Mubadalah.id – Pada dua edisi sebelumnya, saya telah menulis tentang Trans Jogja. Pada artikel berjudul Kemanusiaan sebelum Aksesibilitas: Kita—Difabel, saya berupaya menguraikan pribadi kondektur bus Trans Jogja yang sangat ramah difabel.
Malam lalu, saat dalam perjalanan dari Giwangan menuju Jombor, sisi keramahan Trans Jogja kembali saya jumpai. Saat itu, bus berisi lima orang—termasuk saya. Kami tersebar di beberapa sisi bangku yang dapat saling mengamati satu sama lain.
Pada satu kesempatan, seorang perempuan paruh baya yang duduk di bangku belakang bus terlihat asyik mengobrol. Dengan gawai di hadapan wajahnya, ia sepertinya tengah menerima panggilan video (video call).
Ia tak mengenakan penyuara jemala (headset) pada kedua telinganya. Hampir-hampir setiap penumpang di dalam bus Trans Jogja itu dapat “mencuri dengar”pembicaraannya.
Namun, saya yang duduk di sisi seberangnya hanya mendengar suara dari sisi seberang. Dengan nakal saya mencoba meliriknya. Desain posisi kursi di bus Trans Jogja memang memungkinkan setiap penumpang untuk bisa saling “melempar pandangan”.
Saya dapati mulutnya tidak bersuara. Ia berbicara menggunakan bahasa isyarat. Tangannya aktif mengujarkan kode-kode yang sama sekali tidak saya pahami. Tapi lawan bicaranya nun di tempat sana sepertinya sangat paham.
Saya lalu memendarkan pandangan ke sekeliling. Penumpang lain terlihat tenang-tenang saja. Tidak ada gelagat risih atau merendahkan terhadap penumpang difabel bisu tadi.
Dari situ, saya menjadi makin yakin bahwa Trans Jogja insya Allah benar-benar ramah difabel. Meski tentu, belum seratus persen sempurna!
Regulasi Transportasi Publik Ramah Difabel
Keramahan layanan bus Trans Jogja terhadap kawan difabel sejatinya tak lain merupakan pengejawantahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta bahkan secara spesifik telah menerbitkan aturan turunan terhadap undang-undang tersebut dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Pengarusutamaan Gender.
Merujuk pada ketentuan regulasi tersebut, penyandang difabilitas berhak untuk memperoleh moda transportasi publik yang aman, terjangkau, setya aksesibel. Selain itu, kawan difabel juga mesti beroleh jaminan aman dari segala bentuk diskriminasi atau perendahan martabat.
Sementara, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY melalui Dinas Perhubungan DIY, pada akhir Oktober tahun lalu, secara serius berjanji untuk meningkatkan aksesibilitas Trans Jogja. Pemprov menggandeng beberapa mitra, seperti PT Anindya Mitra Internasional (AMI), PT Jogja Tugu Trans (JTT), hingga Ombudsman dan Forum Komunikasi Difabel DIY.
Pada praktiknya, pengupayaan transportasi publik ramah difabel seperti bus Trans Jogja mestinya tak melulu menaati regulasi semata. Alih-alih sekadar formalitas rapuh, kehadiran moda transportasi publik yang inklusif juga semestinya dapat mendorong terwujudnya masyarakat setara.
Sejuta Manfaat Mengiringi
Regulasi serta praktik sederhana bagi hadirnya moda transportasi publik ramah difabel sejatinya berjalan beriringan dengan manfaat yang nantinya bertumbuh. Inklusivitas transportasi dapat menjadi titik balik bagi kawan difabel berdaya—bukan lagi sekadar objek pemberdayaan.
Nathasya Zallianty (2025) dalam catatannya menyebut tiga manfaat utama dari kehadiran transportasi publik ramah difabel seperti Trans Jogja. Ketiganya yakni peningkatan partisipasi kerja, stimulasi kegiatan ekonomi, serta komprehensivitas pemanfaatan transportasi publik.
Dalam hal peningkatan partisipasi kerja, kemudahan akses mobilitas kawan difabel dapat menjembatani mereka untuk berjejaring. Perluasan jaringan kerja (networking) dapat memperbesar peluang mereka untuk membangun kerja-kerja kolaboratif dengan berbagai kalangan.
Kita juga tidak bisa memungkiri bahwa moda transportasi memiliki kaitan erat dengan roda perekonomian. Setiap penggunaan alat transportasi selalu bersambut dengan transaksi ekonomi, baik dalam rangka produksi, distribusi, maupun konsumsi.
Terakhir, aksesibilitas transportasi bagi difabel sebenarnya tak berarti mengistimewakan difabel semata. Alih-alih bersikap berat sebelah, aksesibilitas transportasi justru dapat memotivasi publik untuk sama-sama beralih menggunakan transportasi massal.
Kita tentu menyadari bersama bahwa hari ini transportasi privat telah menjelma menjadi raksasa yang memonopoli jalan. Alhasil, kemacetan merupakan hal jamak yang menyeruak hampir di setiap saat. Bukannya kenyamanan yang kita peroleh, kita justru acap menggerutu terjebak dalam kesumpekan berjam-jam.
Bukankah telah tiba masanya bagi kita untuk melakukan tobat transportasi? []