Mubadalah.id – Mu’asyarah bi al-ma’ruf dalam hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan, suami dan istri harus saling menghargai dan menghormati. Masing-masing harus berlaku sopan, saling menyenangkan, tidak boleh saling menyakiti atau memperlihatkan kebencian dan tidak boleh pula saling mengungkap-ungkap jasa baiknya.
Nabi Muhammad Saw pernah bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik kepada istrimu.” (HR. al-Turmudzi)
Aisyah r.a. pernah menyampaikan: “Nabi Saw tidak pernah memukul istrinya dan tidak juga memukul pembantunya.” (Baca juga: Amalan Sunah Nabi Muhammad Saw saat Nisfu Sya’ban)
Ibn ‘Abbas juga pernah mengatakan: “Aku sangat suka berhias diri untuk istriku. Sebagaimana juga aku suka jika isteriku berdandan untukku.”
Yang paling penting dari semua masalah mu’asyarah bi al-ma’ruf adalah bahwa antara mereka berdua harus memiliki pandangan yang sama tentang kesetaraan manusia. Yang satu tidak mensubordinasi yang lain. Al-Qur’an dengan tegas menyatakan hal ini:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai manusia, Aku jadikan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan aku jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu”. (QS. al-Hujurat 49: 13). (Baca juga: Lā ilāha Illa Allāh: Proklamasi Kesetaraan dan Kebebasan). []