• Login
  • Register
Selasa, 10 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Kritik tanpa Kesalingan: Ketika Patriarki Jadi Senjata Sepihak

Islam tidak mengajarkan relasi yang timpang. Sebaliknya, Islam menekankan prinsip kesalingan dalam segala aspek, termasuk dalam rumah tangga.

Muhaimin Yasin Muhaimin Yasin
13/04/2025
in Personal
0
Kesalingan

Kesalingan

1.8k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Seorang perempuan muda yang belum menikah sedang berbincang dengan temannya yang telah menikah. Temannya mengeluhkan suaminya yang mengingatkan soal makanan yang terlalu asin. “Dia pikir aku ini koki? Laki-laki tuh emang patriarki, maunya dilayani terus,” keluh sang istri. Mendengar itu, si perempuan muda ikut mengangguk, “Makanya aku takut nikah, nanti juga dipaksa jadi pelayan.”

Padahal, dalam percakapan lebih lanjut, suami temannya itu kerap membantu mencuci piring, memandikan anak, bahkan sesekali memasak saat hari libur. Dengan komentar tentang rasa makanan itu, secara langsung laki-laki kita sebut sebagai orang yang memiliki sifat patriarki.

Tuduhan itu sebenarnya muncul dari kacamata yang sudah terpenuhi bias, apalagi diperkuat oleh narasi media sosial yang cenderung mengeneralisasi laki-laki sebagai pihak yang selalu menuntut.

Fenomena ini adalah potret sederhana dari banyak kekeliruan dalam memahami patriarki. Tuduhan terhadap laki-laki sebagai pelaku penganut patriarki sering muncul dari penilaian sempit dan emosional. Bertambah dengan pengaruh media sosial yang mempengaruhi standar berpikir dengan referensi yang tidak jelas sumbernya.

Kesalahan Persepsi tentang Patriarki

Patriarki sejatinya adalah sistem sosial yang menempatkan satu gender di atas gender lain secara struktural. Namun, dalam praktik sehari-hari, istilah ini sering terpakai sembarangan. Suami yang belum sempat mencuci piring, atau istri yang merasa lelah dan tidak mendapat bantuan, langsung terseret dalam label patriarki.

Baca Juga:

Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah

Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)

Kesalahan ini muncul karena makna patriarki kita reduksi menjadi tindakan kecil dalam rumah tangga. Padahal, patriarki lebih dalam dari itu. Ia menyangkut ketimpangan akses, peluang, dan representasi dalam ruang publik. Menyederhanakan patriarki menjadi soal masak-memasak atau cuci piring justru mengaburkan masalah yang sebenarnya.

Lebih menyedihkan lagi, label patriarki kadang menjadi alat untuk menyerang pasangan. Alih-alih membangun ruang diskusi, yang terjadi justru saling menyalahkan. Ini menjauhkan dari semangat perubahan dan menciptakan hubungan yang penuh ketegangan.

Islam dan Prinsip Kesalingan

Islam tidak mengajarkan relasi yang timpang. Sebaliknya, Islam menekankan prinsip kesalingan dalam segala aspek, termasuk dalam rumah tangga. Dalam QS At-Taubah:71, Allah berfirman:

“Dan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain…” (QS. At-Taubah: 71)

Ayat ini menampilkan pedoman bahwa relasi laki-laki dan perempuan bersifat mutual. Bukan dominatif. Bukan pula hierarkis. Tapi saling menjadi penolong, mitra, dan penguat satu sama lain. Ini sejalan dengan konsep mubadalah, yakni memandang laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang setara.

Hadis Nabi memperkuatnya dengan ungkapan Nabi Muhammad Saw yang mengumpamakan, bahwa orang beriman, baik laki maupun perempuan itu laksana satu tubuh yang memiliki fungsi masing-masing. Saling membutuhkan satu sama dengan yang lain. Sebagaimana Imam Muslim meriwayatkan dari Nu’man bin Basyir:

“Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan saling membantu seperti satu jasad, apabila salah satu anggota menngeluh sakit, maka seluruh anggota jasad itu merasakan demam dan tidak tidur.”

