Mubadalah.id – Iman pada Tuhan yang Maha-kasih akan membuahkan ekspresi beragama yang menebar kasih. Tebaran kasih yang tanpa pandang agama itu sendiri. Ekspresi iman yang seperti inilah, yang membuat Nabi Muhammad SAW tidak segan mengucap; “Jammalakallaah (semoga Allah memperindah dirimu),” kepada seorang Yahudi yang berbuat baik kepadanya.
Satu sikap Nabi yang menjadi teladan dalam menebar kasih tanpa pandang agama. Dan, juga sebagai satu contoh bahwa keimanan Nabi kepada Allah yang Maha-kasih membawanya pada ekspresi Islam ramah yang menebar kasih.
Iman dan Ekspresi Beragama Kita
Dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Gus Dur menjelaskan aspek beragama yang membentuk tingkah laku penganutnya. Yaitu, aspek yang paling mendalam dan fundamental yang sangat doktriner (terkait keimanan), serta ajaran-ajaran praktis (menyangkut ekspresi beragama). Penjelasan Gus Dur ini sedikitnya menjelaskan bahwa ada aspek “yang mendalam” dan “yang mengekspresi” dalam beragama.
Konsep yang serupa juga Charles J. Adams jelaskan dalam tulisannya berjudul Islamic Religious Tradition. Bahwa, ada aspek inward experience (pengalaman ke dalam/keimanan) dan outward behavior (tingkah laku keluar/ekspresi) dalam beragama. Keduanya saling terhubung. Keimanan menjadi nafas dalam pengamalan agama, dan laku beragama merupakan bagian dari ekspresi iman.
Jadi, berdasarkan konsep Gus Dur dan Adams, kita dapat memahami bahwa cara kita menghayati iman sejatinya akan berdampak pada ekspresi keberislaman. Dalam hal ini, boleh jadi penghayatan iman itu berbuah ekspresi Islam ramah yang menghormati perbedaan. Atau, malah menampakkan wajah Islam marah yang sulit menerima perbedaan.
Tuhan Kita Mahapengasih lagi Mahapenyayang
Ramah atau marah watak keislaman turut dipengaruhi oleh penggambaran “Dia” yang kita imani. Maka sesekali kita perlu mempertanyakan untuk kemudian menghayati, apakah Tuhan yang kita imani adalah Tuhan yang menghendaki hamba-Nya untuk melakukan kekerasan terhadap mereka yang tidak mengimani-Nya?
Atau, Dia adalah Tuhan yang mengasihi seluruh manusia baik Muslim maupun non-Muslim? Jawaban atas pertanyaan itu akan sangat berdampak pada laku beragama kita, khususnya terhadap relasi kita dengan pemeluk agama lain.
Jika kita ingin bertanya seperti apa Dia yang kita imani? Maka, secara sederhana, jawaban atas pertanyaan itu tergambar dalam kalimat; Bismillaahi ar-rahmaani ar-rahiimi (Basmalah).
Sebagaimana penjelasan Faqihuddin Abdul Kodir dalam Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama, setidaknya ada dua makna utama dalam Basmalah. Yaitu, kasih dan sayang.
Makna ini terkandung dalam kata ar-rahman (Mahapengasih) dan kata ar-rahiim (Mahapenyayang). Jadi, Basmalah menegaskan kepada kita bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang rahman (Mahapengasih) dan rahim (Mahapenyayang).
Namun, pertanyaannya, kepada siapakah kasih Allah SWT itu?
Pandangan Imam al-Khazin dalam Tafsir al-Khazin: Lubaab at-Ta’wiil fii Ma’aanii at-Tanziil, menarik untuk kita cermati. Jelas Imam al-Khazin, laa yatashawwar (jangan membayangkan) rahman Allah itu sebagaimana yang dapat manusia berikan. Sebab, rahman Allah tidak terbayangkan oleh manusia. Artinya, kasih (rahman) dan termasuk sayang (rahim) Allah sejatinya sangat luas dan tidak berbatas. Termasuk tidak terbatasi oleh perbedaan agama.
Pandangan keluasan rahman Allah ini sejalan dengan Muhammad Abduh, sebagaimana yang Quraish Shihab kemukakan dalam Al-‘Asma al-Husna: Mengenal Nama-nama Allah. Bahwa, rahman adalah Rahmat Tuhan yang sempurna yang Dia curahkan kepada semua makhluk. Termasuk pada semua manusia baik Muslim maupun non-Muslim.
Poin pentingnya adalah rahmat Allah itu sangat luas. Keluasan rahmat-Nya yang tidak terbayangkan menyentuh Muslim maupun non-Muslim. Karena itu, perlu kita pahami dan hayati, bahwa kita mengimani Tuhan yang Maha-kasih kepada semua manusia, baik Muslim maupun non-Muslim.
Mengekspresikan Kasih Tuhan di Tengah Keragaman Agama
Penghayatan kepada Tuhan yang Maha-kasih dapat memantapkan diri pada ekspresi Islam yang menebar kasih, tanpa membeda-bedakan agama.
Pandangan ini sejalan dengan Quraish Shihab dalam Al-‘Asma al-Husna: Mengenal Nama-nama Allah. Bahwa, keimanan kita dengan mengenal Allah, yakni mengenal sifat atau nama-nama-Nya, dapat membawa Muslim pada budi luhur. Hal itu karena keindahan sifat-sifat-Nya akan mendorong seorang pengiman sejati untuk meneladani sifat-sifat Tuhan sekemampuannya sebagai makhluk.
Maka, dalam hal ini, sedalam apa penghayatan kita kepada Allah yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang, itu berdampak pada ekspresi beragama yang menebar kasih. Sehingga, jika ekspresi Islam marah dengan laku intoleransi kepada non-Muslim yang nampak, boleh jadi itu tanda bahwa penghayatan iman kita kurang dalam.
Sebaliknya, penghayatan iman yang berkualitas akan menampakkan ekspresi Islam ramah dengan laku beragama yang mengedepankan toleransi kepada non-Muslim. []