• Login
  • Register
Jumat, 23 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Di Balik Stigma Aseksualitas: Pentingnya Pendidikan Seksual bagi Disabilitas

Selaras dengan prinsip mubadalah (kesalingan), penyandang disabilitas sangat membutuhkan pendidikan seksual yang inklusif dan memadai

Siti Roisadul Nisok Siti Roisadul Nisok
01/02/2025
in Publik, Rekomendasi
0
Pendidikan Seksual bagi Disabilitas

Pendidikan Seksual bagi Disabilitas

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Selama ini, seksualitas penyandang disabilitas sering kali menjadi topik yang terabaikan, terbungkus dalam stigma dan kesalahpahaman yang mengakar. Tidak sedikit masyarakat yang masih memandang individu penyandang disabilitas sebagai individu aseksual. Mengesampingkan hak mereka untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan kasih sayang, keiintiman, dan penghargaan terhadap tubuh mereka.

Padahal, seksualitas bukan hanya terkait aktivitas fisik, tetapi juga mencakup kebutuhan emosional, keinginan untuk diterima, dan kemampuan untuk mencintai serta dicintai.

Sayangnya, konstruksi sempit tentang seksualitas yang hanya menekankan norma heteronormatif dan kesempurnaan fisik telah menciptakan hambatan besar bagi penyandang disabilitas. Sikap ableisme dalam relasi sosial juga memunculkan anggapan bahwa penyandang disabilitas hanya dapat menjalin hubungan dengan sesama penyandang disabilitas.

Stigma tersebut semakin diperparah oleh minimnya pendidikan seksual yang inklusif. Kondisi yang demikian tidak hanya membatasi mereka secara sosial, tetapi juga memengaruhi cara mereka memandang diri sendiri.

Situasi semacam itu kian dipertegas dengan penelitian yang dipublikasikan melalui Journal of Disability and Rehabilitation, dengan tajuk “Attitudes and Perceptions Towards Disability and Sexuality.” Fakta ini menunjukkan bahwa hambatan sosial-budaya ini sering kali lebih melumpuhkan daripada dengan keterbatasan fisik itu sendiri.

Baca Juga:

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

Pendidikan Seks bagi Remaja adalah Niscaya, Bagaimana Mubadalah Bicara?

Kemanusiaan sebelum Aksesibilitas: Kita—Difabel

Isu Seksualitas dan Disabilitas

Lebih dari itu, apabila melihat isu seksualitas dan disabilitas melalui kacamata fenomena terkini, stigma aksesualitas terhadap disabilitas tidak hanya mengabaikan hak mereka. Tetapi juga berkontribusi pada kurangnya pemahaman terhadap konsep seksualitas yang sehat.

Terdapat ruang kosong dalam kesadaran mereka tentang batasan tubuh, hubungan yang saling menghormati, serta norma sosial yang berlaku. Dalam beberapa kasus, kegagalan ini dapat berakhir pada perilaku yang keliru, di mana mereka yang sering kita anggap sebagai subjek yang rentan. Hal ini dapat berpotensi mejadi aktor yang otonom dalam tindakan menyimpang berbasis seksual.

Misalnya, film Why do You Love Me? (2023) karya Herwin Novianto menjadi harapan baru dalam perfilman Indonesia dengan mengangkat tema seksualitas dan disabilitas. Kombinasi tema yang jarang terbahas dan masih kita anggap tabu.

Film ini mengisahkan persahabatan tiga penyandang disabilitas, Baskara, Danton, dan Miko. Mereka berjuang menghadapi stigma masyarakat tentang seksualitas mereka. Baskara, yang mengidap ALS, memantik diskusi tentang masa depan seksualitas mereka. Kemudian membawa mereka pada rencana perjalanan penuh tantangan untuk mendapatkan pengalaman seksual melalui jasa pekerja seks.

Meski rencana itu penuh kendala, perjalanan mereka membuka pandangan baru tentang bagaimana penyandang disabilitas berhak atas pengalaman seksual yang sehat dan bahagia.

Menyoal Kasus Agus

Namun, lebih dari itu, pada kenyataannya sering kali lebih kompleks daripada apa yang tergambar dari sebuah film. Kasus Agus Buntung, seorang penyandang disabilitas yang menjadi pelaku kekerasan seksual, telah menantang pandangan umum bahwa penyandang disabilitas selalu berada di posisi korban yang rentan.

Sebaliknya, kasus ini menunjukkan bagaimana ketidaktahuan tentang seksualitas yang sehat, hak tubuh, dan norma sosial, dapat membawa mereka pada tindakan yang menyimpang. Stigma yang melekat sebagai individu aseksual membuat penyandang disabilitas kerap kita kesampingkan dalam diskusi terkait hubungan interpersonal, sehingga menciptakan kesenjangan dalam pemahaman mereka terkait batasan, tanggung jawab, dan resiprosi.

Dalam Islam, manusia kita pandang sebagai ciptaan terbaik (ahsan al-Taqwim). Artinya bahwa setiap individu telah teranugerahi potensi dan martabat yang luhur oleh Allah SWT. Konsep ini tidak membedakan antara individu berdasarkan kondisi fisik, mental, atau keterbatasan yang kita miliki.

Penyandang disabilitas, sebagaimana individu lainnya, berhak mendapatkan penghormatan terhadap martabat mereka sebagai manusia utuh. Pandangan ini menegaskan bahwa penciptaan manusia bukan hanya soal kesempurnaan fisik, tetapi juga potensi spiritual, intelektual, dan sosial yang harus kita hormati dan kita kembangkan.

Oleh karena itu, Islam memandang bahwa setiap tindakan yang merendahkan martabat manusia, seperti stigma atau diskriminasi, bertentangan dengan ajaran syariat yang memuliakan manusia sebagai ciptaan terbaik.

Larangan Stigma dan Diskriminasi dalam Islam

Bicara larangan terhadap stigma dan diskriminasi dalam Islam juga mencerminkan pentingnya membangun masyarakat yang adil dan inklusif. Islam menyerukan penghormatan terhadap hak individu, termasuk hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan kesempatan yang sama.

Dalam konteks ini, stigma yang menganggap penyandang disabilitas sebagai aseksual atau tidak membutuhkan edukasi seksual adalah bentuk pengabaian terhadap hak mereka sebagai manusia. Islam tidak hanya menentang tindakan yang mendiskriminasi, tetapi juga mendorong pemberdayaan individu agar mereka mampu menjalani kehidupan yang penuh martabat.

Selain itu, prinsip kemudahan dalam syariat (al-Taisir wa al-Rukhos) memberikan dasar yang kuat untuk mengakomodasi kebutuhan khusus penyandang disabilitas. Prinsip ini mengajarkan bahwa syariat kita rancang untuk mempermudah kehidupan manusia, bukan memberatkan mereka.

Dalam konteks penyandang disabilitas, al-Taisir wa al-Rukhos menuntut adanya pendekatan yang adaptif, yang kita sesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan mereka. Sebagai contoh, pendidikan seksual yang kita rancang untuk penyandang disabilitas harus mempertimbangkan cara penyampaian informasi yang sesuai. Seperti penggunaan bahasa yang sederhana, media visual, atau pendekatan interaktif yang lebih mudah dipahami.

Di samping itu, prinsip ini juga menekankan pentingnya menghilangkan hambatan yang menghalangi pemenuhan hak penyandang disabilitas. Baik dalam bentuk akses terhadap informasi maupun dukungan sosial.

Dengan memberikan kemudahan ini, syariat tidak hanya melindungi martabat penyandang disabilitas tetapi juga membekali mereka dengan pemahaman yang memungkinkan mereka menjalani kehidupan yang sehat dan bertanggung jawab. Dalam pandangan Islam, mempermudah jalan bagi seseorang untuk memenuhi kebutuhannya adalah bagian dari bentuk ibadah dan tanggung jawab sosial yang harus terpikul oleh masyarakat.

Prinsip Mubadalah

Selaras dengan prinsip mubadalah (kesalingan), penyandang disabilitas sangat membutuhkan pendidikan seksual yang inklusif dan memadai, selayaknya masyarakat pada umumnya. Pendidikan seksual tidak hanya kita prioritaskan bagi mereka yang kita anggap mampu secara fisik atau intelektual. Tetapi juga harus kita berikan kepada penyandang disabilitas sebagai bentuk pengakuan terhadap hak dan martabat mereka.