Selain itu prinsip dan pilar pernikahan dalam Islam meniscayakan pernikahan sebagai kemitraan, kesalingan, dan kerja sama antara suami dan istri. Keduanya dituntut dapat merasakan nikmat sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Nabi Muhammad SAW adalah teladan kesalingan. Beliau membantu pekerjaan rumah, berdiskusi dengan istri-istrinya, dan membangun rumah tangga sebagai ruang kasih sayang dan kemitraan. Tidak ada dominasi, tidak ada paksaan. Justru ada dialog, saling percaya, dan saling menguatkan.

Menolak Sistem, Bukan Menyakiti Pasangan

Perjuangan melawan patriarki seharusnya menyasar sistem, bukan individu. Jika pasangan belum memahami pentingnya kesalingan, ajak dialog. Edukasi dengan empati jauh lebih efektif daripada tudingan dan sindiran.

Mengkritik pasangan tanpa memberi ruang diskusi justru merusak hubungan. Banyak suami akhirnya memilih diam karena merasa apapun yangia lakukan dianggap salah. Istri pun merasa tidak didengar. Saling menyalahkan hanya memperbesar masalah.

Kesetaraan membutuhkan proses. Tidak semua orang langsung paham. Maka, bersikap adil adalah sarana untuk bersabar dan belajar terbuka satu sama lain. Bangun rumah tangga dari rasa saling percaya, bukan saling tuding. Sebab perubahan tidak bisa terjadi dalam satu malam atau dengan mudah seperti membolak-balikkan telapak tangan.

Rumah tangga adalah ruang paling konkret untuk melawan patriarki. Tapi itu hanya mungkin terjadi jika ada dialog, bukan konflik. Lebih baik menemukan kesepakatan bersama, daripada saling memaksakan. Lebih baik saling percaya, bukan saling curiga.

Kesalingan Menjadi Jalan Tengah

Menghadapi realitas rumah tangga hari ini, kita perlu berhenti menyederhanakan masalah dan mulai membangun kesadaran bersama. Islam sudah memberi petunjuk jelas: relasi yang adil lahir dari kesalingan.

Maka, saat suami belum sempat mencuci piring, atau belum bisa membantu pekerjaan domestik, jangan buru-buru menyebutnya patriarki. Dan ketika istri meminta tolong, jangan pula menganggapnya menuntut berlebihan. Saling bantu adalah wujud cinta. Saling mengerti adalah bentuk ibadah.

Jika kita ingin mengakhiri patriarki yang menindas, maka mulai dari rumah sendiri. Dengan dialog, dengan kasih sayang, dan dengan prinsip mubadalah. Karena di situlah transformasi kita mulai.

Tidak perlu menunggu sempurna. Cukup saling belajar, saling memperbaiki. Karena keadilan kita mulai dari kemauan untuk memahami. Dan rumah tangga adalah ladang pertama untuk mewujudkannya. []

 

Tags: istrikeluargaKesalinganmenikahpatriarkiRelasisuami
Muhaimin Yasin

Muhaimin Yasin

Pegiat Kajian Keislaman dan Pendidikan. Tinggal di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Terkait Posts

Tragedi Sejarah

Menolak Lupa, Tragedi Sejarah Kekerasan terhadap Perempuan

9 Juni 2025
Narasi Hajar

Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

6 Juni 2025
Berkurban

Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang

6 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

5 Juni 2025
Kesehatan Akal

Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal

4 Juni 2025
Tubuh yang Terlupakan

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

3 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Haji yang

    Perempuan yang Terlupakan di Balik Ritual Agung Haji

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menyemai Kasih Melalui Kitab Hadis Karya Kang Faqih

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam dan Kemanusiaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Prinsip Keadilan Sosial dalam Ajaran Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi Hari Raya Iduladha: Setiap Kita Adalah Ibrahim, Setiap Ibrahim punya Ismail

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perempuan yang Terlupakan di Balik Ritual Agung Haji
  • Menyemai Kasih Melalui Kitab Hadis Karya Kang Faqih
  • Islam dan Kemanusiaan
  • Refleksi Hari Raya Iduladha: Setiap Kita Adalah Ibrahim, Setiap Ibrahim punya Ismail
  • Prinsip Keadilan Sosial dalam Ajaran Islam

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID