Mubadalah.id – Pemerintah Indonesia telah mengupayakan pemenuhan dan perlindungan penyandang disabilitas melalui berbagai kebijakan, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Keberadaan Undang-undang (UU) tersebut selaras dengan pandangan Islam yang memang mewajibkan agar pemangku kebijakan publik (pemerintah dan non-pemerintah) untuk mengeluarkan peraturan yang mengharuskan tersedianya fasilitas peribadatan yang ramah bagi penyandang disabilitas.
Kepala negara bertanggung jawab atas warga negaranya. Rasulullah SAW bersabda:
“Kewajiban negara menyediakan segala menjadi kebutuhan warga negaranya dengan memberdayakan seluruh potensi dan melibatkan peran serta masyarakat yang ada.”
Intinya mereka harus diperlakukan secara adil, manusiawi, dan bermartabat di bawah undang-undang seperti yang tersebut:
“Para ulama berkata: Pemimpin (negara) adalah pengayom yang mendapat amanat yang berkewajiban mewujudkan kebaikan bagi jabatannya dan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Di dalam hadis-hadis itu ada penjelasan bahwa setiap orang yang memimpin orang lain maka ia dituntut untuk adil dalam kepemimpinannya dan dituntut untuk mewujudkan kemaslahatan mereka dalam urusan agama dan dunianya”.
Islam menegaskan bahwa ketika pemerintah sudah mengeluarkan aturan, seperti halnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas tersebut, maka seluruh rakyat wajib untuk mematuhinya. Sayyid Ba’alawi Al-Hadrami menjelaskan:
“Wajib patuh kepada Imam dalam setiap hal yang menjadi kewenangannya… Kesimpulannya adalah wajib menaati Imam dalam perintahnya secara dhohir dan batin dalam hal yang tidak haram atau makruh, maka yang asalnya wajib menjadi lebih kuat kewajibannya sedangkan yang asalnya sunnah berubah menjadi wajib. Begitu juga yang mubah menjadi wajib apabila di dalamnya ada kemaslahatan.”
Hukum
Selaras dengan itu, dalam kitab Nihatuz Zain disebutkan bahwa jika negara telah mewajibkan meskipun itu hal yang mubah menurut syariat, maka itu tidak lagi sekedar mubah (boleh), namun telah berubah menjadi wajib.
“Jika pemimpin mewajibkan sesuatu yang wajib, maka sesuatu itu bertambah wajib. Jika mewajibkan sesuatu yang sunnah maka menjadi wajib. Dan jika mewajibkan sesuatu yang boleh (jaiz),maka jika ada kemaslahatan umum padanya seperti larangan merokok, maka menjadi wajib juga”.
Dalam sisi yang berbeda, meskipun dengan segala keterbatasan yang ada, sampai batas tertentu para penyandang disabilitas tetap diwajibkan menjalankan takālif al-syar’iyyah (tuntutan beribadah).
Dengan demikian, negara memiliki kewajiban bukan hanya membuat kebijakan. Melainkan juga menyediakan fasilitas publik yang ramah terhadap penyandang disabilitas tersebut yang memang menjadi hak mereka.
Ketika penyandang disabilitas tetap berkewajiban berjamaah di masjid untuk Salat Jumat. Maka pemenuhan fasilitas (perantara) bagi mereka untuk bisa memenuhi kewajibannya juga menjadi wajib. Hal ini sebagaimana kaidah yang popular dalam fikih:
لِلِْوسَائلِِ حُكْمُ المَْقَاصِدِ
“Hukum sesuatu yang menjadi perantara sama dengan hukum tujuan akhir”.
Dalam kaidah lain menyebutkan:
مَا لَا يتَمُِّ الوَْاجِبُ إلَّا بهِِ فَهُوَ وَاجِبٌ
”Apabila suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan secara sempurna tanpa adanya sesuatu yang lain. Maka pelaksanaan sesuatu yang lain tersebut hukumnya juga wajib”
Dalam konteks ini maka negara memiliki tanggung jawab membuat semua warga agar bisa menjalani kehidupan dengan nyaman. Ruang publik harus kita buat ramah terhadap penyandang disabilitas.
Begitu juga dengan ruang-ruang komunal seperti rumah ibadah. Khutbah-khutbah keagamaan perlu mempertimbangkan keberadaan penyandang disabilitas netra, rungu, wicara, dan sebagainya. []