Mubadalah.id – Bentangan alam dengan pemandangan pegunungan batu karst, membuat kami tak bosan memandang. Sesekali mengambil foto atau video dari balik jendela mobil. Kontur jalanan yang naik turun dan berkelok-kelok, bagi sebagian orang mungkin akan memicu mabok perjalanan. Tapi bagi kami tidak, bahkan rasanya sudah tak sabar ingin segera melihat ibadah lingkungan di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Baturetno Wonogiri Jawa Tengah.
Ya, anjangsana ke GKJ ini menjadi rangkaian akhir dari kegiatan Eco Peace: Workshop For Youth Leaders. Di mana kegiatan ini merupakan kerja sama Mubadalah.id dengan American Corner Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Eco Peace sendiri diikuti oleh 25 peserta dengan ragam latar belakang, identitas gender, agama dan komunitas. Selama tiga hari berkegiatan kami belajar bersama menyerap pengetahuan tentang isu lingkungan dalam persepektif perempuan dan agama-agama.
Di antaranya, Mbak Dewi Candraningrum sang begawan Ekofeminisme yang membincang secara apik bagaimana perlawanan perempuan untuk membela dan mempertahankan tanah dan airnya. Baik yang di Kendeng maupun yang teranyar di Sukoharjo Solo.
Lalu Pak I Gusti Ngurah Putra dari Bimas Hindu DIY sang pencetus tagline “Jogja Berhati Nyaman”, yang berbagi tentang isu lingkungan dalam perspektif agama Hindu. Berikutnya Pak Suhadi Cholil membahas isu lingkungan dalam perspektif Islam. Terakhir Mbak Yulianti menyampaikan materi isu lingkungan dalam perspektif agama Budha.
Arsitektur Gereja
Adapun isu lingkungan dalam perspektif Kristen disampaikan Pendeta Sunu dari Gereja Kristen Jawa di Baturetno Wonogiri, di mana baru pada hari ketiga kami baru bisa menjumpai beliau sekaligus field trip melihat langsung bagaimana konsep ibadah lingkungan yang digagas oleh Pendeta Sunu.
Begitu sampai di GKJ, tak nampak ornament atau simbol yang menjadi penanda bahwa ini adalah gereja. Dari depan terlihat seperti rumah biasa saja. Ada peserta yang mengatakan, bangunannya lebih terlihat seperti musala di desa dari pada gereja. Jangan membayangkan gereja yang megah, dengan desain arsitektur Gotik atau klasik ala-ala gereja seperti di negeri Barat sana.
Pendeta Sunu dan jemaat lain menyambut kami di pintu gerbang, kami bersalaman lalu masuk ke dalam ruangan. Saya mencari penanda gereja. Kecil saja dalam sebuah poster yang terpasang di dinding di bagian depan. Tertuliskan “GKJ Baturetno Wilayah Ture”.
Lalu di sisi lain, di dinding gereja terpasang poster yang lebih tinggi dengan tulisan “Gereja Kristen Jawa (GKJ) Baturetno Wilayah Ture. Jadwal kebaktian Hari Minggu Pukul 07.00 wib. Alamat di Cantel, Pidekso, Giriwoyo.
Tampak dalam tembok yang mengelilingi gereja, terdapat banyak lubang, sehingga memungkinkan cahaya dan angin leluasa masuk dalam ruangan. Konsep gereja memang ingin lebih dekat dengan alam, sehingga ketika sedang beribadah, jemaat bisa langsung melihat hamparan sawah, dan angin sepoi-sepoi yang membuai.
Saat mendengarkan penjelasan Pendeta Sunu dalam sesi dialog, secara sadar berkali-kali saya ketiduran, terbuai oleh angin pegunungan karst yang sejuk. Agak malu juga, tetapi bagaimana lagi, rasa kantuk maha dahsyat tak sanggup tertahan lagi.
Makna Ibadah Lingkungan
Lamat-lamat saya mendengarkan dalam penjelasannya, Pendeta Sunu menceritakan bagaimana Ibadah tanah, ibadah air, ibadah angin, ibadah cahaya dan ibadah api memberi banyak makna dalam ritual peribadatan yang dijalani jemaat.
Konon kata pendeta Sunu, Yesus Kristus lebih banyak menghabiskan waktunya berdakwah menyampaikan pengabaran Injil di luar ruangan, atau di luar gereja, sehingga itu menjadi dasar bagaimana GKJ mempraktikkan ibadah lingkungan, mendekatkan manusia dengan alam.
Di setiap ibadah lingkungan, Pendeta Sunu selalu menerapkan konsep yang berbeda, sehingga selalu ada kebaruan di setiap momentum ibadah itu. Adapun yang melatari prosesi ibadah lingkungan adalah pergumulan Pendeta Sunu bersama warga desa Baturetno yang tinggal di situasi alam Wonogiri yang tandus.
“Pergumulan harian yang mendalam akhirnya bertemu tema, seperti ini kebutuhannya. Dorongannya dari teks suci Injil, di mana Yesus lebih banyak mengajarkan di luar gereja. Yesus khutbah di atas bukit, mengajarkan di pinggir Pantai, sehingga ini menjadi inspirasi bagaimana ibadah bersama alam ini mewujud dalam kehidupan kami.”
Demikian paparan Pendeta Sunu, dengan iringan semilir angin pelataran gereja yang semakin melenakan, hingga membuat kami enggan beranjak. Terlebih suguhan makanan berbasis pangan lokal, pisang rebus, kacang rebus, kembili, getuk singkong dan aneka gorengan, membuat perut kami kenyang dan hati pun senang.
Memperbanyak ruang perjumpaan seperti ini, dengan ragam komunitas dan keyakinan membuat kami optimis, anak-anak muda akan melanjutkan pembelajaran ini. Bahwa semua agama telah mengajarkan tentang pentingnya merawat lingkungan. Bagaimana memuliakan alam sebagai jalan untuk mempertebal keimanan. Menjadi manusia yang memanusiakan alam semesta, karena bumi ini adalah rumah kita bersama. []