Mubadalah.id – Beberapa hari lalu ada sebuah kisah hancurnya tatanan masyarakat karena budaya flexing yang ibu saya bagikan kepada saya. Beliau mengatakan bahwa ini adalah kisah nyata dari salah satu warga desa sebelah.
Kita sebut saja namanya si A. si A adalah orang yang terkenal kaya, punya sawah yang luas, dan uangnya yang melimpah. Pada suatu hari, si A ini memintakan fotokopi KTP satu persatu warga dengan iming-iming uang 500.000. Para warga pun tergiur dengan tawaran si A, dan memberikan nomor KTP mereka tanpa pikir panjang.
Usut punya usut, si A ternyata menyalahgunakan informasi para warga untuk melakukan pinjaman panas. Uangnya pun ia pergunakan untuk membeli barang-barang bagus, sesuatu yang sedang tren, dan mencoba mengikuti segala bentuk perubahan zaman.
Awalnya para warga masih merasa biasa dengan gaya hidup si A yang mewah. Mereka sadar bahwa si A adalah orang yang berkecukupan, Sehingga menjadi lumrah jika si A bisa membeli barang-barang mewah. Sampai akhirnya terjadi kasus besar di desa mereka.
Satu Persatu Warga Hilang
Berawal dari si A tiba-tiba menghilang. Kabarnya tidak diketahui oleh siapapun. Rumahnya dan sawahnya disita habis-habisan. Mulut ke mulut pun menyebar, rupanya kejadian yang menimpa si A diakibatkan karena tidak mampu membayar pinjaman daring. Debt collector pun mencarinya ke setiap selubung tempat, sayang ia tidak lagi bertempat tinggal di sana.
“Kabarnya si A ini meminjam lima juta per orang dari pinjaman daring, dan 10%-nya ia berikan kepada para tiap orang yang sudi memberikan fotokopi KTP-nya. Bayangkan saja empat juta lima ratus dikali berapa orang!” Ujar ibu saya.
Malangnya, yang mendapatkan kecaman tidak hanya si A saja. Para warga pun turut kena getahnya. Mereka yang telah memberikan informasi pribadi dengan percuma, nyatanya telah menjadi korban penipuan si A. Mereka telah menjadi target manipulasi yang begitu merugikan. Datang tanpa tahu apa-apa, dan akhirnya turut menjadi objek pencarian. Sadar akan Debt collector yang lambat laun juga akan datang padanya, para warga inipun turut kabur meninggalkan rumah untuk mencari aman.
Sungguh jika perlu menceritakan lebih lanjut, akan banyak kisah terkait dampak flexing yang mengakibatkan kehancuran terhadap investasi hidup, begitu pula mimpi-mimpi masa depan. Orang yang demikian hidup dengan penuh cemas dan tidak tenang.
Begitulah merupakan dampak signifikan budaya flexing yang masyarakat menengah rasakan. Awalnya mereka merasa baik-baik saja, merasa senang karena bisa membeli barang hasil racun media sosial. Lambat laun keinginan ini bercabang menjadi tamak yang bisa menjerumuskan mereka pada kerugian.
Seperti halnya firman Allah SWT dalam QS. At-Takatsur ayat 1
اَلْهٰىكُمُ التَّكَاثُرُۙ
“Bermegah-megahan dengan harta telah mencelakakan kalian.”
Bertendensi Self Reward
Bersamaan dengan budaya flexing, konten-konten kesehatan mental juga makin menjulang tinggi. Barangkali beberapa di antaranya dapat menenangkan jiwa, atau bisa menjadi sarana mengenali diri sendiri. Sayangnya, ada juga konten-konten bertendensi kesehatan mental, tapi bisa menjerumuskan masyarakat yang asal pakai saja.
Contohnya adalah self reward. Awalnya, self reward bisa kita maknai sebagai bentuk penghargaan terhadap diri setelah berhasil melakukan suatu tujuan tertentu. Tujuan di sini biasa merupakan sesuatu yang tergolong berat, perlu menguras waktu, pikiran, dan tenaga. Sehingga guna adanya self reward adalah mengistirahatkan diri, relaks, dan bersikap baik kepada diri sendiri.
