Mubadalah.id – Pembahasan tentang zakat kerap diarahkan pada kelompok fakir miskin secara umum. Namun, wacana zakat yang sebelumya saya tulis dalam Persoalan Zakat Penyandang Disabilitas di Indonesia belum banyak kita bicarakan secara mendalam. Padahal kelompok ini memiliki kerentanan khusus, baik dari sisi fisik, mental, maupun sosial.
Dalam perspektif Islam, zakat tidak hanya sekadar kewajiban ibadah, tetapi juga merupakan bentuk kegiatan sosial dan moral sebab tujuannya adalah untuk distribusi harta secara merata.
Pembahasan awal terkait zakat bagi penyandang disabilitas perlu kita awali dengan konsep nafkah. Jika ia seorang ayah, maka kewajiban memberi nafkah berada pada anaknya. Jika ia seorang anak, maka orang tuanyalah yang berkewajiban menafkahinya.
Dengan demikian, tanggung jawab pemenuhan kebutuhan penyandang disabilitas berada di bawah keluarga. Lalu, bagaimana jika keluarga tersebut hidup dalam kemiskinan?
Zakat: Tujuan dan Penerimanya
Ahli fikih kontemporer, Yusuf Al-Qardhawi, memandang zakat sebagai bentuk solidaritas sosial yang berfungsi menjadi jaminan bagi masyarakat yang membutuhkan. Dalam pengertian ini, zakat dikelola secara terorganisir oleh lembaga filantropi untuk menjamin hak-hak individu, seperti fakir miskin dan kelompok rentan lainnya. Yusuf Al-Qardhawi juga menggolongkan penyandang disabilitas miskin sebagai penerima utama zakat.
Namun, penyandang disabilitas yang berasal dari keluarga mampu tidak termasuk dalam kategori penerima zakat. Hal ini sejalan dengan fatwa Darul Ifta Mesir. Mengapa penyandang disabilitas kaya tidak berhak menerima zakat? Karena tujuan zakat adalah meningkatkan taraf hidup orang miskin atau yang membutuhkan, sebagaimana tercatat dalam Al-Qur’an:
وَفِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِ
“Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
Mayoritas ulama berpendapat bahwa penyandang disabilitas yang tidak mampu mencari nafkah sendiri dan hidup dalam keluarga miskin termasuk golongan prioritas penerima zakat.
Moh. Ghaly, dalam bukunya Islam and Disability: Perspective in Theory and Jurispundence, menyoroti dua hal penting terkait prioritas penerima zakat ini.
Pertama, setelah memaparkan para ulama yang mendukung pandangan tersebut, ia menegaskan bahwa tujuan utama zakat adalah untuk mencapai ghinā (kecukupan) bagi orang miskin. Artinya, seluruh kebutuhan dasar mereka harus terpenuhi—jika tidak dapat terpenuhi hanya melalui zakat, maka dapat terpenuhi dengan sumber keuangan lain yang kita bebankan negara kepada orang kaya. Beberapa sarjana modern menyebut mekanisme ini sebagai pajak penghasilan dalam perspektif Islam.
Kedua, setiap kasus penerima zakat harus kita lihat secara spesifik. Dalam konteks ini, penyandang disabilitas miskin perlu kita pertimbangkan dari dua sudut pandang di atas.
Saat negara menyalurkan zakat, harus kita sadari bahwa kebutuhan dasar penyandang disabilitas berbeda dengan orang miskin pada umumnya. Sebagai contoh, biaya perawatan kesehatan perlu kita perhitungkan. Dengan kata lain, kemungkinan besar kebutuhan dasar penyandang disabilitas memerlukan biaya yang lebih besar.
Zakat Fitrah
Hingga saat ini, belum ada pembahasan khusus mengenai zakat fitrah bagi penyandang disabilitas. Hanya ada tulisan di NU Online yang membahas penyandang disabilitas emosional, yang menyebutkan bahwa mereka tidak wajib membayar zakat fitrah karena tidak memenuhi salah satu syarat zakat.
Sementara itu, zakat fitrah bagi penyandang disabilitas jenis lainnya jarang kita diskusikan. Apakah mereka wajib mengeluarkan zakat fitrah atau tidak? Zakat fitrah adalah kewajiban bagi setiap individu muslim, yang bertujuan untuk menyucikan jiwa—karena itu juga kita sebut dengan zakat nafs—serta membantu orang-orang yang membutuhkan agar dapat hidup layak dan merayakan Idul Fitri sebagaimana masyarakat pada umumnya.
Penerima zakat fitrah antara lain fakir miskin, orang yang terlilit utang, muallaf, dan kelompok lain yang secara ekonomi atau spiritual memerlukan dukungan. Setiap muslim wajib membayar zakat fitrah jika mampu memenuhi kebutuhan dirinya dan orang yang ia nafkahi pada malam Idulfitri, termasuk kebutuhan sandang, pangan, papan, dan bebas dari utang yang memberatkan. Jika tidak mampu, kewajiban tersebut gugur.
Sebagai seorang muslim, penyandang disabilitas memiliki kedudukan yang sama dengan muslim lainnya. Karena itu, ketentuan zakat fitrah yang berlaku bagi non-disabilitas juga berlaku bagi mereka. Jika mampu memenuhi kebutuhan hidupnya pada malam Idulfitri, maka ia wajib mengeluarkan zakat fitrah. Jika tidak mampu, maka ia tidak berkewajiban menunaikannya.
Zakat, dalam hal ini, merupakan salah satu instrumen penting untuk menjamin kehidupan layak bagi penyandang disabilitas. Kehidupan yang layak di sini tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan harta semata, namun banyak aspek lainnya seperti kesehatan dan lain sebagainya. Hal ini penting untuk kita perhatikan agar tujuan utama zakat sebagai manifestasi keadilan dapat terwujudkan. []