• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Aktual

Ibu Hajar dan Romantisme Keimanan Kita

Lailatul Fitriyah Lailatul Fitriyah
03/08/2020
in Aktual, Figur, Rekomendasi
0
Hijrah dengan Cerdas dan Kritis!

Ilustrasi NBU

678
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Banyak sanggahan yang muncul bagi artikel saya tentang Ibu Hajar RA. Sanggahan-sanggahan yangsetidaknya dapat dicerna dengan common sense dapat dikategorikan menjadi tigabagian. Pertama, mereka yang mempertanyakan sumber-sumber interpretasi saya tentang Ibu Hajar. Kedua, mereka yang berpandangan bahwa opini saya tidak sopan terhadap Ibrahim AS, dan ketiga, mereka yang mengakui Hajar sebagai budak, tapi tidak menerima konsekuensi totalnya.

Respon untuk kategori pertama gampang saja,namun penting untuk diketahui bahwa karena Hajar tidak disebut di dalam al-Qur’an, maka cerita-cerita beliau hanya didapatkan dari interpretasi mufassir, ahadis, dan sumber tradisi Islam lainnya. Sumber-sumber yang menyebutkan tentang kecemburuan Sarah dapat dilihat dariIbn Kathir’s al-Bidayah, 140 dan Ibn Kathir’s Qisas, v1, 202 yang penjelasan sebenarnya jauh lebih grafik dari penjelasan saya sendiri.

Hadith dalam Bukhari 3364, buku 60, hadith 43 juga menyiratkan tentang kecemburuan Sarah ini.Sedangkan tentang status Hajar sebagai budak dapat dilihat dalam, Ibn Kathir’s Qisas, v 1, 193-198.Cerita-cerita tentang Hajar lainnya dapat dilihat di Ibn Ishaq, al-Thabari, dan lain-lain.

Untuk sumber kontemporer dari pemaknaan terhadap kehidupan Hajar yang menginspirasi saya dapat dilihat dari karya-karya amina wadud, Barbara Stowasser, Hiba Abugideiri, Asma Barlas, Aysha Hidayatullah, dan lain-lain.
Satu hal yang pasti, menanyakan sumber argumentasi dalam semangat akademis adalah hal yang patut dipuji. Namun, bila pertanyaan tentang sumber-sumber argumentasi ini datang dari motivasi literal yang memandang ‘Islam’ sebagai hal yang beku di masa lalu dengan menafikan kontekstualisasi saat ini, itulah hal yang berbahaya.

Kategori sanggahan kedua dan ketiga terhubung satu sama lain. Berikut respon saya. Pertama, pandangan bahwa artikel saya tentang Hajar adalah ‘tidak sopan’ terhadap Nabi Ibrahim as adalah hal yang berakar dari perspektif modern tentang perbudakan. Dalam perspektif modern, perbudakan adalah hal yang buruk dan tidak beradab.

Baca Juga:

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

Sehingga ketika saya menerangkan bahwa Hajar adalah budak bagi Nabi Ibrahim as dan Sarah, sebagian kita dengan segenap asumsi modern kita menganggap statement itu sebagai hinaan bagi Ibrahim as dan Sarah. Padahal apa yang saya katakan sudah tertuliskan sebelumnya dalam teks-teks tradisional. Mereka yang tidak menerima pernyataan tersebut akhirnya memilih untuk menyebutkan versi cerita lainnya, dimana Hajar adalah seorang putri raja.

Sayangnya, versi itu bukan versi dominan dalam tradisi Islam. Namun tentunya preferensi pribadi tak lagi peduli dengan mana yang lebih dominan dalam tradisi. Seperti halnya dalam kasus hukum kekerasan seksual (KS) dalam Islam, walaupun versi tradisionalnya adalah versi hukum yang humanis, sebagian dari kita memilih untuk menggembar-gemborkan hadis-hadis lemah yang menekankan kepatuhan seksual istri yang tanpa batas.

Walaupun hadis-hadis itu tidak mewakili opini dominan tradisional. Intinya, keislaman sebagian kita adalah keislaman yang tebang-pilih dimana kata-kata ‘dalil’, ‘pendapat ulama’, ‘madzhab’, dan sebagainya, dihamburkan untuk menutupi fakta bahwa kita hanya mengikuti jenis ajaran Islam yang sesuai dengan preferensi patriarkal kita.