Sejalan dengan prinsip kesalingan, pendidikan seksual harus kita rancang untuk memenuhi kebutuhan semua individu. Tanpa memandang perbedaan kondisi fisik, mental, atau sosial. Dengan demikian, relasi yang setara dapat terwujud, di mana setiap individu saling menghormati batasan tubuh dan hak orang lain, sekaligus mampu menjalani kehidupan yang bermartabat dan bertanggung jawab.

Dalam mengimplementasikan pendidikan seksual yang inklusif, pendidikan ini tidak dapat kita lakukan secara seragam. Melainkan harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik penyandang disabilitas. Pertama, kurikulum khusus yang adaptif perlu kita rancang dengan mempertimbangkan tingkat pemahaman dan kondisi penyandang disabilitas, menggunakan pendekatan yang lebih visual, interaktif, atau berbasis praktik langsung.

Kedua, pelatihan bagi orang tua dan pengajar harus menjadi prioritas, agar mereka dapat mendukung dan membimbing penyandang disabilitas dalam memahami seksualitas mereka secara sehat dan bertanggung jawab.

Ketiga, penggunaan media edukatif yang ramah disabilitas, seperti video ilustratif, simulasi, dan buku bergambar sederhana, harus kita kembangkan untuk mempermudah pemahaman mereka. Terakhir, kolaborasi antara berbagai pihak termasuk pemerintah, organisasi penyandang disabilitas, dan masyarakat umum kita perlukan untuk menciptakan ekosistem pendidikan seksual yang berkelanjutan dan berdampak luas.

Pendidikan Seksualitas yang Berkeadilan bagi Disabilitas

Dapat kita tarik benang merah, bahwa penyandang disabilitas bukan sekadar subjek pasif yang membutuhkan perlindungan. Namun juga individu yang memiliki kapasitas untuk bertindak secara otonom, termasuk dalam konteks tindakan menyimpang. Oleh karena itu, diskusi tentang seksualitas mereka harus kita tanggapi dengan serius, dengan menghindari pendekatan yang reduktif atau terlalu simplistik.

Sebaliknya, harus ada upaya untuk memahami kompleksitas kondisi yang alami, serta menyoroti pentingnya menciptakan ruang yang aman dan inklusif untuk membahas hak, batasan, dan tanggung jawab dalam hubungan interpersonal. Selain itu terealisasikannya pendidikan seksual yang berkeadilan bagi penyandang disabilitas. []

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tags: Hak DisabilitasHak Kesehatan Reproduksi dan SeksualitasInklusi SosialPendidikan Seksual bagi DisabilitasStigma Aseksualitas
Siti Roisadul Nisok

Siti Roisadul Nisok

Siti Roisadul Nisok is an M.Phil student in the Faculty of Philosophy at Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia. Her research interests include religious studies, digitization, philosophy, cultural studies, and interfaith dialogue. She can be reached on Instagram via the handle: @roisabukanraisa.

Terkait Posts

Buku Disabilitas

“Normal” Itu Mitos: Refleksi atas Buku Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan

22 Mei 2025
Puser Bumi

Ulama Perempuan sebagai Puser Bumi

21 Mei 2025
Peran Aisyiyah

Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

20 Mei 2025
Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

20 Mei 2025
Bangga Punya Ulama Perempuan

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

20 Mei 2025
Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jalan Mandiri Pernikahan

    Jalan Mandiri Pernikahan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Berhenti Meromantisasi “Age Gap” dalam Genre Bacaan di Kalangan Remaja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bolehkah Dokter Laki-laki Memasangkan Alat Kontrasepsi (IUD) kepada Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rumah untuk Si Bungsu: Budaya Nusantara Peduli Kaum Rentan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 5 Jenis KB Modern

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Hj. Biyati Ahwarumi, Perempuan di Balik Bisnis Pesantren Sunan Drajat
  • Melampaui Batasan Tafsir: Membebaskan Narasi Gender dalam Islam Menurut Mernissi dan Wadud
  • KB dan Politik Negara
  • “Normal” Itu Mitos: Refleksi atas Buku Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan
  • 5 Jenis KB Modern

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version