Mubadalah.id – Nama Imam al-Ghazali (w. 1111 M) pasti sangat akrab di telinga masyarakat pesantren. Ia adalah “hujjah al-Islam” (argumentator Islam) terbesar sepanjang masa.
Imam al-Ghazali juga pernah menjadi rektor Universitas Nizham al-Mulk dan penasihat perdana menteri. Ketika suatu saat ia melihat praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di istana, ia segera mengundurkan diri.
Kemudian, Imam al-Ghazali mengasingkan diri di masjid Damaskus dan menulis bukunya yang terkenal: Ihya’ Ulumuddin (Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama).
Ibnu Rusyd (w. 1198 M), kritikus utama Imam al-Ghazali, adalah juga seorang filsuf dan ahli hukum yang menonjol pada zamannya. Ia pernah menjadi hakim agung di Sevilla dan Cordoba. Ia juga pernah menjadi penasihat sekaligus dokter pribadi khalifah di istana Daulah Muwahhidin.
Abdul Wahid al-Marakisyi dalam bukunya, adz-Dzail wa at-Takmilah menceritakan kepribadian sang filsuf itu.
Kata Abdul Wahid al-Marakisyi, “Ibnu Rusyd dengan segala keberuntungan dan keleluasaannya di lingkungan istana serta posisinya yang terhormat, tidak memanfaatkan kedudukan tersebut untuk mencari keuntungan pribadi. Tetapi Ibnu Rusyd melakukan hal-hal yang dapat memajukan daerahnya secara khusus dan kepentingan wilayah Andalusia secara umum.”
Ibnu Rusyd menjalankan tugas-tugasnya dengan tulus, bersih, dan dengan komitmen yang tinggi bagi kesejahteraan dan kejayaan masyarakat dan bangsanya. Alangkah jauhnya sikap dan integritas tokoh rasionalis ini dari banyak orang di negeri ini. []