Mubadalah.id – Suatu ketika seorang perempuan tetiba gedor-gedor pintu Wa, saya buka jendela notifikasi dengan seksama, ternyata terdapat sebuah pertanyaan sederhana, tapi tidak juga sederhana dalam menjawabnya. Kalau kata orang-orang, “tidak ada yang salah dalam bertanya, justru yang banyak salah itu yang menjawab”.
Apalagi sejak saya berjibaku dalam dunia filsafat yang acapkali lebih banyak menyuguhkan pertanyaan demi pertanyaan besar daripada jawabannya. Sehingga memunculkan persepsi bahwa memicu tanya berarti mencari jawaban sekaligus. Itulah mengapa tradisi filsafat tersohor dengan pertanyaan-pertanyan yang menggoncang.
Hal ini mengingatkan saya kepada mendiang Sokrates yang dikenal sebagai filsuf besar dan menjadi guru dari hampir semua aliran filsafat. Dia pun mengajak dialog para tokoh yang terkenal pintar melalui pertanyaan-pertanyaannya, tapi ternyata tak sempat terpikirkan lawan debatnya, sehingga mereka tak kuasa juga menjawabnya.
Momen perempuan yang bertanya itu sedikit banyak mempengaruhi pola pikir saya. Apabila terdapat seseorang yang bertanya mengenai apapun, paling tidak saya menghela nafas sejenak sembari ngebatin, “apa benar saya bisa menjawab itu? Saya khawatir seperti kaum sofis yang menganggap dirinya pintar, ketika Sokrates menjejalinya dengan pertanyaan ternyata tidak mengetahui apapun.”
Pertanyaan Sederhana
Kira-kira begini pertanyaannya, “Mas, mentorin saya biar ambisius dan konsisten belajar tanpa mikir fafifu dong!”
Pertanyaan tersebut memang nampak sederhana, tapi membius sekaligus. Pertanyaan itu secara impilisit seolah menabalkan diri sebagai orang yang telah ambis dan konsisten dalam belajar. Padahal nggak juga?
Masalahnya yang bertanya adalah orang yang menurut kacamata saya pribadi adalah orang yang juga pembelajar. Terlepas dari itu, pertanyaan ini tetap penting untuk kita dedah dengan seksama, tentu saja jawabannya jauh lebih penting.
Tanpa menunggu perintah saya menuliskan respon begini;
“Duh gimana ya, pasang-surut belajar sepertinya memang siklus manusiawi yang pasti ada. Hanya saja yang saya tanamkan adalah belajar merupakan salah satu bentuk self-love, yang pasti memberikan dampak manfaat, khususnya pada diri sendiri, orang-orang sekitar, syukur-syukur untuk ruang lingkup yang lebih luas. Kalau ditinjau dari aspek teologisnya, saya belajar ya semata-mata untuk mengoptimalkan yang Allah SWT berikan berupa akal budi untuk berpikir dan kehendak untuk bertindak. Kalau bahasa tasawufnya, jalan senyap menuju-Nya.”
Jawaban yang saya suguhkan itu sangat sederhana dan cukup singkat. Saya yakin jawaban itu juga tidak akan membuatnya puas.
Semoga saja dengan kehadiran tulisan ini, menjadi wasilah pengantar atas jawaban tingkat lanjut sebagaimana yang diinginkan. Mari sejenak menelusuri lorong-lorong di mana para ulama kita belajar dengan sungguh-sungguh, ambisius, dan tentu saja konsisten. Tiada lain hanya untuk meneguk samudera hikmah dan keteladanan yang telah mereka ajarkan. Daripada menggali dari saya yang nggak ambis-ambis amat.
Samudera Hikmah
Banyak sekali contoh-contoh dari ulama yang sangat semangat dan gigih dalam belajar. Sosok Imam Nawawi misalnya, ia pernah bercerita bahwa selama dua tahun, ia tidak pernah membaringkan punggungnya di lantai. Bilamana rasa kantuk datang menyelinap, beliau bersandar pada buku-buku sesaat, kemudian bangun kembali. Duduk sambil menelaah buku-buku, tertidur, dan segera bangun kembali untuk mendapat ilmu.
Oh iya ada satu lagi, seorang tokoh yang pernah saya geluti saat mengerjakan proyek tugas akhir, yakni Abu Bakr Ibn Muhammad Zakariyya al-Razi. Salah satu pemikir besar Islam, jangkauan keilmuannya membentang antara Barat dan Timur. Selain seorang filsuf, dia juga lebih terkenal sebagai seorang ahli kimia dan dokter yang selevel Ibn Sina.
