• Login
  • Register
Senin, 2 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Pemecatan Personel Sukatani: Kebebasan Berekspresi dan Ketidakadilan Gender dalam Pendidikan

Aturan agama sering kali dipolitisasi untuk meneguhkan norma patriarkal yang membatasi perempuan dalam ruang publik.

Fatwa Amalia Fatwa Amalia
27/02/2025
in Publik, Rekomendasi
0
Pemecatan Personel Sukatani

Pemecatan Personel Sukatani

1.6k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebagai guru yang berkelindan dalam skena seni, saya memahami bagaimana seni bukan sekadar hiburan, tetapi juga ruang ekspresi dan kritik sosial. Seperti yang tengah panas di media sosial tentang pembungkaman Sukatani Band karena lagu bayar, bayar, bayar. Bahkan hingga pemecatan personel Sukatani, yaitu Novi Citra Indriyati, sang vokalis dari SD IT Mutiara Hati, Banjarnegara, Jawa Tengah. Kasus ini terasa begitu dekat dengan saya.

Sukatani kerap menjadikan musik sebagai wadah menyampaikan kegelisahan dan harapan. Namun, keputusan sekolah yang memberhentikan Novi karena mereka anggap melanggar syariat Islam justru menunjukkan bahwa perempuan masih harus menghadapi batasan yang tak berlaku bagi laki-laki.

Kasus ini lebih dari sekadar urusan administrasi sekolah; ini tentang bagaimana perempuan terus terkontrol melalui tubuh dan ekspresinya. Seperti yang Fatima Mernissi ungkapkan dalam Beyond the Veil (1987). Fatima mengatakan bahwa aturan agama sering kali dipolitisasi untuk meneguhkan norma patriarkal yang membatasi perempuan dalam ruang publik.

Kebebasan Berekspresi vs. Standar Ganda Perempuan

Di Indonesia, kebebasan berekspresi terjamin dalam UUD 1945 Pasal 28E,. Di mana dalam konstitusi negara tersebut menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Namun, dalam praktiknya, kebebasan ini tidak berlaku secara setara bagi perempuan. Perempuan yang berbicara lantang, menyuarakan kritik, atau bahkan sekadar mengekspresikan diri melalui seni sering kali dihakimi. Bukan karena isi pesannya, tetapi karena tubuh dan identitasnya.

Baca Juga:

Kasus Pelecehan Guru terhadap Siswi di Cirebon: Ketika Ruang Belajar Menjadi Ruang Kekerasan

Kebebasan Berekspresi dan Kontroversi Meme Prabowo-Jokowi

Dari Nada ke Makna: Tafsir Relasi Ibu dan Anak dalam Lagu Jumbo

Nyai Badriyah Fayumi: Banyak Sahabat Perempuan Menjadi Periwayat Hadis, Guru dan Ulama Besar

Kasus Novi menegaskan bahwa perempuan masih hidup dalam standar ganda diminta untuk berprestasi, tetapi hanya dalam batasan yang nyaman bagi norma sosial konservatif. Penggunaan dalih agama sering kali ada untuk membatasi perempuan di ruang publik, terutama melalui wacana tentang aurat dan kesopanan.

Buya Husein Muhammad dalam Fiqh Perempuan: Refleksi Kyai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender (2001) menjelaskan bahwa konsep aurat perempuan dalam fiqh klasik pada dasarnya merupakan konstruksi sosial yang terpengaruhi oleh budaya setempat.

Beliau mengkritik bagaimana penggunaan tafsir mengenai aurat sering kali menjadi alat kontrol sosial untuk membatasi perempuan. Bukan sebagai bentuk perlindungan yang membebaskan. Perempuan yang bernyanyi, berbicara lantang, atau berkarya di ruang publik sering kali dianggap “melanggar” batasan moral yang sebenarnya bersifat patriarkal dan bukan esensi dari ajaran agama itu sendiri.

Kemudian, Fatima Mernissi dalam Beyond the Veil (1987) menyoroti bagaimana tafsir agama kerap terpolitisasi untuk meneguhkan norma patriarkal. Mernissi menjelaskan bahwa di banyak masyarakat Muslim, tafsir agama sering digunakan untuk membatasi perempuan di ranah privat, sementara laki-laki kita beri kebebasan penuh di ruang publik.

Pembacaan terhadap teks-teks agama sering kali kita lakukan dengan perspektif yang bias terhadap laki-laki. Hal ini menyebabkan perempuan terus terkungkung dalam narasi yang membatasi kebebasan mereka.

Pendidikan: Ruang Pembebasan atau Pengontrolan?

Pendidikan idealnya menjadi ruang pembebasan, tempat pemikiran kritis berkembang tanpa terbatasi oleh kepentingan politis atau tafsir moral sepihak. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya.

Choirul Mahfud dalam Paradigma Pendidikan Islam (2018) menyoroti bahwa banyak institusi pendidikan Islam di Indonesia masih menerapkan regulasi berbasis tafsir konservatif yang membatasi kebebasan perempuan. Hal ini mencerminkan bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang di mana ideologi tertentu kita tanamkan dan kita pertahankan.

Pemecatan Novi juga menunjukkan bahwa dunia pendidikan masih tunduk pada tekanan sosial yang tidak selalu berbasis pada keadilan. Jika moralitas seorang guru hanya terukur dari bagaimana ia berpakaian atau di mana ia berdiri di atas panggung, maka kita sedang menghadapi krisis yang jauh lebih besar daripada sekadar kebijakan sekolah.

Kasus Novi bukan hanya miliknya seorang. Ini adalah cerminan dari bagaimana sistem sering kali tidak berpihak pada perempuan. Ombudsman RI mungkin telah turun tangan. Tetapi pertanyaannya: apakah ini cukup untuk memastikan tidak ada kasus serupa di masa depan?

Seperti yang Amina Wadud katakan bahwa Islam seharusnya menjadi agama yang membebaskan, bukan mengekang. Jika seni dan pendidikan dua ruang yang seharusnya membuka wawasan justru menjadi alat kontrol untuk membungkam perempuan, lalu di mana ruang aman bagi mereka?

Jika kita ingin dunia pendidikan yang lebih adil, maka kita harus berani mempertanyakan norma-norma yang selama ini menjadi alat kontrol. Karena kebebasan berekspresi bukan hanya hak, tetapi juga kebutuhan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara. []

 

 

Tags: Band Sukatanigurukebebasan berekspresiKeseniaanLaguLembaga PendidikanmusikPemecatan Personel SukataniPendidikan Kritis
Fatwa Amalia

Fatwa Amalia

Fatwa Amalia, pengajar juga perempuan seniman asal Gresik Jawa Timur. Karya-karyanya banyak dituangkan dalam komik dan ilustrasi digital dengan fokus isu-isu perempuan dan anak @komikperempuan. Aktif di sosial media instagram: @fatwaamalia_r. Mencintai buku dan anak-anak seperti mencintai Ibu.

Terkait Posts

Perbedaan Feminisme

Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis

2 Juni 2025
Teknologi Asistif

Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

2 Juni 2025
Akhlak Karimah

Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

2 Juni 2025
Ketuhanan

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

1 Juni 2025
Perempuan Penguasa

Sejarah Para Perempuan Penguasa Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan

31 Mei 2025
Disabilitas dan Seni

Kreativitas tanpa Batas: Disabilitas dan Seni

31 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Teknologi Asistif

    Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Hijab Menurut Pandangan Ahli Fiqh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jilbab Menurut Ahli Tafsir

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis
  • Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?
  • Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar
  • Jilbab Menurut Ahli Tafsir
  • Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID