Mubadalah.id – Dunia tengah berduka atas perginya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang meninggal karena tertabrak dan dilindas kendaraan taktis Baracuda milik Brimob. Sebagai rakyat sipil, rasanya sudah terlampau lelah dengan berita buruk realitas sosial dan pemerintahan di negeri ini.
Ketika berselancar di dunia maya, maupun tukar cerita di dunia nyata, hampir tidak ada kabar baik yang menghampiri. Kamis malam, lelah itu berubah menjadi marah. Brutalitas aparat terhadap rakyat kembali terjadi di tengah perjuangan menegakkan demokrasi.
Rasa kecewa yang terakumulasi akibat ketidakadilan dan kezaliman rezim penguasa telah terlampau banyak dan mencapai titik puncak. Bahkan ruang untuk memaafkan terlampau tertutup rapat atas desakan rasa sakit yang telah menjalari diri. Kejadian yang menimpa Affan Kurniawan bukanlah sekedar kecelakaan, tetapi manifestasi relasi yang tidak setara antara rakyat dan negara.
Video terjadinya pelindasan tersebut tersebar luas di media sosial. Dalam salah satu laporan berita menjelaskan bahwa Affan yang mengenakan jaket ojek online sedang dalam perjalanan mengantar pesanan makanan. Ketika mencoba menyebrang di tengah kerumunan massa, kendaraan taktis Brimob menabraknya.
Kendaraan taktis tersebut sempat berhenti sejenak, tentu massa aksi yang ada di sekitar spontan berteriak. Beberapa terlihat mencoba menolong Affan, beberapa lagi mencoba memukul kendaraan taktis tersebut.
Namun, dasar empati dan hati nurani telah mati, kendaraan taktis Brimob malah dengan ganas melindas Affan seolah nyawa yang ada di depan mata tidak ada artinya. Tragedi Affan menjadi gambaran paling nyata betapa mudahnya negara “menindas” rakyat kecil, baik secara literal maupun struktural.
Brutalitas Aparat Terhadap Rakyat
Luka akibat brutalitas aparat terhadap rakyat telah yang telah lalu belum sepenuhnya sembuh. Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada Oktober tahun 2022 tentu masih menyisakan trauma mendalam bagi korban dan keluarga. Keadilan yang ditunggu-tunggu ternyata belum juga tercapai hingga saat ini.
Namun, alih-alih berbenah, aparat malah semakin beringas mempertontonkan arogansinya. Hal ini menunjukkan bahwa sistem yang telah terbangun di negara tidak cukup responsif terhadap kerentanan rakyat. Bukannya melakukan evaluasi, refleksi, kemudian perbaikan, aparat justru mempertahankan pola dominasi kekuasaan yang represif dengan adanya kekuatan yang mereka miliki. Menjadi mungkin jika masyarakat semakin memupuk rasa tidak percaya terhadap institusi pemerintahan yang salah satunya kepolisian.
Sebelum tragedi yang menimpa Affan, pengemudi ojek online yang menjadi sasaran brutalitas aparat di tengah aksi demonstrasi juga telah telah terjadi. Dalam perjalanan mengantarkan pesanan makanan pengemudi ojek online bersama kedua anak dan istrinya melewati kerumunan massa. Namun ternyata mereka terkena sasaran tembakan gas air mata.
Peristiwa ini mencerminkan bagaimana aksi demonstrasi yang seharusnya menjadi ruang penyampaian aspirasi malah menjadi arena represi. Bahkan bagi mereka yang menjalankan tugas untuk mengantar makanan dan sebagai pengguna jalan. Aksi demonstrasi yang seharusnya menjadi ruang publik untuk memperjuangkan demokrasi ternyata dilingkupi represi aparat yang dampaknya sampai kepada warga sipil yang tidak terlibat.
Mencari Jalan Aman, Membungkam Penyiaran
Insiden yang menimpa Affan Kurniawan menggambarkan adanya krisis keterwakilan rakyat oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Aksi demonstrasi di depan gedung DPR muncul karena kekecewaan rakyat atas kebijakan yang hanya berpihak kepada penguasa, alih-alih rakyat.
Bukannya mendengarkan aspirasi yang diusung rakyat, negara justru memperlihatkan bentuk penindasan dan kemunafikan. Membuat edaran untuk work from home, melakukan kekerasan terhadap rakyat di arena demonstrasi, melindungi aparat yang melindas warga, membungkam media yang menyiarkan kerusuhan, bahkan “kabur” dan tidak menemui demonstran.
Praktik pembungkaman terhadap media menunjukkan bagaimana negara membangun strategi sistematis untuk menghilangkan jejak-jejak kekerasan negara di ruang publik. Menyisakan narasi tunggal dan menutup ruang kritik serta membatasi hak masyarakat untuk mengakses informasi.
Negara menjadikan media sebagai alat kuasa untuk mengendalikan keadaan sesuai keinginannya. Mereka juga melarang para warga yang menyalakan fitur live di media sosial. Berita-berita yang beredar semua telah diatur sedemikian rupa agar menggiring opini publik bahwa demonstran yang anarkis.
Dear Penguasa, Ayolah Belajar Prinsip Resiprokal
Para penguasa sudah sepatutnya menjadikan kekecewaan rakyat yang terakumulasi dalam aksi demonstrasi ini sebagai titik balik untuk mengoreksi diri. Insiden yang telah terjadi sudah seharusnya memuat mereka “melek” untuk mengimplementasikan perubahan mendasar.
Bukan hanya janji-jani dan retorika kosong tanpa adanya langkah nyata yang transparan. Tetapi yang kembali membuat sakit hati, pernyataan presiden atas tragedi yang merenggut nyawa rakyat ini sama sekali tidak menjadi solusi.
Dia mengatakan bahwa negara akan menanggung hidup keluarga Affan. Tetapi, Pak, yang sebetul-betulnya kami butuhkan bukan hal itu. Tetapi menindak aparat dengan seadil-adilnya, dan setransparan mungkin. Biarkan rakyat mengawal jalannya tidak pengadilan itu.
Dalam perspektif mubadalah, relasi antara rakyat dan negara adalah mitra setara yang terbangun atas dasar kesalingan. Pemerintah harus menghormati martabat rakyat sebagai subjek penuh, bukan memaksa mereka tunduk sebagai objek. Pemahaman ini sejalan dengan salah satu nilai Islam, yakni hifz al-nafs (perlindungan jiwa) yang menjadi bagian dari maqashid al-shariah.
Namun, dalam tragedi pelindasan terhadap Affan Kurniawan justru mencerminkan negasi atas prinsip itu. Aparat yang seharusnya menjadi penjaga keselamatan rakyat justru menjadi momok dan ancaman nyata bagi nyawa warga sipil yang tidak bersalah. Dalam pembacaan mubadalah hal ini adalah bentuk relasi yang timpang antara negara dan rakyat.
Negara memperlakukan rakyatnya sebagai objek, bukan sebagai mitra yang setara. Metode mubadalah yang mengedepankan prinsip kesalingan mengingatkan bahwa keadilan tidak akan tercipta dari relasi kuasa yang tidak setara. Tetapi dari hubungan timbal balik yang tidak merugikan salah satu pihak. Maka, peristiwa pelindasan terhadap Affan Kurniawan seharusnya menjadi pengingat sekaligus tanda bahaya bahwa negara telah abai pada mandat untuk melindungi hak hidup rakyat. []