Mubadalah.id – Konflik Seruyan pecah saat coretan rajah di dada dan perut Gijik (35) tercoreng dengan darah yang mengucur akibat timah panas aparat yang menembus badannya. Ia tertembak pada 7 Oktober 2023, sehingga praktis memasukkan Seruyan, Kalimantan Tengah dalam daftar daerah yang menjadi saksi bisu kebrutalan aparat setelah Rempang, Batam.
Konflik bermula ketika sejumlah warga Desa Bangkal-Kabupaten Seruyan menuntut hak atas kebun plasma sawit kepada PT. Hamparan Massawit Bangun Persada (HMBP). Aksi warga ini berlangsung sejak 16 September 2023 dengan menduduki area luar Hak Guna Usaha (HGU). Rupanya aksi warga ini justru mendapat guyuran gas air mata dari aparat yang berjaga. Puncaknya, pada 7 Oktober 2023 satu warga meninggal dan beberapa lainnya luka-luka.
Hak Warga Atas Plasma Sawit
Plasma atau kebun plasma adalah wilayah perkebunan yang wajib dibangun oleh perusahaan perkebunan inti (PT) yang menanam tanaman agraria seperti sawit. Aksi warga Desa Bangkal-Kabupaten Seruyan sebenarnya hanyalah menagih apa yang telah menjadi hak mereka. Wilayah plasma sejumlah 20% tak kunjung diberikan oleh PT HMBP.
Aturan mengenai plasma sawit ini terdapat pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian.
“Bahwa setiap perusahaan perkebunan yang mendapat izin untuk budidaya wajib membangun kebun masyarakat (plasma) seluas 20 persen dari luas lahan. Jika selama tiga tahun tidak melaksanakannya akan dicabut perizinannya”
Penggalan akhir pada pasal ini seperti menjanjikan seriusnya pemerintah menggarap para pengusaha sawit. Namun, catatan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan hasil yang berbeda. Selama rentang waktu 2015-2022 (dua periode pemerintahan Jokowi) tercatat 69 orang tewas terbunuh di area konflik agraria.
Rentetan konflik agraria yang tak berkesudahan menunjukkan betapa pemerintah tidak pernah belajar dari konflik yang telah lalu. Resolusi konflik menggunakan represifitas aparat sebagai beking perusahaan alih-alih penggunaan sikap netral justru menunjukkan keberpihakan negara yang timpang.
Aparat Pengayom Investor
Konflik Seruyan seakan mempertontonkan pada kita semua bahwa sebutan aparat sebagai pengayom masyarakat di era ini terasa sangat berlebihan. Mungkin yang lebih cocok bagi aparat adalah sebutan sebagai pengayom investor.
Sebutan ini secara tekstual terkesan jahat dan sangat tidak sesuai dengan visi-misi salah satu institusi keamanan negara kita. Namun jika melihat kenyataan di lapangan, tentu penyematan gelar ini sah-sah saja. Yang paling dekat saja, setelah kejadian Rempang, kita sampai pada momen setahun tepat tragedi Kanjuruhan dan tak berselang lama muncul konflik Seruyan. Sudah seperti skenario film yang ciamik, lugas dan tepat waktu.
Mungkin beberapa dari kita ada yang menganggap rentetan peristiwa ini by design saja atau kesengajaan pihak tertentu untuk kepentingan praktis. Atau memang sebuah kebetulan yang paripurna. Semua anggapan dan dugaan ini sangat rentan terpatahkan dengan pernyataan para petinggi negara kita, yang tak jarang secara tersirat mengiyakan posisi aparat sebagai pengayom investor.
Sebut saja pernyataan yang terucap dari Panglima TNI Laksamana Yudo Margono ketika pengarahan atas demonstrasi Rempang,
“Piting saja !”
Tentu ucapan ini tidak bisa kita maknai secara serampangan. Ibarat dalam hadis, kita harus tau asbabul wurudnya. Sayangnya panglima bukanlah Rasulullah yang setiap tutur katanya harus dimaknai secara kontekstual.
Dalam konflik Seruyan, arahan Laksamana Yudo Margono akan lebih mudah kita fahami dengan melihat video yang beredar di internet. Di akun instagram @walhi.nasional terdapat sebuah video pendek berisi teriakan aparat,
“Bidik kepalanya, Bidik!”
Dua perkataan ini sama-sama mengarah untuk membela salah satu pihak, yakni para investor, para pemilik perusahaan. Jika cocoklogi di atas masih kurang kuat, maka bukti pamungkas datang dari mandat pak Jokowi kepada Kapolri, Listyo Sigit Prabowo untuk mencopot kapolda yang tidak cakap mengawal investasi di daerah.
Tanpa perlu berfikir mendalam, mandat pak Jokowi memberi pemahaman, bahwa tugas utama polisi adalah mengayomi inevestor.
Perintah Penjagaan Lingkungan dalam Maqashid Syariah
Perlu kita ingat bersama bahwa kehidupan di pedalaman Kalimantan sangat kental dengan kehidupan adat, sama dengan apa yang terjadi di Rempang.
Masyarakat adat yang telah lebih dulu menempati wilayah sebelum para investor datang, telah menerapkan kehidupan yang selaras dengan alam. Mengambil tanpa mengeksploitasi dan bermutualisme dengan alam adalah keseharian mereka.
Tentu sangat berbanding terbalik dengan tujuan perusahaan milik para investor. Alih-alih memenuhi 20% wilayah wajib, mereka hanya memikirkan bagaimana cara mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.
Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya, Ri’ayatul Bii’ah Fi Syariatil Islam bahkan menegaskan bahwa merusak lingkungan sama dengan mencederai Maqashid Syariah (tujuan-tujuan syariat),
افساد البيئةاضاعةلمقاصدالشريعة
5 rumusan Maqashid Syariah meliputi hifdzuddin (menjaga agama), hifdzunnafs (menjaga jiwa), hifdzul-aql (menjaga akal), dan hifdzunnasl (menjaga keturunan) tidak bisa terlaksana tanpa adanya hifdzul bii’ah (penjagaan terhadap lingkungan).
Dalam konteks konflik Seruyan, jika pemerintah merestui perusahaan sawit dan tidak memberi tempat masyarakat adat untuk hidup dan menjaga alam, secara terang-terangan telah terjadi kesengajaan menyeleweng dari maqashid syariah. Selanjutnya, bukan tidak mungkin alam semakin rusak dan aspek-aspek maqashid syariah tidak bisa terwujud. Efek jangka panjang kerusakan alam ini lantas akan berdampak pada generasi selanjutnya.
Sebagai umara’ yang memegang tampuk kekuasaan di negeri ini sudah sepatutnya pemerintah tidak mengambil keputusan yang hanya bertumpu pada satu aspek saja (misal ekonomi atau investasi). Pemerintah perlu berfikir komprehensif atas efek jangka panjang sebuah keputusan yang menyangkut lingkungan.
Krisis iklim (climate crisis) yang sudah di depan mata, tidak seharusnya dianggap remeh dengan terus memberi izin penggantian hutan menjadi perkebunan sawit-yang sama saja merestui perampasan hak masyarakat lokal. []