Mubadalah.Id- Malam itu ia tidak bisa tidur, dengan iringan lagu token listrik yang cukup berisik, tiba-tiba si perantau perempuan dari desa mendapat serangan pertanyaan di kepala.
Sepertinya sebagian warga semesta bersahabat dengan kekhawatiran, sisanya menjalani hidup tanpa rencana. Ah bukan, lebih tepatnya enggan berencana. Ia sudah bosan dijatuhkan ekspetasi, bukankah setelahnya harus merawat luka, lagi, dan lagi.
Ia ingat betul saat di bangku sekolah beberapa guru meminta murid membuat list impian. Kuliah umur sekian, lulus umur sekian, lalu menikah umur sekian? Bagaimana kabarnya saat ini? Sudah terwujudkah?
Pada akhirnya, sebagian orang terus bertarung dengan harapan dan sisanya merapal doa bertahan dengan keadaan.
“Kapan?” Masih Menjadi Momok bagi Perempuan
Tidak sedikit perantau perempuan yang enggan pulang kampung saat hari libur atau hari raya. Sudah menjadi rahasia umum bukan?.
“Si ambis ngapain nikah? Lanjut S3 dulu kali!” Ucap seseorang tanpa peduli.
Mukanya terlihat datar, tapi matanya berusaha kuat menahan bendungan air. Andai bisa membeli jodoh di marketplace, atau coffe shop menyediakan menu jodoh, dan para agen trevel tidak hanya menjual jasa tour guide melainkan juga bonus jodoh? Sayangnya TIDAK.
Ia merenung di pojokan kamar sambil sesekali menggerutu sendiri. Apakah standar kebahagian dan kesuksesan seseorang hanya perihal jodoh?
Salahkah jika anak perempuan berusaha mati-matian memperbaiki ekonomi keluarganya yang sedang banting tulang di kampung? Tidak bolehkah perempuan mengupayakan adik-adiknya mendapat pendidikan bagus?
Hidup dengan beragam warna
Harusnya selaras dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, tetapi anehnya justru beberapa lapisan masyarakat memberi sekat struktur sosial negeri ini.
Katanya perempuan kudu cepat menikah! Lantas kenapa pemakluman perbedaan belum merata?
Saat kuliah, bendera hijau dan bendera biru beda arah, sebaiknya jangan jadi pasangan menikah, katanya. Pulang ke kampung, do’a qunut dan tahlil masuk list persyaratan calon suami. Jika berbeda, tidak menjadi pasangan yang diamini.
Belum lagi, “naon dan nopo” merupakan mitos rahasia lama yang menentang keras perbedaan ini untuk menyatu. Marga A harus berpasangan marga B agar meneruskan keturunan dan lulusan strata sekian harus berpasangan dengan alumni strata sekian.
Lagi -lagi perihal ‘kapan’ masih banyak menjadi beban bagi perempuan dengan sekian syarat-syaratnya. Padahal dalam Islam sendiri terdapat kelonggaran hukum bukan?
Ah jadi teringat, padahal Rasul sendiri pernah bersabda bahwa menikah adalah anjuran bagi muslim bagi yang telah sanggup,
Artinya: Abdullah Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” Muttafaq Alaihi.
Lalu kenapa manusia harus menuntut sesuatu yang di luar kendalinya?
Harusnya, Hidup Ada di Tangan Sendiri Bukan?
Berbeda dengan kultur penduduk kota yang cenderung sibuk dengan pekerjaan dan sebagian justru individualis, masyarakat desa yang konon terlalu ‘ramah’ hingga terlalu sibuk ingin mengetahui bagaimana kehidupan orang lain justru membuatnya enggan pulang kampung.
Sudah mau 2025, bukankah sudah seharusnya setiap perempuan mendapat kemerdekaannya sendiri.
Perihal akan melalui arah dan rute mana, ataupun rumah mana yang akan dituju, asal tidak bertentangan dengan syariat agama tidak masalah bukan?
Suara dering telepon menyadarkan dia dari berisik suara kepala, sosok perempuan desa dalam sebuah kamar ukuran 3×3 di sudut ibukota.
Dari seberang sana terdengar suara:
“Halo nduk, ada uang sekian tidak? Apakah ibu boleh minjem dulu?” []