Mubadalah.id – Rahima menggelar Short Course Metodologi Trilogi KUPI bagi ulama perempuan se-Aceh di Ayani Hotel, Banda Aceh, pada 23-25 Januari 2025.
Kegiatan ini bertujuan memperkuat pemahaman ulama perempuan Aceh terkait metodologi trilogi KUPI, yaitu Mubadalah, Keadilan Hakiki, dan Ma’ruf. Metodologi ini menjadi pendekatan KUPI dalam memahami teks al-Qur’an, Hadis, dan fikih.
Short Course ini diikuti oleh 25 peserta yang berasal dari 10 kabupaten/kota di Aceh, yaitu Banda Aceh, Aceh Besar, Bener Meriah, Sigli, Aceh Utara, Langsa, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan.
Selain mendalami metodologi KUPI, peserta juga mendapatkan pembekalan untuk merespons berbagai persoalan di komunitas, seperti kekerasan seksual, pernikahan anak, dan kerusakan lingkungan.
Dalam kegiatan ini, Rahima menghadirkan sejumlah pakar dan tokoh kunci KUPI sebagai narasumber. Mereka adalah Nyai Badriyah Fayumi, MA, Nyai Masruchah, M.H, Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm, serta Kiai Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, MA.
Tim pelaksana, Wanda Roxanne mengatakan bahwa salah satu alasan utama digelarnya pelatihan ini adalah untuk membumikan metode dan hasil musyawarah keagamaan KUPI di tingkat komunitas.
“Dengan pelatihan ini, diharapkan ulama perempuan Aceh dapat semakin percaya diri dalam menerapkan metodologi KUPI dalam kerja-kerja keagamaan dan sosial di lingkungan mereka,” katanya.
Pengalaman Berbasis Realitas Perempuan
Lebih lanjut, Wanda menyampaikan bahwa pelatihan ini juga sebagai upaya untuk mengembangkan pengetahuan bagi ulama perempuan yang memiliki pengalaman berbasis realitas perempuan dan mampu membuat perubahan dalam komunitas.
“Rahima memiliki visi menciptakan masyarakat yang sadar dan bertransformasi menuju kehidupan yang penuh kasih sayang, bermartabat, berkeadilan sosial, dan berkelanjutan,” jelasnya.
Untuk diketahui, Rahima, Alimat dan Fahmina merupakan tiga lembaga inisiator lahirnya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Pertama, yang diselenggarakan pada 25-27 April 2017 di Pondok Pesantren Al-Islamy Kebon Jambu, Cirebon, Jawa Barat.
Musyawarah Keagamaan KUPI I memutuskan pandangan dan sikap keagamaan terkait tiga hal. Yaitu pengharaman kekerasan seksual, kewajiban perlindungan anak dari pernikahan dan pengharaman perusakan alam.
Pandangan keagamaan dalam musyawarah KUPI didasarkan pada metodologi yang dirumuskan KUPI, dengan fondasi metodologinya yaitu cara pandang terhadap Islam dengan semua ajarannya sebagai rahmatan lil alamin dan komitmen berakhlak mulia kepada sesama dan semesta.
Melalui metodologi tersebut, KUPI menggunakan dua sumber utama Islam yaitu al-Qur’an dan Hadis sebagai sebuah kesatuan yang holistik.
Seluruh warisan tradisi keislaman dengan berbagai disiplin ilmunya, mulai dari tafsir, kompilasi hadis dan syarahnya, fikih, dan ushul fikih, tasawuf, kalam, dan disiplin keilmuan lainnya merupakan dinamika proses dalam konteks masing-masing dalam mewujudkan visi kerahmatan dan misi akhlak mulia.
KUPI mengintegrasikan pengalaman dan realitas kehidupan perempuan dalam perwujudan visi dan misi tersebut. Pengintegrasian ini penting karena Islam sejak awal hadir untuk memanusiakan perempuan. Lalu memandangnya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi untuk mewujudkan kemakmuran dan kemaslahatan.
Hal ini menjadikan pengalaman biologis dan sosiologis perempuan menjadi otoritas pengetahuan, fatwa, hukum, dan kebijakan.
Selain itu, dalam Fatwa KUPI juga merujuk pada konstitusi dan instrumen internasional yang memberikan perlindungan pada korban.
KUPI II
Pada KUPI II yang diselenggarakan pada 22-26 November 2024 di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri, Jepara, Jawa Tengah. KUPI II diselenggarakan oleh lima lembaga yaitu Rahima, Alimat, Fahmina, AMAN Indonesia dan Gusdurian. Musyawarah Keagamaan KUPI II memutuskan pandangan dan sikap keagamaan mengenai lima persoalan yaitu:
Pertama, peminggiran perempuan dalam menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama. Kedua, pengelolaan sampah untuk keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan.
Ketiga, perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan. Keempat, perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan. Kelima, perlindungan perempuan dari Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) yang membahayakan, tanpa alasan medis. []