Al-Razi dan Kegigihannya
Dalam karyanya yang bertajuk al-Thibb al-Ruhani, ia menuliskan begini;
فأما محبتى للعلم وحرصى واجتهادى فيه فمعلوم عند من صحبتى وشاهد ذلك منى أن لم أزل منذ حداثى وإلى وقتى هذا مكبا عليه حتى إنى متى اتفق لى كتاب لم أقرأو رجل لم ألقه لم التفت إلى شغلى بتة – ولوكان فى ذلك على عظيم ضرر – دون أن أتي على الكتاب وأعرف ما عند الرجل. وإنه بلغ من صبرى واجتهادى أنى كتبت بمثل خط التعاويذ فى عام واحد أكثر من عشرين ألف ورقة. وبقيت فى عمل الجامع الكبير خمس عشرة سنة أعمله الليل والنهار حتى ضعف بصرى وحدث علي فسخ فى عضل يدى يمنعاننى فى وقتى هذا عن القراءة والكتابة، وأنا على حالى لا أدعهما بمقدار جهدى وأستعين دائما بمن يقرأ ويكتب لى
Adapun kecintaan saya pada ilmu, kerakusan saya (haus ilmu), dan ketekunan saya untuk mencapainya, pada umumnya telah diketahui kerabat dan orang-orang yang menyaksikan saya secara langsung bahwa sejak muda hingga sekarang saya telah mengabdikan diri pada ilmu, sampai ketika saya menemukan sebuah kitab yang belum saya baca atau seseorang yang belum saya temui, saya tidak akan pernah mengalihkan pada kesibukan lainnya, sekalipun itu penting dan sangat mengusik –tanpa menyelesaikan dulu buku tersebut atau mempelajari segala apa yang diketahui orang tersebut. Dan sesungguhnya kesabaran dan ketekunan saya telah mencapai puncak setelah saya mampu menulis lebih dari 20.000 halaman dalam setahun. Dan saya menyisihkan waktu selama lima belas tahun untuk menulis al-Jami’ al-Kabir siang dan malam sampai-sampai pengelihatan saya menjadi lemah dan otot tangan saya menjadi sobek, sehingga saat ini saya tidak lagi dapat membaca dan menulis. Saat keadaan yang demikian, saya berupaya tidak meninggalkan keduanya (menulis dan membaca) dengan kemampuan terbaik saya, dan saya terus meminta tolong kepada orang lain agar membaca dan menulis untuk saya.
Sumber Keteladanan
Bayangkan loh, dalam setahun ia mampu menulis sebanyak 20.000 halaman. Bahkan di saat sakitnya pun ia tidak ingin meninggalkan aktivitas menulis dan membaca hanya demi memperoleh ilmu pengetahuan. Sarah Stroumsa juga memotret betapa kegigihan al-Razi tampak dari caranya dalam membaca. Stroumsa menyebut saat belajar, al-Razi meletakkan lentera pada tembok dan menyandarkan buku tersebut pada tembok sambil lalu memegang bukunya.
Dengan begitu, saat rasa kantuk menghampiri atau tertidur sejenak, buku itu akan terlepas dari tangannya sehingga membuatnya kembali terbangun, kemudian melanjutkan kembali bagian buku yang sedang dibaca dan melanjutkannya. (Sarah Stroumsa, 131). Sekali lagi, al-Razi langsung lanjut membaca ya bukan kembali tidur.
Jika mau membandingkan dengan beliau-beliau, diri ini hanya ibarat remahan rengginang. Namun poinnya bukan untuk membandingkan, tapi sejauh mana kita mampu memetik buah hikmah dan keteladan itu terpatri dalam sanubari, syukur-syukur terejawantah dalam tindak-tanduk kehidupan.
Toh belajar juga merupakan implementasi ayat pertama yang berbunyi Iqra’! (Bacalah!). Secara tidak langsung Allah SWT telah mewanti-wanti kita untuk iqra’ dan iqra’ sejak Alquran itu sendiri turun untuk pertama kalinya. Dengan belajar berarti telah mengerjakan perintahNya dan berupaya terus mendekat padaNya.
Sungguh besar pengabdian para ulama terdahulu pada ilmu, kedahsyatan ilmu yang mereka miliki, dan produk-produk keilmuannya yang luar biasa berupa buku-buku raksasa berpuluh-puluh jilid merupakan buah dari kegigihan dan keistiqamahan yang mereka lakukan.
Wallahu a’lam bi al-shawab. []