupun sudah ada sistem hukum yang berpihak terhadap korban.
Meskipun undang-undang TPKS telah resmi menjadi payung hukum untuk mencegah tindak pidana kekerasan seksual dan melindungi korban kekerasan seksual. Realitanya tindak pidana kekerasan seksual masih terus terjadi. Mengutip catahu dari komnas perempuan 2023, laporan data kekerasan seksual mengalami peningkatan sepanjang tahun 2022 baik dari pengaduan Komnas Perempuan maupun Lembaga layanan.
Data dari KemenPPPA selama Januari hingga 29 Mei 2023 total ada 9645 kasus kekerasan yang terjadi. Kekerasan seksual menjadi jenis kekerasan paling dominan dari kasus kekerasan lainnya mencapai 4280 kasus kekerasan seksual. Artinya selama satu semester kasus kekerasan seksual yang terungkap sebesar 4280 kasus, dan bagaimana dengan kasus, yang mungkin hingga saat ini tidak terungkap?
Menelisik dari persoalan ini, artinya membangun sistem hukum yang berpihak terhadap korban saja belum cukup. Maka perlu adanya upaya masif untuk membangun ekosistem lingkungan yang ramah gender dan berpihak terhadap korban.
Dan yang terpenting bagaimana membangun sensitivitas gender dalam semua aspek kehidupan. Dengan kata lain, melibatkan semua sistem di pemerintahan hingga masyarakat untuk terlibat aktif dalam upaya mencegah kekerasan seksual.
Upaya mencegah kekerasan seksual
Memberantas tindak kekerasan seksual memang bukan hal yang mudah, tapi bukan berarti tidak ada jalan untuk menghadapi tindak kejahatan tersebut. Langkah masif dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual dapat kita mulai dengan mendorong kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang berbasis pada keadilan gender.
Upaya ini dapat di mulai dengan meningkatkan kapasitas pemerintah daerah melalui pemberdayaan agar memiliki sensitivitas gender dan berperspektif keadilan gender. Artinya baik laki-laki maupun perempuan yang menjadi penyelenggara pemerintahan harus di dorong untuk memiliki kapasitas pemahaman gender yang baik.
Jika pemerintah setempat memiliki sensitivitas gender yang baik, maka akan lebih mudah untuk mendorong ekosistem sosial yang berperspektif gender. Sehingga dapat mewujudkan ruang dan lingkungan yang ramah gender dan berpihak terhadap korban penyintas kekerasan seksual.
Namun memberdayakan pemerintah lokal untuk mewujudkan keadilan gender saja tentunya tidak cukup jika tidak berbarengan dengan upaya membangun kesadaran sosial masyarakat agar lebih peka terhadap persoalan gender. Dengan kata lain mendorong pemerintah dan masyarakat untuk terlibat aktif dalam mengawal dan mencegah terjadinya kekerasan seksual.
Kampanye masif
Pencegahan dan penanganan kekerasan seksual akan lebih mudah dilakukan jika budaya sosial sudah memiliki kesadaran atau sensitivitas gender. Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan dalam membangun lingkungan yang berkeadilan gender adalah, melaksanakan kampanye masif.
Selain itu perlunya sosialisasi dan edukasi rutin kepada semua pihak mengenai upaya pencegahan dan langkah advokasi jika terjadi kekerasan seksual. Dengan memanfaatkan peran teknologi sebagai sarana komunikasi dan sosialisasi, memberi pemahaman kepada masyarakat terhadap kejahatan seksual dengan cara pandang yang lebih memihak terhadap para korban. Sehingga para korban lebih percaya diri untuk mengangkat kasusnya, dan mengubah cara pandang terhadap penyintas kekerasan seksual.
Pada dasarnya kejahatan akan terus terjadi, tetapi yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana meminimalisir dan mencegah terjadinya peluang kekerasan agar tidak terjadi. Yakni dengan membentuk regulasi-regulasi yang menutup kemungkinan terjadinya kekerasan seksual dan menanamkan kesadaran akan pentingnya sensitivitas maupun keadilan gender.
Di mana hal di atas merupakan gerbang utama untuk merdeka dari kekerasan seksual. Selain itu, membuka akses mewujudkan lingkungan yang aman untuk umat manusia. Sehingga kerja kemanusiaan ini tidak hanya menjadi tugas pemerintah saja melainkan tugas kita bersama baik sebagai masyarakat maupun kelompok sosial. []