Mubadalah.id – Dampak dari tantangan dan dinamika perkawinan bisa bermacam-macam. Pada pasangan suami-istri yang berhasil menjalani proses dengan sehat dan baik. Perkawinan menjadi tempat yang sangat nyaman dan sumber kekuatan untuk menghadapi tantangan kehidupan.
Pada pasangan suami-istri yang tidak berhasil mengelola proses ini dengan sehat dan baik, perkawinan menjadi beban dan bahkan menjadi sumber masalah.
Al-Qur’an sudah menyebutkan perintah Allah SWT agar pasangan suami-istri bersikap dan berperilaku baik satu sama lain (mu’asyarah bil ma’ruf).
Bagaimana bentuk nyatanya? Berdasarkan berbagai penelitian, para ahli psikologi keluarga menyatakan bahwa ada beberapa sikap dan perilaku yang bisa menghancurkan atau memperkuat hubungan pasangan suami-istri. Kita sebut saja keduanya sebagai Sikap “Penghancur Hubungan” dan “Pembangun Hubungan.”
Sikap penghancur hubungan terutama muncul saat pasangan suami-istri menghadapi permasalahan. Misalnya, suatu ketika Ibu Mertua memutuskan untuk tinggal bersama pasangan suami istri, namun sang suami tidak menyetujui. Atau saat istri berbeda pendapat dengan suami tentang cara mendisiplinkan anak.
Beberapa di antara Sikap Penghancur Hubungan menurut The Gottman Institute dalam The Four Hosemen adalah sebagai berikut:
Pertama, kritik pedas (sikap menyalahkan), di mana suami istri tidak dapat melihat kebaikan dan keunggulan dari pasangan, dan tidak melihat kesalahan diri sendiri yang menyebabkan terjadinya pertengkaran. Misalnya, suami menganggap istri tidak becus menjadi ibu. Sehingga anak mereka menjadi bandel dan suka berkelahi. Ia lupa bahwa tanggungjawab menjadi orangtua jatuh kepada baik suami maupun istri.
Sikap Membenci dan Merendahkan
Kedua, sikap membenci dan merendahkan, di mana suami/istri menunjukkan bahwa pasangannya bukan pasangan yang baik, membandingkannya dengan orang lain, dan menunjukkan kebencian dengan mengungkit berbagai kelemahan pasangan. Misalnya, istri mengatakan “aku menyesal menikah dengan kamu, kalau dulu aku memilih menikah dengan si Anu pasti hidupku sudah kaya-raya dan bahagia.”
Ketiga, sikap membela diri dan mencari-cari alasan, di mana suami/ istri menganggap bahwa sikap dan perilakunya yang salah adalah karena sebab lain di luar dirinya. Misalnya suami yang terlalu sibuk di luar rumah membela dirinya dengan menyalahkan istri yang membuatnya tidak kerasan di rumah.
Keempat, sikap mendiamkan (mengabaikan), di mana suami/istri memilih untuk mendiamkan pasangannya. Biasanya dengan alasan tidak ingin bertengkar, suami/istri justru bersikap pasif-agresif yaitu menyerang dalam diam.
Di sini suami/istri melawan dengan melakukan hal yang berbeda dengan apa yang diharapkan pasangan. Misalnya suami meminta istri untuk menerima Ibu sang suami yang akan tinggal bersama pasangan suami-istri. Sang istri tidak menentang, tetapi selama sang Ibu Mertua di rumah, ia mengabaikan kebutuhan si Ibu Mertua.
Dapat kita lihat bahwa semua kebiasaan ini berlawanan dengan prinsip perkawinan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Demikianlah yang terjadi apabila pasangan suami-istri meninggalkan sikap saling ridla, tulus (nihlah) dan perdamaian (ishlah).
Berdasarkan riset selama 20 tahun, Gottman Institute menemukan bahwa kegagalan sebuah perkawinan dapat diprediksi dari keempat sikap tersebut. Dengan tanda yang paling utama adalah perbandingan sikap dan kata-kata positif dan negatif pada saat pasangan berinteraksi. []