Mubadalah.id – Di era digital saat ini, anak-anak semakin akrab dengan berbagai aplikasi game online yang menawarkan berbagai fitur menarik dan hadiah instan. Sayangnya, di balik hiburan tersebut terdapat risiko besar yang sering luput dari perhatian banyak orang tua, yaitu jebakan pinjaman online (pinjol) yang dipromosikan secara agresif melalui iklan di dalam game.
Anak-anak yang belum memahami konsekuensi finansial dan hukum sering kali terjerumus untuk mengakses pinjol demi membeli item digital atau koin game, sehingga menimbulkan beban utang yang tidak mereka mengerti. Fenomena ini menjadi tantangan besar dalam pengasuhan di zaman serba digital, yang memerlukan perhatian serius dari keluarga, masyarakat, dan negara.
Data dari berbagai lembaga memperkuat kekhawatiran ini. Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menyebut bahwa per Juli 2025, sebanyak 80.000 anak di bawah usia 10 tahun telah terpapar iklan judi online lewat game. Banyak dari iklan tersebut mengarahkan pengguna ke tautan pinjaman instan sebagai cara cepat untuk melakukan top-up atau membeli item eksklusif.
Satuan Tugas OJK juga mencatat terdapat lebih dari 6.348 aduan terkait pinjol ilegal, sebagian besar berasal dari kelompok usia muda, terutama rentang 19–34 tahun, kelompok usia yang juga menjadi teladan atau saudara dari anak-anak dan remaja. Bahkan data dari platform Konde.co menyebut bahwa 60 persen pengguna pinjol berada di rentang usia 19–34 tahun, dan menyumbang 65 persen total tunggakan pinjaman digital yang tak terselesaikan.
Gawai Bukan Benda Netral
Game online kini bukan lagi sekadar sarana hiburan. Ia telah berubah menjadi ekosistem yang menyasar waktu, perhatian, dan dompet penggunanya. Fitur top-up, reward berbayar, sistem keanggotaan VIP, dan berbagai jenis “tekanan digital” membuat anak-anak merasa harus membeli sesuatu agar tidak tertinggal dari teman-temannya.
Dalam kondisi pengawasan yang minim, mereka menjadi sasaran empuk. Iklan pinjol yang menyamar sebagai bonus atau saran pembelian dalam game menyusup melalui setiap celah. Bahkan di beberapa kasus, anak-anak belajar cara pinjam uang lewat tutorial YouTube yang secara terang-terangan menunjukkan langkah-langkah mencairkan pinjaman dari aplikasi ilegal.
Keluarga, dalam konteks ini, menjadi pagar pertama yang sayangnya mulai rapuh. Banyak orang tua yang menyerahkan gadget kepada anak bukan sebagai alat belajar, melainkan sebagai pengasuh pengganti saat mereka sibuk bekerja atau kelelahan.
Padahal, gawai bukan benda netral. Ia adalah pintu gerbang menuju dunia yang sangat luas, tanpa batas, dan sering kali tanpa aturan yang berpihak pada kepentingan terbaik anak. Dalam Islam, mengasuh anak bukan hanya soal memberi makan dan pakaian.
Namun menyalahkan sepenuhnya keluarga juga tidak adil. Negara dan perusahaan digital tak bisa berlepas tangan. Pemerintah memang telah menerbitkan berbagai regulasi, seperti PP No. 21 Tahun 2025 tentang perlindungan anak di ruang digital.
Komdigi bahkan sedang menyiapkan sistem rating usia untuk game online, sebagaimana dikonfirmasi dalam laporan Kompas pada 5 Juli 2025. Meski demikian, di lapangan, implementasi kebijakan tersebut masih sangat lemah.
Anak, Korban dari Sistem Digital
Iklan pinjol dan judi online terus merajalela. Bahkan pada awal Juli 2025, OJK mengumumkan daftar 96 pinjol resmi, namun aplikasi pinjol ilegal tetap beredar bebas, terutama melalui platform game dan media sosial. Developer game juga belum memiliki sistem etika yang ketat untuk menyaring iklan yang berpotensi membahayakan anak-anak.
Anak-anak saat ini tumbuh sebagai warga negara digital. Sayangnya, mereka belum mendapat hak perlindungan yang memadai. Dalam prinsip maqashid syariah, terdapat dua nilai penting yang harus terjaga dalam konteks ini: hifz al-nafs (menjaga jiwa) dan hifz al-‘aql (menjaga akal). Anak yang terjerat pinjol, stres karena utang, atau tertekan secara psikologis karena tuntutan permainan bukanlah anak yang tumbuh dalam keadilan.
Mereka menjadi korban dari sistem digital yang lebih peduli pada engagement dan profit ketimbang etika dan keberpihakan pada hak anak. Dalam hal ini, keadilan berarti membangun sistem perlindungan, bukan menyalahkan korban kecil yang bahkan belum memahami konsekuensi keputusannya.
Solusinya tidak cukup hanya dengan aplikasi pengawas atau parental control. Yang kita butuhkan adalah pendekatan holistik. Keluarga perlu membangun literasi digital dan literasi keuangan bersama anak sejak dini.
Dialog harus kita buka, bukan dengan nada marah, tetapi dengan rasa ingin tahu. Anak-anak perlu kita kenalkan pada makna uang, konsekuensi utang, dan pentingnya proses dalam mendapatkan sesuatu. Ajarkan bahwa tidak semua keinginan harus langsung terpenuhi, bahwa dalam Islam pun terdapat nilai kesabaran, usaha, dan tanggung jawab atas tindakan.
Libatkan Anak dalam Keputusan Finansial
Orang tua juga bisa mulai melibatkan anak dalam keputusan finansial sederhana, seperti memberi uang jajan dengan sistem diskusi, bukan instruksi sepihak. Sementara itu, negara dan korporasi digital wajib duduk bersama untuk merancang sistem perlindungan yang kuat. Mulai dari rating usia game, verifikasi identitas ketat, hingga larangan total iklan pinjol dan judi online di dalam aplikasi yang dapat terakses anak-anak.
Hari ini, ketika data menunjukkan 80.000 anak sudah terpapar judi dan pinjol dari game, kita tidak bisa lagi berkata, “Itu hanya masalah di luar rumah.” Karena saat kita sibuk bekerja, mereka sedang menjelajahi dunia tanpa peta, dengan gadget di tangan, dan tanpa bimbingan.
Maka perlindungan anak bukan sekadar tugas hukum atau agama. Ia adalah tanggung jawab moral seluruh masyarakat. Anak-anak tak butuh gadget mahal. Mereka butuh pelukan, bimbingan, dan dunia yang aman, baik di rumah maupun di layar kecilnya. Karena dari sanalah mereka membentuk masa depan. []