Jadi, menyatakan bahwa Hajar adalah budak Nabi Ibrahim as dan Sarah sebenarnya hanya penyataan yang sesuai dengan tradisi Islam. Lalu mengapa kemudian ada yang akui bahwa Hajar adalah seorang budak, namun tetap menuduh artikel saya sebagai bentuk ketidaksopanan terhadap Nabi Ibrahim as?

Bagi saya, dan sesuai dengan common sense, menyatakan bahwa seseorang memiliki budak juga berarti bahwa kita menerima fakta kalau si pemilik telah memperbudak seseorang. Dengan kata lain, ketika kita tahu bahwa Hajar adalah budak Nabi Ibrahim as dan Sarah, ini berarti bahwa kita harus sadar Nabi Ibrahim as dan Sarah telah memperbudak Hajar.

That’s just the way things go. Menerima bahwa Hajar adalah seorang budak, namun merasa tersinggung ketika saya menulis bahwa Hajar hanya digunakan untuk memenuhi fungsi reproduksi adalah hal yang tidak masuk akal. Pada saat itu, tugas seorang budak adalah untuk memenuhi apapun yang tuannya inginkan. Dalam konteks inilah ketakutan Hajar terhadap Sarah, dan kepasrahannya untuk ditinggal di Padang Pasir dapat dipahami. Tentu saja ada faktor keimanan dan sebagainya. Namun, faktor sosial-politik dan status Hajar juga merupakan faktor terbesar lainnya.

Apa yang jelas dari sanggahan-sanggahan terhadap tulisan saya tentang Hajar adalah, bahwa banyak dari kita yang masih beriman dalam kontradiksi. Yakni, kita hanya mau beriman kepada seseorang/sesuatu atau tentang sesuatu ketika seseorang/ sesuatu tersebut terlihat sempurna di mata kemanusiaan kita yang terbatas.

Sedemikian lemahnya iman kita, sehingga kita takut fakta bahwa Nabi Ibrahim as adalah seorang manusia yang tidak sempurna akan menggoyahkan iman kita tentangnya. Kita takut kita tak bisa lagi belajar dari Nabi Ibrahim ketika kita tahu bahwa ia pernah punya budak dengan segala konsekuensinya.

Kita takut iman kita tentang Isma’il hilang ketika kita tahu bahwa beliau lahir dari ibu yang seorang budak. Kita takut bahwa iman kita akan menguap ketika kita tahu bahwa Sarah, istri seorang Nabi, dapat merasa cemburu dan terancam dengan kehadiran perempuan lainnya.

Iman yang dibangun berdasarkan asumsi kesempurnaan adalah iman yang kontradiktif, karena iman haruslah berdiri diatas penyerahan diri seutuhnya kepada Allah Swt. Ini berarti bahwa kita harus menerima kuasa Allah Swt untuk mengutus nabi-nabi yang tidak sempurna, dan bahwa kita tetap dapat belajar dari mereka.

Bukankah iman adalah berserah tanpa syarat? Jika kita ingin Nabi Ibrahim as, Isma’il as, Nabi Muhammad Saw dan nabi-nabi lainnya untuk jadi sempurna terlebih dahulu sebelum kita mengimani mereka dan ajarannya, bukankah itu sama saja dengan memberi prasyarat kepada Allah Swt tentang apa yang kita mau atau tidak mau imani?

Beriman kepada nabi-nabi dalam Islam berarti bahwa kita menerima pribadi, ajaran, dan kehidupan mereka tanpa adanya syarat kesempurnaan. Merenungi tentang ketidaksempurnaan utusan Allah Swt tersebut tanpa kehilangan keimanan dan kemanusiaan kita adalah praktek dari keimanan itu sendiri.[]

Lailatul Fitriyah

Lailatul Fitriyah

Perempuan asal Jember ini adalah kandidat Doktor di bidang Gereja Global & Agama-Agama Dunia di University of Notre Dame, Indiana, U.S.A. Ia juga memegang gelar Master of Arts di bidang Perdamaian Internasional dari universitas yang sama.

Terkait Posts

Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Fiqh Al-Usrah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

28 Juni 2025
Sejarah Indonesia

Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

27 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan
  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID