Mubadalah.id – Phare fankihu ma thaba lakum min an-nisa matsna wa tsulatsa wa ruba’ dalam al-Qur’an surat an-Nisa sangat dikenal banyak kalangan, terutama peminat poligami.
Phrase ini berbicara tentang kebolehan seorang lakilaki menikahi dua sampai empat perempuan. Ini adalah satu-satunya tempat dalam al-Qur’an yang memberikan kewenangan berpoligami.
Ia hanya disebutkan satu kali, di antara lebih dari enam ribuan ayat al-Qur’an yang lain. Itu pun al-Qur’an sebut dalam penggalan sebuah ayat yang membicarakan persoalan lain, bukan poligami.
Sekalipun demikian, ayat itu menjadi primadona ketika seseorang berbicara poligami. Ayat ini diusung ke mana-mana dengan penuh antusiasme untuk menyuarakan bahwa poligami adalah syari’at Allah Swt dan merupakan salah satu tuntunan al-Qur’an.
Bahkan secara serampangan mereka simpulkan bahwa yang tidak menerima poligami berarti menolak syari’at Allah, atau mereka yang enggan poligami sama dengan tidak patuh terhadap tuntunan al-Qur’an.
Lebih tragis lagi, mereka menyatakan bahwa al-Qur’an, dengan mendasarkan pada penggalan ayat di atas, memerintahkan perkawinan poligami daripada perkawinan monogami.
Pandangan Ulama Kontemporer
Tak terkecuali beberapa ulama kontemporer di Indonesia. Di antara mereka, ada yang berani memilih keutamaan perkawinan poligami daripada monogami.
Pilihan ini, di samping berdasarkan pada ayat di atas, juga pada beberapa dasar hukum lain, seperti teks hadits, pernyataan ulama klasik, argumentasi ketidak-mampuan diri dan kekhawatiran terhadap zina.
Bagi Ustadz Muhammad Thalib misalnya, seorang ulama dan penulis produktif misalnya, bahwa seorang muslim yang mampu sebaiknya melakukan poligami.
Baginya, poligami merupakan ciri kepribadian seorang muslim yang bertanggung jawab dalam mengelola urusan keluarga.
Seorang lelaki muslim yang mampu mengendalikan beberapa orang istri, lebih baik daripada yang hanya mampu hidup dengan beristerikan satu orang.
Ini hampir sama persis dengan pemahaman keagamaan yang berkembang di beberapa negara Arab Semenanjung, di mana poligami menjadi salah satu ukuran keberagamaan seseorang.
Semestinya, persoalan poligami tidak hanya kita pahami dari satu penggalan ayat saja. Karena penafsiran al-Qur’an memerlukan syarat-syarat dan kaedah-kaedahnya tersendiri. Yang jika kita gunakan tidak akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang simplistis tentang poligami. []