Sayangnya, kini banyak orang menggunakan kata “self reward” di balik perlakuannya sebagai budak flexing. Mereka jatuh kepada jurang kesalahpahaman. Menggunakan kata self reward pada tiap proses kecil yang mereka lalui.
Lucunya, antara proses yang mereka jalani, dengan reward yang mereka berikan, tidak sepadan, timpang, dan memberi kesan bahwa apa yang telah mereka lakukan adalah suatu hal yang begitu melelahkan, sehingga perlu adanya hadiah mahal.
Sedikit-sedikit, dinner cantik, war diskon, memenuhin koleksi outfit, atau upgrade gadget. Orang-orang seperti ini juga terus membeli banyak barang yang mereka suka. Di sini saya garis bawahi, suka, bukan butuh. Padahal hasil pekerjaan mereka juga bisa dibilang “pas-pasan”. Alhasil mereka tidak sadar, bahwa dirinya telah jatuh pada krisis finansial.
Apa yang seharusnya mereka tabung untuk kebutuhan yang lain, telah habis untuk memberi barang-barang yang sebenarnya tidak begitu mereka butuhkan. Mereka yang seharusnya punya dana darurat, malah mengalami pelonjakan pengeluaran cukup besar karena tidak pernah menyisihkan uang untuk hal-hal yang tidak dapat mereka duga.
Pentingnya Rasa Cukup
Rasa-rasanya, pentinglah rasa cukup untuk menahan keinginan-keinginan manusia akan meniru budaya flexing yang begitu besar. Butuhlah rasa cukup untuk menekan manusia dari sifat boros yang terus mereka sandarkan pada self reward. All ah SWT berfirman dalam QS Al-Isra’ ayat 27:
اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗوَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا
Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.
Sungguh ayat ini menjadi pengingat, bagaimana kebiasaan orang-orang kafir Quraisy yang suka menumpuk harta rampasan perang, perampokan, dan penyamunan. Harta itu kemudian mereka gunakan untuk berfoya-foya dan bersenang-senang. Di sisi lain, mereka turut menggunakan hartanya untuk menghalangi penyebaran agama Islam, melemahkan pemeluk-pemeluknya, dan membantu musuh-musuh Islam.
Sama dengan kasus di atas, bahwa sekarang banyak manusia yang lebih memilih untuk membeli barang-barang atas keinginannya, dan mengabaikan kebutuhan pribadi. Sehingga mereka jatuh pada kehancuran, dan Allah pun mencela perbuatan mereka.
Mereka rela kelaparan demi bisa mengikuti tren, padahal ia telah menyakiti diri sendiri. Beberapa di antaranya bahkan sudi menjual ginjal demi kebermegahan harta, walaupun ia telah berlaku zalim terhadap diri sendiri.
Lantas rasa cukup adalah sebuah obat. Memberikan dosis tinggi untuk menjadi benteng menumbuhkan syukur. Bahwa apa-apa yang manusia miliki sudah lebih dari cukup. Bahwa apa-apa yang ingin manusia beli selanjutnya, harus lebih mereka pertimbangkan lagi maslahat dan mudharat-nya.
Melatih Rasa Cukup
Kita bisa melatih rasa cukup atas rezeki yang Tuhan berikan dengan tiga hal, yang pertama adalah berderma atau sedekah. Membagikan sebagian dari rezeki yang kita miliki dapat mengingatkan bahwa tidak semua orang memiliki nasib yang beruntung.
Kedua adalah menabung. Menyisihkan uang untuk keperluan dana darurat penting kita lakukan untuk menyiapkan diri dari keperluan yang tidak diduga.
Dan yang terakhir adalah memprioritaskan kebutuhan sebelum keinginan. Saat membelanjakan sesuatu, pastikan barang tersebut benar-benar kita butuhkan, bukan hanya untuk gaya-gayaan dan flexing sekadarnya. Pertimbangkan juga tingkat urgensitas barang yang akan kita beli, apakah barang tersebut merupakan kebutuhan primer, sekuender, atau tersier.
Ketiga cara tersebut bisa terbilang efektif jika kita lakoni dengan sungguh-sungguh, dan semoga dengan ini kita bisa melatih diri untuk lebih merasa cukup tanpa harus menjadi pelaku atau korban budaya flexing yang menghancurkan, amin. Wallahu a’lam. []